Hari ini akan memperkenalkan Ritual Baharagu. pagelaran budaya Kalimantan bertajuk Festival Banjar 2018 telah berlangsung 29 Juni hingga 1 Juli kemarin di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Festival dilaksanakan selama tiga hari tersebut, menyajikan ragam kebudayaan dan kesenian khas Banjar dan Dayak Meratus. Kekhasan asal Banjar, seperti tari-tarian, kuliner tradisional, bahkan perahu-perahu dari pasar apung yang ada disejumlah titik di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pun turut dihadirkan. Menariknya, diantara rangkaian atraksi yang tampil kemarin, ada hal yang tidak biasa, yaitu keluarnya masyarakat pedalaman Dayak yang selama ini tidak pernah melangkah keluar dari lingkungannya. Warga Dayak tersebut melakukan ritual Baharagu, sebuah ritual pengobatan adat Dayak tradisional, yang berkaitan dengan kepercayaan pada roh leluhur.
Etnik Dayak di Kalimantan umumnya memiliki ritual penyembuhan penyakit yang disebut sebagai upacara Balian. Atau oleh masyarakat Dayak Paramasan lebih sering disebut dengan nama Baharagu. Baharagu merupakan ritual untuk pengobatan terhadap orang sakit. Kesembuhan diperoleh melalui permohonan Balian atau Guru Jaya (Kepala Suku) kepada Maha Kuasa melalui ritual tertentu, sehingga pengganggu atau pemberi penyakit segera hilang dari orang yang sakit. Untuk ritual ini, perlu dipersiapkan bubur dan kue warna-warni, minuman kopi, telur dan benda logam seperti uang kuno. Perlengkapan ritual baharagu lainnya adalah pelepah daun kelapa (hanau) yang masih muda. Pelepah ini diikat bagian ujungnya dan digantung ke atap/plafon rumah dan ujung yang lain dibiarkan terurai.
Saat ritual berlangsung, si penderita sakit dibaringkan dihadapan kerabat. Selanjutnya balian akan berdoa dan memanggil roh-roh leluhur dan dewa-dewa, serta melakukan pembacaan mantra (mamang) diiringi dengan tabuhan gendang. Balian akan menari-nari kerasukan dan mengerahkan dayanya untuk membangkitkan, atau mengambil penyebab sakit yang bersarang ditubuh penderita. Balian kemudian menghisap (dengan mulut) pada tempat yang sakit, maka biasanya akan keluar berbagai benda seperti jarum, paku, kawat, tanah, kerikil batu, serangga dan sebagainya. Setelah melakukan ritual, pasien akan menjalani masa berpamantang yang berarti tidak boleh beraktivitas dua hari satu malam. Pada masa ini, si pasien dilarang beraktivitas di luar rumah.
Ritual Baharagu digelar pada hari pertama Festival Dayak 2018. Selain disaksikan oleh masyarakat luas, ritual ini juga disaksikan para dubes yang hadir. Masyarakat sangat antusias menyaksikan ritual ini, karena belum pernah dipertunjukkan dan jarang diketahui oleh masyarakat luas. Tidak biasa seperti pada pengobatan baharagu pada umumnya yang mengeluarkan penyebab penyakit dalam bentuk jarum, paku, kawat, tanah, dan batu kerikil, ritual baharagu kemarin melakukan pengobatan adat, lalu penyakitnya dipindahkan ke ayam, yang nantinya disembelih.
Edisi kali ini, akan memperkenalkan salah satu tempat wisata dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Taman Nasional Komodo semakin mendunia setelah resmi menjadi salah satu tujuh keajaiban alam dunia. Keindahan alam yang ada di kawasan ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, sebelum memasuki kawasan wisata ini, anda akan dibuat takjub akan keindahan alam dari pintu masuknya yaitu Pulau Lawadarat atau dalam bahasa setempat Gili Lawadarat.
sebelum tiba di Pulau Komodo, wisatawan akan melewati Gili Lawadarat terlebih dahulu. Pulau ini terletak di sebelah utara Pulau Komodo dan termasuk dalam satu pulau yang ada di Taman Nasional Komodo sejak tahun 1980. Hal menarik yang dapat ditemui disini ialah hamparan laut serta gugusan pulau kecil yang begitu eksotis.Gili Lawadarat merupakan salah satu pulau yang melindungi habitat kadal terbesar di dunia selain Pulau Komodo, Rinca, dan Padar. Hampir seluruh pulau ini ditumbuhi rerumputan. Hamparan rumput inilah yang selama ini telah memikat wisatawan yang pernah berkunjung. Bagi wisatawan yang ingin menenangkan diri bisa melakukan trekking selama 30 menit ke puncak pulau agar dapat menikmati panorama keindahan alam eksotis lebih lengkap.waktu yang paling tepat untuk berkunjung ke Gili Lawadarat adalah sebelum matahari terbit. Sebab pada saat itu, anda dapat melihat matahari terbit yang benar-benar luar biasa indahnya. Jika beruntung, anda dapat melihat keindahan matahari dan bulan di waktu yang bersamaan. Belum lagi dengan permukaan laut yang membuat tempat ini semakin tak bisa terlupakan keindahannya.Jika akan berkunjung ke destinasi wisata ini, anda bisa melewati dua rute yaitu melalui Pulau Lombok atau Pulau Flores. Namun untuk menghemat waktu, ada baiknya jika anda menggunakan rute Flores. Karena salah satu bandara di Flores cukup dekat dengan Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo, perjalanan dilanjutkan menuju Gili Lawadarat dengan perahu mesin selama beberapa jam.
Akhir abad ke 17, VOC membawa bibit kopi dari Malabar ke Indonesia. Bibit kopi tersebut kemudian ditanam di Jakarta, namun gagal karena terserang banjir. Di tahun 1700, penanaman kopi kembali dilakukan, dan berhasil. Tapi keberhasilan tersebut tak lama dirasakan. Serangan Hemileia vastatrix di abad ke 19, menjadi bencana terbesar dalam sejarah kopi Nusantara. Ternyata, penyakit karat daun itu, akhirnya melahirkan kekayaan baru yang memikat dunia. "The Heaven Of Coffee", surga kopi, kini melekat sebagai identitas negeri ini, Indonesia.Untuk mempertahankan identitas tersebut dan dalam rangka lebih mengenalkan serta memasarkan varian kopi Indonesia, khususnya kopi Papua, komunitas Kopi dan Pariwisata yang didukung oleh Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI), Association Sales Travel Indonesia (ASATI) dan Indonesia Diaspora Network (IDN) SME Export Empowerment & Development menyelenggarakan kegiatan ekspedisi Kopi Nusantara, yang akan dimulai di Wamena Papua pada tanggal 8-20 Agustus 2018. Penggagas kegiatan ini mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan mantan Duta Besar RI untuk Kolombia Niniek Sadmojo.Menurut Anton Apriyantono, selaku ketua pelaksana program yang juga ketua umum Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI), Ekspedisi Kopi Nusantara akan menjadi sarana pendokumentasian keragaman kopi Indonesia sekaligus pencitraan parawisata eksotisme kopi , mulai dari kebun sampai ke secangkir kopi dan pariwisata sekeliling perkebunan kopi atau coffee trip.
Kopi di Indonesia, terutama dikenal dengan 2 jenis (spesies) yaitu Arabika dan Robusta, sementara daerah penghasil utama kopi terbaik di Indonesia untuk jenis Arabika adalah Aceh Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues), Sumatera Utara (Lintongnihuta, Mandailing, dan Sidikalang), Jawa Tengah (Temanggung, Ungaran), Jawa Barat (Gunung Puntang, Malabar, Garut), Jawa Timur (Malang, Jember, Jampit), Flores (Bajawa, Manggarai), Sulawesi (Toraja dan Kalosi, Kabupaten Enrekang), Papua (Wamena) dan Bali (Kintamani).
Sedangkan untuk penghasil kopi jenis Robusta ada di Lampung (Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Tanggamus), Bengkulu dan Sumatera Selatan. Niniek Sadmojo menjelaskan, bahwa keanekaragaman varian tanaman kopi Indonesia dari Aceh sampai Papua merupakan kelebihan kopi Indonesia dibandingkan kopi dari negara-negara penghasil kopi di dunia, seperti Kolombia dan Brasil.
ekspedisi di Papua akan diawali dengan pencanangan program pendakian dan pengibaran Bendera Merah Putih di Puncak Trikora pada Hari Kemerdekaan RI ke-73 pada 17 Agustus 2018, yang dilakukan oleh 2 orang pendaki wanita Indonesia, yaitu Mila Ayu Hariyanti, S.Or dan pemegang rekor MURI perempuan pendaki tercepat yang mampu menyelesaikan 7 summits Indonesia dalam kurun waktu 100 hari, dan Dr. Shelvie Nidya Neyman, M.Si.,S.Kom.
Selain itu disertai pula dengan kunjungan wisata ke kebun kopi atau coffee trip di Wamena, dan partisipasi dalam Festival Lembah Baliem 2018 dengan mengundang komunitas pencinta kopi dari dalam dan luar negeri.Ekspedisi kemudian dilanjutkan ke sebelas daerah penghasil kopi di Indonesi, berturut turut ke Sulawesi, Flores, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan berakhir di Aceh.
Seiring dengan hal tersebut, dilakukan juga pengumpulan data untuk penulisan buku "THE JOURNEY OF INDONESIAN COFFEE" Mahakarya Kopi Indonesia Dari Wamena ke Takengon serta dokumentasi foto dan video di kebun kopi Wamena-Papua.Ira Damayanti selaku Vice President Indonesian Diaspora Network / Diaspora USA, selaku Penggagas Ide dan Pengarah Program Buku dan Video Dokumenter menjelaskan, buku dan video dokumenter "The Journey of Indonesian Coffee" menjadi sarana promosi dan pemasaran kopi Indonesia yang paling efektif di seluruh penjuru dunia, dengan peran perwakilan Indonesia di luar negeri, KBRI, KJRI dan ITPC, bersinergi dengan komunitas Indonesia Diaspora Network yang tersebar di seluruh belahan dunia.
Akhir abad ke 17, VOC membawa bibit kopi dari Malabar ke Indonesia. Bibit kopi tersebut kemudian ditanam di Jakarta, namun gagal karena terserang banjir. Di tahun 1700, penanaman kopi kembali dilakukan, dan berhasil. Tapi keberhasilan tersebut tak lama dirasakan. Serangan Hemileia vastatrix di abad ke 19, menjadi bencana terbesar dalam sejarah kopi Nusantara. Ternyata, penyakit karat daun itu, akhirnya melahirkan kekayaan baru yang memikat dunia. "The Heaven Of Coffee", surga kopi, kini melekat sebagai identitas negeri ini, Indonesia.Untuk mempertahankan identitas tersebut dan dalam rangka lebih mengenalkan serta memasarkan varian kopi Indonesia, khususnya kopi Papua, komunitas Kopi dan Pariwisata yang didukung oleh Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI), Association Sales Travel Indonesia (ASATI) dan Indonesia Diaspora Network (IDN) SME Export Empowerment & Development menyelenggarakan kegiatan ekspedisi Kopi Nusantara, yang akan dimulai di Wamena Papua pada tanggal 8-20 Agustus 2018. Penggagas kegiatan ini mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan mantan Duta Besar RI untuk Kolombia Niniek Sadmojo.Menurut Anton Apriyantono, selaku ketua pelaksana program yang juga ketua umum Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI), Ekspedisi Kopi Nusantara akan menjadi sarana pendokumentasian keragaman kopi Indonesia sekaligus pencitraan parawisata eksotisme kopi , mulai dari kebun sampai ke secangkir kopi dan pariwisata sekeliling perkebunan kopi atau coffee trip.
Kopi di Indonesia, terutama dikenal dengan 2 jenis (spesies) yaitu Arabika dan Robusta, sementara daerah penghasil utama kopi terbaik di Indonesia untuk jenis Arabika adalah Aceh Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues), Sumatera Utara (Lintongnihuta, Mandailing, dan Sidikalang), Jawa Tengah (Temanggung, Ungaran), Jawa Barat (Gunung Puntang, Malabar, Garut), Jawa Timur (Malang, Jember, Jampit), Flores (Bajawa, Manggarai), Sulawesi (Toraja dan Kalosi, Kabupaten Enrekang), Papua (Wamena) dan Bali (Kintamani).
Sedangkan untuk penghasil kopi jenis Robusta ada di Lampung (Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Tanggamus), Bengkulu dan Sumatera Selatan. Niniek Sadmojo menjelaskan, bahwa keanekaragaman varian tanaman kopi Indonesia dari Aceh sampai Papua merupakan kelebihan kopi Indonesia dibandingkan kopi dari negara-negara penghasil kopi di dunia, seperti Kolombia dan Brasil.
ekspedisi di Papua akan diawali dengan pencanangan program pendakian dan pengibaran Bendera Merah Putih di Puncak Trikora pada Hari Kemerdekaan RI ke-73 pada 17 Agustus 2018, yang dilakukan oleh 2 orang pendaki wanita Indonesia, yaitu Mila Ayu Hariyanti, S.Or dan pemegang rekor MURI perempuan pendaki tercepat yang mampu menyelesaikan 7 summits Indonesia dalam kurun waktu 100 hari, dan Dr. Shelvie Nidya Neyman, M.Si.,S.Kom.
Selain itu disertai pula dengan kunjungan wisata ke kebun kopi atau coffee trip di Wamena, dan partisipasi dalam Festival Lembah Baliem 2018 dengan mengundang komunitas pencinta kopi dari dalam dan luar negeri.Ekspedisi kemudian dilanjutkan ke sebelas daerah penghasil kopi di Indonesi, berturut turut ke Sulawesi, Flores, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan berakhir di Aceh.
Seiring dengan hal tersebut, dilakukan juga pengumpulan data untuk penulisan buku "THE JOURNEY OF INDONESIAN COFFEE" Mahakarya Kopi Indonesia Dari Wamena ke Takengon serta dokumentasi foto dan video di kebun kopi Wamena-Papua.Ira Damayanti selaku Vice President Indonesian Diaspora Network / Diaspora USA, selaku Penggagas Ide dan Pengarah Program Buku dan Video Dokumenter menjelaskan, buku dan video dokumenter "The Journey of Indonesian Coffee" menjadi sarana promosi dan pemasaran kopi Indonesia yang paling efektif di seluruh penjuru dunia, dengan peran perwakilan Indonesia di luar negeri, KBRI, KJRI dan ITPC, bersinergi dengan komunitas Indonesia Diaspora Network yang tersebar di seluruh belahan dunia.