Edisi kali ini mengetengahkan topik mengenai Mahasiswa UGM Manfaatkan Limbah Kulit Ubi Kayu Untuk Pelapis Pakan Ikan.
Ketela pohon atau ubi kayu sangat mudah dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Bagian tamanan ini yang paling sering dimanfaatkan adalah buah atau ubi serta daunnya. Kulit ubi kayu atau biasa juga disebut singkong ini biasanya dibuang dan menjadi sampah. Sebenarnya bagian kulit singkong dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan terobosan dengan membuat pelapis pakan ikan atau pelet dari limbah kulit ubi kayu. Inovasi ini mampu meningkatkan efektivitas pemberian pakan ikan budidaya. Salah satu anggota tim Muhammad Burhanudding Fauzi mengatakan, pelapis pakan ikan (pelet) ini memberikan keuntungan karena pakan tidak mudah hancur. Pelapis berfungsi sebagai penahan pakan agar tidak mudah menyerap air. Menurut Fauzi, sifat edibel coating (pelapis) pada kulit ubi kayu ini menjadikan pakan ikan tidak mudah menyerap air dan dapat bertahan lebih lama. Selain itu pakan yang tidak mudah hancur di air dapat mengurangi pencemaran sisa pakan dalam air. Inovasi bernama Eating Paku yang merupakan singkatan Edible Coating Pati Kulit Ubi Kayu ini lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa UGM 2018. Fauzi mengembangkannya bersama rekannya di Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, yaitu Ahadian Ansor dan Mochammad Idris Ramadana, dengan bimbingan Sri Rahayoe. Fauzi menambahkan, dari hasil uji menunjukkan dengan pelapis ini pelet dapat bertahan dalam air 5 sampai 7 jam.Penggunaan pati kulit ubi kayu sebagai dasar pembuatan edible dipilih karena memakan biaya relatif murah dibandingkan bahan lain seperti protein maupun lipid. Selain itu, bahan baku berupa kulit ubi kayu ini tersedia cukup melimpah di masyarakat. Bahkan, kulit ubi kayu biasanya hanya menjadi limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pembuatan pelapis pakan ikan dilakukan dengan mengolah kulit ubi kayu hingga menjadi pati terlebih dahulu. Selanjutnya, pati diformulasi dan mencampurkannya dengan dengan gliserol, carboxymethyl cellulose dan aquades melalui proses setirer. Terakhir, larutan yang dihasilkan disemprotkan ke pelet mandiri, sehingga pakan ikan yang lebih tahan lama dalam air.
MenurutAhadian, ide mengembangan pelapis pakan ikan ini berawal dari keluhan masyarakat, terutama petani ikan di Sleman. Petani ikan sering mengeluhkan kondisi pakan ikan yang dibuat mandiri, kualitasnya tidak sebagus pakan ikan yang ada di pasaran. Sementara pakan ikan komersil harganya relatif lebih mahal dibanding pakan ikan mandiri.
Jawa Barat memang memiliki banyak air terjun yang tersebar di wilayahnya. Dari banyaknya air terjun tersebut, ada sebuah air terjun tersembunyi yang terdapat di Desa Sanca, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, bernama Curug Bentang. Curug Bentang berada dalam satu kawasan Desa Wisata Wangun Harja, sama dengan Curug Cibareubeuy.Curug Bentang adalah rangkaian air terjun yang terbagi menjadi 2. Air terjun pertama membentuk kolam kecil yang kemudian mengalir ke air terjun kedua yang lebih besar. Sejauh ini baru air terjun kedua yang dapat diakses, karena air terjun pertama lokasinya lebih kearah hulu, sehingga harus melewati hutan dan bukit.
Debit air Curug Bentang cukup deras dengan airnya yang jernih. Menikmati kesegaran air terjun dengan berendam atau berenang tentunya menjadi aktivitas wisata menyenangkan yang dapat dilakukan di tempat wisata ini.Curug Bentang berjarak sekitar 30 km dari Kabupaten Subang. Dari Subang atau Bandung, Curug Bentang dapat ditempuh selama 40-60 menit perjalanan darat melalui Desa Palasari, Sarireja, atau Kasomalang di Kecamatan Jalan Cagak. Kondisi jalan dari Palasari ke Sanca relatif bagus. Namun, karena petunjuk arah masih sangat minim, pengunjung harus bertanya pada penduduk sekitar.Setelah sampai di pintu gerbang, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar Rp. 5000 per orang. Dari gerbang ini, perjalanan menuju Curug Bentang hanya sekitar 1km, namun harus ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang menurun.
di lokasi wisata Curug Bentang ini sudah tersedia beberapa warung penjual makanan di dekat pintu gerbang masuk curug. Selain itu, didalam area wisata ini, tidak jauh dari gerbang masuk, ada beberapa villa penginapan sederhana yang disewakan bagi pengunjung untuk menginap.
Ketela pohon atau ubi kayu sangat mudah dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Bagian tamanan ini yang paling sering dimanfaatkan adalah buah atau ubi serta daunnya. Kulit ubi kayu atau biasa juga disebut singkong ini biasanya dibuang dan menjadi sampah. Sebenarnya bagian kulit singkong dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan terobosan dengan membuat pelapis pakan ikan atau pelet dari limbah kulit ubi kayu. Inovasi ini mampu meningkatkan efektivitas pemberian pakan ikan budidaya. Salah satu anggota tim Muhammad Burhanudding Fauzi mengatakan, pelapis pakan ikan (pelet) ini memberikan keuntungan karena pakan tidak mudah hancur. Pelapis berfungsi sebagai penahan pakan agar tidak mudah menyerap air. Menurut Fauzi, sifat edibel coating (pelapis) pada kulit ubi kayu ini menjadikan pakan ikan tidak mudah menyerap air dan dapat bertahan lebih lama. Selain itu pakan yang tidak mudah hancur di air dapat mengurangi pencemaran sisa pakan dalam air.
Inovasi bernama Eating Paku yang merupakan singkatan Edible Coating Pati Kulit Ubi Kayu ini lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa UGM 2018. Fauzi mengembangkannya bersama rekannya di Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, yaitu Ahadian Ansor dan Mochammad Idris Ramadana, dengan bimbingan Sri Rahayoe. Fauzi menambahkan, dari hasil uji menunjukkan dengan pelapis ini pelet dapat bertahan dalam air 5 sampai 7 jam.
Penggunaan pati kulit ubi kayu sebagai dasar pembuatan edible dipilih karena memakan biaya relatif murah dibandingkan bahan lain seperti protein maupun lipid. Selain itu, bahan baku berupa kulit ubi kayu ini tersedia cukup melimpah di masyarakat. Bahkan, kulit ubi kayu biasanya hanya menjadi limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pembuatan pelapis pakan ikan dilakukan dengan mengolah kulit ubi kayu hingga menjadi pati terlebih dahulu. Selanjutnya, pati diformulasi dan mencampurkannya dengan dengan gliserol, carboxymethyl cellulose dan aquades melalui proses setirer. Terakhir, larutan yang dihasilkan disemprotkan ke pelet mandiri, sehingga pakan ikan yang lebih tahan lama dalam air.
Menurut Ahadian, ide mengembangan pelapis pakan ikan ini berawal dari keluhan masyarakat, terutama petani ikan di Sleman. Petani ikan sering mengeluhkan kondisi pakan ikan yang dibuat mandiri, kualitasnya tidak sebagus pakan ikan yang ada di pasaran. Sementara pakan ikan komersil harganya relatif lebih mahal dibanding pakan ikan mandiri.
Binarundak adalah salah satu jenis makanan khas di wilayah kelurahan Motoboi Besar, kecamatan Kotamobagu Timur, Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara. Untuk sebagian besar warga Sulawesi Utara menyebut Barundak ini dengan sebutan Nasi Jaha, atau di Gorontalo dikenal dengan sebutan Nasi Bulu. Di beberapa tempat di pulau Sumatra, Binarundak ini dikenal dengan sebutan Lemang.
di kelurahan Motoboi Besar, Kecamatan Kotamobagu Timur, Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara, Binarundak sudah menjadi Ikon. Di sini telah berdiri sebuah Tugu Binarundak dengan tinggi 18 meter, besar lingkaran bangunan 70 centimeter dan garis tengah alas seluas 1 ½ meter. Tugu yang diresmikan oleh Wali Kota Kotamobagu pada tanggal 2 Agustus 2014 ini berdiri tegak dan kokoh di tengah kampung.
Makan binarundak di kelurahan Motoboi Besar sudah menjadi tradisi tersendiri. Biasanya 1 minggu setelah Hari Raya Idul Fitri warga setempat selalu menggelar perayaan Lebaran Binarundak. Tradisi Binarundak ini sengaja dibuat oleh warga yang pulang mudik dari rantau , seperti dari Jawa, Sumatra kalimantan dan daerah-daerah lainnya. Selain menjadi rangkaian perayaan Idul Fitri, tradisi ini juga merupakan ajang bermaaf-maafan sebelum pemudik kembali ke tempat perantauannya.Pada puncak perayaannya, berton-ton sabut kelapa dan bahan Binarundak disiapkan warga untuk pembuatan Binarundak. Pengolahan Binarundak ini terbilang unik. Bahan –bahan Binarundak yang terdiri dari beras ketan dicampur dengan racikan rempah dan bumbu seperti bawang merah, jahe, serai, dan santan. Kemudian campuran beras ketan dan bumbu tersebut dimasukkan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang. Setelah itu bambu tersebut dibakar dengan menggunakan sabut kelapa bercampur tempurung. Sepanjang proses pembuatan Binarundak, masyarakat bergantian membakar ataupun membolak-balikkan makanan khas itu agar masaknya merata. Saat pembakaran Binarundak , asap tebal mengepul sepanjang jalan. Pada saat ini, di antara mereka yang belum sempat saling berkunjung pada saat lebaran Idul fitri, menggunakan kesempatan tersebut untuk saling bersilahturahmi.
menjelang sore, sebagian besar Binarundak yang telah matang diangkut oleh panitia yang bertugas untuk dikumpulkan di suatu tempat yang telah ditentukan. Di beberapa pos, sebagian Binarundak di sisihkan dan disajikan untuk langsung disantap bersama.