Akbar

Akbar

11
January

 

(voinews.id)- Sebanyak 241 pengungsi Rohingya yang terdampar di wilayah perairan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh beberapa waktu lalu dinyatakan negatif COVID-19. "Pertama kemarin (57 orang, red.) hasilnya negatif antigennya dan 184 orang juga negatif," kata Kepala KKP Kelas III Banda Aceh Ziad Batubara di Banda Aceh.

Sebelumnya, Aceh Besar telah dua kali didatangi pengungsi Rohingya yakni pada 25 Desember 2022 sebanyak 57 orang kemudian dua hari lalu, sebanyak 184 imigran Muslim tersebut kembali terdampar di wilayah Aceh Besar. Artinya, saat ini Aceh Besar menampung sebanyak 241 warga Rohingya yang semuanya ditempatkan sementara di UPTD Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya Ladong Tuna Sosial Dinas Sosial Aceh.

KKP Kelas III Banda Aceh telah melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap para pengungsi tersebut, mulai dari tes COVID-19 hingga pengecekan darah untuk melihat hepatitis B, C, termasuk HIV/AIDS. Ziad menyampaikan untuk hasil pemeriksaan lainnya selain COVID-19 belum didapatkan, karena masih harus dilakukan pengecekan lebih lanjut melalui laboratorium. "Untuk hasil tes yang lainnya seperti HIV belum selesai, kita masih menunggu laporannya hasil pemeriksaan laboratorium," ujarnya.

Pemeriksaan ini, lanjut dia, hanya terhadap pengungsi dewasa, sedangkan untuk anak-anak di bawah 12 tahun tidak dilakukan pengecekan. Meski demikian kesehatan mereka tetap dalam pengawasan. "Sesuai prokes berlaku, warga negara yang masuk ke negara kita dilakukan tes antigen dan pemeriksaan lain untuk memastikan keamanan orang yang masuk ke negara kita," demikian Ziad Batubara.

 

antara

11
January

 

(voinews.id)- Negara-negara harus mempertimbangkan untuk merekomendasikan penumpang mengenakan masker dalam penerbangan jarak jauh guna melawan subvarian Omicron COVID-19 terbaru karena penyebarannya yang cepat di Amerika Serikat, kata para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Selasa. "Ini harus menjadi rekomendasi yang diberikan kepada penumpang dari mana saja yang terdapat penularan COVID-19 yang tersebar luas," kata Catherine Smallwood, pejabat senior WHO untuk Eropa bidang kedaruratan. Di Eropa, subvarian XBB.1.5 telah dideteksi dalam jumlah kecil yang terus bertambah, kata para pejabat WHO/Eropa dalam acara jumpa pers.

Subvarian XBB.1.5 --subvarian Omicron paling menular yang dideteksi sejauh ini-- merupakan 27,6 persen penyebab kasus COVID di Amerika Serikat untuk satu minggu yang berakhir pada 7 Januari, kata para pejabat kesehatan AS.

Belum ada kepastian apakah XBB.1.5 akan menyebabkan gelombang infeksi tersendiri di seluruh dunia. Vaksin yang ada saat ini masih bisa melindungi orang dari gejala berat, perawatan di rumah sakit, dan kematian, menurut para ahli. "Negara-negara harus melihat bukti untuk meminta tes sebelum keberangkatan," kata Smallwood, seraya menambahkan bahwa penting untuk tidak hanya fokus terhadap satu area geografis khusus.

Jika tindakan perjalanan dipertimbangkan, aturan tersebut harus diterapkan dengan cara yang tidak diskriminatif, katanya. Pendapat tersebut tidak berarti bahwa badan itu pada tahap ini merekomendasikan pengujian pada penumpang yang datang dari Amerika Serikat, ujarnya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan termasuk pemantauan genomik dan menargetkan penumpang yang datang dari negara lain selama tidak mengurangi sumber daya sistem pemantauan dalam negeri.

Contoh lainnya termasuk sistem pemantauan air limbah sekitar titik-titik masuk seperti bandara. XBB.1.5 merupakan turunan dari Omicron, varian paling menular dari virus yang menyebabkan COVID-19 yang dominan secara global. XBB.1.5 merupakan turunan dari XBB, yang pertama kali dideteksi pada Oktober dan merupakan rekombinan dari dua subvarian Omicron lainnya.

 

Sumber: Reuters

11
January

 

(voinews.id)- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa China telah membagikan sebagian informasi mengenai situasi COVID-19, tetapi dibutuhkan lebih banyak data dari daerah-daerah di negara tersebut. Kepala regional WHO untuk Eropa Hans Kluge menyebut tindakan pencegahan yang diberlakukan sejumlah negara "tidak keterlaluan", mengingat varian virus yang menyebar di China telah terlihat di Eropa dan di tempat lain, berdasarkan data yang dimiliki WHO.

“Kami sependapat dengan Pusat Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) saat ini bahwa lonjakan kasus yang sedang berlangsung di China diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap situasi epidemiologis COVID-19 di wilayah WHO Eropa saat ini,” kata dia, Selasa. Namun, pejabat WHO yang mengawasi kawasan yang mencakup 53 negara dan membentang dari Greenland di barat laut hingga timur jauh Rusia itu menegaskan bahwa dunia "tidak bisa berpuas diri".

Dia mengakui bahwa China telah membagikan informasi pengurutan virus, tetapi menekankan bahwa WHO membutuhkan “informasi terperinci dan teratur”, terutama tentang epidemiologi dan varian lokal. “Bukan tidak masuk akal bagi negara-negara untuk mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi populasinya sementara kami menunggu informasi lebih rinci yang dibagikan melalui basis data yang dapat diakses publik,” kata Kluge.

Dia merujuk pada persyaratan yang diberlakukan oleh beberapa negara untuk orang-orang yang datang dari China, termasuk tes negatif COVID-19 dan bukti vaksinasi lengkap. “Untuk negara-negara di wilayah kami yang memperkenalkan tindakan pencegahan perjalanan seperti itu saat ini, kami menyerukan agar hal itu berakar pada sains, proporsional, dan tidak diskriminatif,” ujar dia.

 

antara

11
January

 

(voinews.id)- Krisis tenaga kesehatan global dapat meningkat menjadi 10 juta orang pada 2030, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Selasa (10/1). Pandemi COVID-19 memberikan beban ekstra terhadap sistem layanan kesehatan, mengganggu rantai pasokan global produk-produk esensial, serta membuat penyedia layanan kewalahan, menurut laporan Global Health and Healthcare Strategic Outlook WEF.

"Ancaman kekerasan dan kelelahan menjadi nyata sekaligus merupakan salah satu alasan para dokter mempertimbangkan profesi lain," kata Kashish Malhotra, dokter di Dayanand Medical College and Hospital di India, dalam laporan tersebut. Laporan itu, yang dipersiapkan bersama perusahaan konsultan L.E.K. Consulting, menyoroti kekacauan akibat pandemi, semisal penurunan 25 persen dalam layanan kesehatan esensial.

"Ini mengakibatkan dampak gabungan terhadap populasi rentan dan komunitas minoritas, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah," tulis laporan tersebut. Pengembangan vaksin tercepat dalam sejarah memperlihatkan potensi yang besar dari kemitraan publik-swasta dan regulasi berbasis penghasilan. Studi kasus dalam laporan tersebut juga menunjukkan bagaimana memanfaatkan upaya seperti itu untuk kesetaraan.

"Pandemi membawa progres yang luar biasa bagi pengembangan dan pengiriman obat-obatan," kata Shyam Bishen, kepala divisi layanan kesehatan WEF. "Sekarang kita harus fokus pada perubahan jangka panjang untuk menghentikan layanan kesehatan memburuk dalam menghadapi krisis ekonomi."

Laporan tersebut, yang diluncurkan menjelang Rapat Tahunan WEF 2023 pada akhir Januari ini, menyajikan studi kasus di empat sektor yang dianggap mampu mendorong perubahan. Laporan itu juga berisi desakan kepada para pemimpin layanan kesehatan agar mengalokasikan dana untuk model layanan alternatif serta memasukkan uji klinis yang lebih representatif di seluruh negara berpenghasilan rendah dan menengah.

 

Sumber: Anadolu