Pameran pariwisata Beijing International Travel Expo (BITE) 2018 telah dilaksanakan di China National Convention Center, Beijing pada 15 hingga 17 Juni kemarin. Pada ajang pameran pariwisata ini, Wonderful Indonesia meraih dua perhargaan, yakni Most Popular Both Awards dan Most Outstanding Both Awards. Menurut Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II, Vinsensius Jemadu, mengatakan penghargaan ini merupakan prestasi yang luar biasa yang membuat Wonderful Indonesia semakin percaya diri dan kredibel di mata dunia. Sementara itu, menurut Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II Kementerian Pariwisata Nia Niscaya, penghargaan ini memperkuat posisi Wonderful Indonesia di Tiongkok.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan bahwa, penghargaan tersebut memiliki tiga makna sebagai 3C, yakni Confident, Credibility, dan Calibration. Penghargaan ini berarti menaikkan confidence sebagai bangsa, mengangkat credibility sebagai negara dan berfungsi sebagai calibration untuk memotret seberapa hebat Wonderful Indonesia. Tahun ini promosi Wonderful Indonesia di Pasar Tiongkok sedang diintensifkan karena kemampuan spending dan arus besar outbound-nya. Jumlah outbound wisatawan Tiongkok selalu positif dimana pada tahun 2017 mencapai 130 juta dengan spending yang tidak sedikit. Wisatawan Asing (Wisman) China menghabiskan budget besar hingga RMB115,29 Miliar (Renminbi) atau Rp242,109 Triliun mengacu padadata dari International Luxury Travel.Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II Kementerian Pariwisata Nia Niscaya menuturkan Ajang BITE 2018 adalah momentum yang tepat untuk memperkuat penetrasi pasar Tiongkok. Pada ajang pameran pariwisata ini, Paviliun Wonderful Indonesia didesain dengan konsep Kapal Phinisi dan arsitektur tradisional Bali, Gapura Candi Bentar. Paviliun Indonesia telah mempesona para juri dan pengunjung yang hadir. Konsistensi Indonesia menghadirkan Kapal Phinisi dalam setiap ajang pameran pariwisata dunia dilakukan untuk memperkuat image Indonesia sebagai negara maritim yang kaya akan potensi bahari.
Pesona wisata di Bandung, Jawa Barat tak henti memberikan kejutan pada wisatawan. Bandung seolah selalu berinovasi untuk menarik minat wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kali ini Voice Of Indonesia akan membahas tentang salah satu destinasi wisata di Bandung yang bernuansa alam yang bisa dinikmati bersama keluarga. Namanya adalah Kampung Batu Malakasari. Destinasi wisata ini berada di Jalan Raya Bancaran Rencong, Desa Malakasari, Bale Endah.
sebelumnya, kawasan Kampung Batu Malakasari merupakan daerah pertambangan batu. Kondisinya lokasi ini sempat memprihatinkan setelah terbengkalai selama beberapa tahun. Namun, suatu waktu, seorang investor bernama Ir. H. Waryo datang dan membangun destinasi wisata Kampung Batu Malakasari. Beberap bulan setelahnya, lokasi gersang yang terbengkalai ini menjadi sebuah tempat wisata yang menarik. Selain mengandalkan pesona alamnya yang indah nan eksotis, wisatawan yang berkunjung juga akan dimanjakan dengan beragam wahana bernilai edukatif.
Kampung Batu Malakasari tampak seperti sebuah laboratorium alam. Sebab, di tempat ini, wisatawan bisa mencoba beragam kegiatan menarik. Rata-rata kegiatan yang bisa dilkukan di sini memang berhubungan dengan alam dan makhluk hidup di sekitar lingkungan. Mulai dari berinteraksi dengan hewan di peternakan sapi, domba, kelinci, dan kambing, melihat rusa totol di penangkaran, belajar soal persawahan serta agrikultur, dan menyelami seni lokal di Bale Seni Budaya dan Rumah Adat Sunda. Selain itu, kegiatan menarik lainnya adalah outbond, flying fox, dan berjalan menyusuri Bukit Batu yang membuat anda semakin sekat dengan alam di destinasi wisata ini.
banyak yang mengatakan jika Kampung Batu Malakasari merupakan salah satu destinasi wisata terlengkap di Bandung karena memiliki beragam wahana dan fasilitas. Dengan demikian tempat Ini cocok dijadikan alternatif untuk mengisi waktu liburan di akhir pekan bersama keluarga. Utamanya bagi mereka yang suka tempat bernuansa alam. Kampung Batu Malakasari buka setiap hari antara pukul sembilan hingga empat sore. Akhir pekan dan hari libur destinasi wisata ini buka setengah jam lebih cepat dan tutup satu jam lebih lama. Jangan lupa bagi wisatawan yang akan berkunjung ke tempat ini untuk membawa cukup banyak uang tunai, sebab untuk masuk ke masing-masing wahana harus mengeluarkan biaya ekstra. Wisatawan diharuskan membayar sekitar lima hingga 15 ribu rupiah per wahana.
Oncom merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Oncom sendiri merupakan produk yang memanfaatkan bahan limbah, seperti bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas singkong, dan ampas kelapa, melalui proses fermentasi yang dilakukan oleh beberapa jenis kapang.Sedangkan Kapang (mikroorganisme) dapat dianggap sebagai pabrik penghasil zat-zat gizi, sebab proses fermentasi oleh kapang dapat meningkatkan nilai dan mutu gizi produk akhir menjadi beberapa kali lipat lebih banyak dibandingkan bahan asalnya.Sehubungan dengan hal tersebut, lima mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat inovasi minuman dari oncom yang dikolaborasikan dengan buah tropis yakni nanas sebagai minuman anti penuaan (anti-aging) yang menyegarkan, dinamakan "O'Sheak".
Kelima mahasiswa tersebut adalah Husnul Rais, Alfurqan Nur Aziz, Apip Nurdin, Muhammad Samsul Arifin, dan Fahri Sinulingga. Para mahasiswa IPB ini tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K) di bawah bimbingan Sutrisno Koswara.Menurut Husnul Rais, mahasiswa Departemen Ilmu Pangan dan Teknologi IPB, O’Sheak mengandung Bifidobacteria yang diperoleh dari oncom. Bifidobacteria bermanfaat bagi tubuh terutama bagian pencernaan.Sedangkan kandungan gizi dari nanas menambah kandungan gizi dalam minuman ini. Pemilihan buah nanas sebagai kombinasi ekstrak oncom disebabkan produksi nanas di Indonesia yang cukup besar, harga terjangkau, pengolahannya mudah dan bisa dikombinasikan dengan oncom itu sendiri.
Pemasaran minuman ini cukup unik. Para mahasiswa ini menerapkan konsep ‘Minum dulu baru bayar’. Strategi ini diaplikasikan untuk menghadapi konsumen yang memang dari awal tidak menyukai oncom.
Tantangan yang dihadapi O'Sheak selain banyak konsumen tidak menyukai oncom, yakni anggapan beberapa konsumen O‘Sheak adalah produk jelek karena sifatnya mengendap. Husnul menjelaskan bahwa produk yang baik jika terbuat dari bahan organik adalah yang mengendap dan tidak tahan lama. Begitu pun dengan O'Sheak, produk sekali habis.
Ke depannya, Husnul dan rekan-rekannya berharap, masyarakat dapat mengenal O’Sheak dan menyukainya serta mengubah pandangan bahwa oncom itu bisa dibuat apa saja asalkan kita kreatif. Selain itu, O'Sheak dapat tembus dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2018.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen pisang yang menempati posisi ke 7 negara produsen pisang di dunia. Buah pisang merupakan komoditas yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, karena sekitar 45% konsumsi buah-buahan masyarakat Indonesia adalah pisang. Pusat produksi pisang terdapat di Sumatera, Bali dan Jawa, terutama Cianjur Jawa Barat. Pisang dengan berbagai varietasnya dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan yang lezat. Selama ini buah dan daun pisang adalah bagian yang paling banyak dimanfaatkan. Kulit buah pisang biasanya dibuang dan menjadi sampah basah belum banyak dimanfaatkan.
tiga mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) merasa prihatin melihat banyaknya sampah, khususnya sampah kulit pisang yang dapat mengganggu kanyamanan lingkungan. Ketiga mahasiswa tersebut yaitu Yohanes Bernadino, Nalendra Bagus dan Muhammad Ryan mengagas ide mengolah limbah kulit pisang sebagai sampah organik menjadi kreajinan. Ide ini dituangkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM PE) dengan judul 'Biosintesis Nanoselulosa dari Limbah Kulit Pisang sebagai Alternatif Bahan Baku Kerajinan Berbasis Kulit Hewan' yang dibimbing oleh Akhiruddin Maddu.
Seperti dilansir dalam website menlhk.go.id, salah satu jenis sampah dengan komposisi terbesar adalah sampah organik, yakni sekitar 60 persen dari 64 juta ton yang dihasilkan di seluruh Indonesia dalam satu tahun. Menurut Nalendra Bagus, timnya memilih limbah kulit pisang karena kulit pisang termasuk limbah yang jumlahnya paling banyak dibuang oleh masyarakat. Bersama dengan timnya, para mahasiswa ini mengolah limbah pisang itu untuk dijadikan kerajinan.
Agar dapat menghasilkan kerajinan tersebut, ketiga mahasiswa ini melakukan beberapa langkah. Dimulai dengan pemilihan limbah kulit pisang, untuk selanjutnya dikompres dengan menggunakan hydrolic press. Kemudian, limbah diuji coba dengan beberapa bakteri hingga diperoleh lembaran nata untuk diproses menjadi kerajinan. Nata sendiri dapat diartikan sebagai lapisan putih yang terapung-apung di permukaan media cair, miaslnya pada permukaan nata de coco. Proses pengubahan limbah pisang menjadi lembaran seperti nata memakan waktu kurang lebih 20 hari. Limbah yang dibutuhkan sekitar 500 gram untuk sekali pengolahan. Durasi pengolahan yang cukup lama tersebut bergantung pada ketebalan limbah yang diolah dan proses inkubasi yang dilakukan. Setelah diperoleh lembaran nata yang tipis, selanjutnya dapat diproses menjadi kerajinan, di antaranya berupa dompet. Nalendra menambahkan, ide kreatif ini telah mengubah limbah pisang yang tidak berguna menjadi bernilai ekonomi.
Dengan pengolahan limbah pisang tersebut, Nalendra, Yohanes dan Ryan berharap dapat mengurangi jumlah sampah organik yang terbuang menjadi barang bernilai ekonomi. Terlebih, masyarakat Indonesia terbilang kerap mengonsumsi pisang dalam jumlah banyak. Ditambah dengan limbah kulit pisang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik pengolahan pisang. Untuk mengolah laimbah kulit pisang ini tidak dibutuhkan keahlian spesifik. Menurut Yohanes, siapa pun bisa mengolah limbah pisang menjadi kerajinan seperti dompet ini. Jika dalam penelitian kami, limbah pisang dikompres menggunakan hydrolic press, maka para pengrajin bisa mengompres limbah pisang dengan menggunakan batu.Ide kreatif ketiga mahasiswa IPB ini diharapkan dapat menjadi referensi dan inovasi baru bagi para pengrajin di Indonesia. Sehingga mereka tidak perlu bergantung lagi pada kulit hewan sebagai bahan untuk membuat berbagai kerajinan.