(voinews.id)- Inggris pada Rabu mengatakan secara prinsip telah menyetujui kesepakatan perdagangan digital dengan Ukraina. Perjanjian tersebut menjadi perjanjian pertama negara di Eropa timur itu dalam upaya mencari dukungan ekonomi setelah diinvasi oleh Rusia. Inggris telah berusaha mendukung Ukraina selama perang. Mereka tidak hanya menyediakan senjata, tetapi juga mengambil langkah-langkah ekonomi, seperti menghilangkan tarif masuk bagi semua barang dari Ukraina.
Perundingan tentang kesepakatan digital tersebut dimulai pada musim panas dan dipercepat untuk mendukung perekonomian Ukraina selama perang dan setelahnya. "Kesepakatan ini akan membuat bisnis dan pemerintahan kami bisa berkolaborasi lebih banyak lagi dan memastikan rakyat Ukraina memiliki akses ke barang dan jasa penting perdagangan digital yang terbuka," kata Menteri Perdagangan Inggris Kemi Badenoch. "(Kesepakatan) ini akan membantu melindungi pekerjaan, mata pencaharian dan keluarga saat ini dan di masa depan pascaperang Ukraina."
Kesepakatan tersebut mencakup bidang-bidang seperti merampingkan proses perbatasan digital, aliran data lintas batas, transaksi elektronik dan tanda tangan elektronik. Yulia Svyrydenko, wakil menteri pertama Ukraina sekaligus menteri perdagangan dan ekonomi, akan berada di London untuk menandai kesepakatan tersebut.
"Kesepakatan Perdagangan Digital Inggris-Ukraina telah mengabadikan kebebasan inti untuk perdagangan barang dan jasa digital," kata Svyrydenko. Kesepakatan itu merupakan kesepakatan perdagangan digital kedua Inggris, setelah yang pertama dicapai dengan Singapura pada awal tahun ini.
Sumber: Reuters
(voinews.id)Jakarta (ANTARA) - Sejumlah peserta pameran Paviliun Indonesia di Halal Expo yang diselenggarakan di Istanbul, Turki, mencatat transaksi potensial senilai 1,9 juta dolar AS (sekitar Rp29,9 miliar) untuk pembelian berbagai produk, termasuk gula kelapa, bumbu, suplemen herbal, dan fesyen. Duta Besar RI untuk Turki Lalu Muhammad Iqbal dalam keterangan tertulis KBRI Ankara, Selasa, mengatakan respons pasar Turki terhadap tawaran produk halal Indonesia cukup bagus.
Masyarakat dan dan dunia usaha di Turki semakin bisa melihat bahwa produk halal Indonesia berkualitas, menurut Lalu Muhammad. "Upaya penetrasi pasar tersebut perlu didukung dengan menciptakan ekosistem halal dan industrialisasi halal di dalam negeri agar produk Indonesia dapat bersaing,” ujarnya. Paviliun Indonesia, yang didirikan di area seluas 323 meter persegi, kali ini diisi 34 peserta yang terdiri dari perusahaan dan unsur pemerintah daerah/kementerian. Luas paviliun dan peserta pameran hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Paviliun yang didirikan atas dukungan Kementerian Perdagangan RI tersebut dipadati pengunjung hingga hari terakhir penyelenggaraan Halal Expo 2022. “Pada Halal Expo tahun ini, antusiasme pengunjung ke Paviliun Indonesia dan calon mitra luar biasa,” ujar Atase Perdagangan KBRI Ankara Eric Gokasi Nababan, yang turut menggawangi Paviliun Indonesia di pameran tersebut.
Menurut dia, keikutsertaan dalam pameran tersebut dapat dikatakan berhasil dalam memperkenalkan dan meningkatkan akses produk Indonesia ke Turki dan dunia. Selain mencatatkan transaksi dagang, para peserta pameran asal Indonesia mengungkapkan bahwa keikutsertaan mereka dalam pameran ini dinilai sangat bermanfaat dalam mempelajari pasar Turki dan melakukan jejaring dengan pengusaha dari berbagai negara.
Salah satu produsen seasoning Indonesia yang baru pertama kali mengikuti pameran di Turki mengatakan bahwa pasar Turki sangat menjanjikan. Dia juga berharap perjanjian IT-CEPA dapat segera diselesaikan agar bea masuk produknya dapat diturunkan sehingga dapat lebih kompetitif.
Gelaran Halal Expo merupakan ajang pameran dagang halal terbesar di dunia yang diikuti oleh berbagai pelaku usaha negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam. Tahun ini merupakan gelaran yang ke-9 dan kali kedua Indonesia turut serta dalam ajang pameran tersebut. Promosi produk-produk halal Indonesia pada ajang tersebut diharapkan dapat mendukung upaya Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia.
antara
(voinews.id)- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin mengganti nama penyakit monkeypox (cacar monyet) menjadi "mpox" karena khawatir dengan rasisme dan stigmatisasi. Nama baru itu akan digunakan "secara bersamaan selama satu tahun" dan nama lama secara bertahap akan dihapus, kata WHO dalam sebuah pernyataan. Masa transisi untuk adopsi nama baru itu bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran yang disampaikan oleh para ahli tentang kebingungan yang disebabkan oleh perubahan nama di tengah wabah global yang sedang berlangsung, katanya.
"Ketika wabah cacar monyet meluas awal tahun ini, bahasa bernuansa rasis dan menstigmatisasi terpantau menyebar di dunia maya, di lingkungan lain dan di beberapa komunitas," kata organisasi yang berbasis di Jenewa itu. Menurut WHO, penyakit cacar monyet dinamai pada 1970 ketika kasus infeksi pertama pada manusia terkonfirmasi. Virus penyebab penyakit itu pertama kali ditemukan pada monyet penangkaran di Denmark pada 1958.
Badan kesehatan PBB itu mengusulkan nama "mpox" mengikuti pedoman yang dirilis pada 2015 untuk "meminimalkan efek negatif yang tidak perlu pada negara, ekonomi, dan masyarakat" saat menamai penyakit menular baru pada manusia. Pedoman tersebut merekomendasikan untuk menghindari nama yang mengacu pada hewan, lokasi geografis dan kelompok etnis, seperti "flu babi" dan "Sindrom Pernafasan Timur Tengah".
Nama penyakit harus terdiri dari istilah deskriptif generik berdasarkan gejala yang ditimbulkannya, kata WHO. Mpox mulai menyebar di luar Afrika tengah dan barat, yang menjadi tempat endemiknya, pada Mei. Hingga Sabtu (26/11), sebanyak 81.107 kasus mpox dan 55 kematian akibat penyakit itu di 110 negara dan wilayah telah dilaporkan ke WHO pada tahun ini, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan pria. Meskipun masih belum pasti penyebab utamanya, hewan pengerat tampaknya menjadi pembawa alami virus tersebut, kata WHO.
Sumber: Kyodo-OANA
(voinews.id)- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin mengganti nama penyakit monkeypox (cacar monyet) menjadi "mpox" karena khawatir dengan rasisme dan stigmatisasi. Nama baru itu akan digunakan "secara bersamaan selama satu tahun" dan nama lama secara bertahap akan dihapus, kata WHO dalam sebuah pernyataan. Masa transisi untuk adopsi nama baru itu bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran yang disampaikan oleh para ahli tentang kebingungan yang disebabkan oleh perubahan nama di tengah wabah global yang sedang berlangsung, katanya.
"Ketika wabah cacar monyet meluas awal tahun ini, bahasa bernuansa rasis dan menstigmatisasi terpantau menyebar di dunia maya, di lingkungan lain dan di beberapa komunitas," kata organisasi yang berbasis di Jenewa itu. Menurut WHO, penyakit cacar monyet dinamai pada 1970 ketika kasus infeksi pertama pada manusia terkonfirmasi. Virus penyebab penyakit itu pertama kali ditemukan pada monyet penangkaran di Denmark pada 1958.
Badan kesehatan PBB itu mengusulkan nama "mpox" mengikuti pedoman yang dirilis pada 2015 untuk "meminimalkan efek negatif yang tidak perlu pada negara, ekonomi, dan masyarakat" saat menamai penyakit menular baru pada manusia. Pedoman tersebut merekomendasikan untuk menghindari nama yang mengacu pada hewan, lokasi geografis dan kelompok etnis, seperti "flu babi" dan "Sindrom Pernafasan Timur Tengah".
Nama penyakit harus terdiri dari istilah deskriptif generik berdasarkan gejala yang ditimbulkannya, kata WHO. Mpox mulai menyebar di luar Afrika tengah dan barat, yang menjadi tempat endemiknya, pada Mei. Hingga Sabtu (26/11), sebanyak 81.107 kasus mpox dan 55 kematian akibat penyakit itu di 110 negara dan wilayah telah dilaporkan ke WHO pada tahun ini, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan pria. Meskipun masih belum pasti penyebab utamanya, hewan pengerat tampaknya menjadi pembawa alami virus tersebut, kata WHO.
Sumber: Kyodo-OANA