11
January

 

VOInews.id- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (10/1) menyeru rezim pendudukan Israel agar memberikan akses pengiriman bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan ke Jalur Gaza kepada WHO dan lembaga PBB lainnya, menyebut situasi kemanusiaan di sana “tak bisa terbayangkan”. Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengakui bahwa tim organisasinya harus membatalkan enam misi ke Gaza utara sejak 26 Desember "karena permintaan mereka ditolak dan tidak ada jaminan keamanan perjalanan". Sementara itu, rencana misi pada Rabu juga dibatalkan. “Pendistribusian bantuan kemanusiaan di Gaza terus menghadapi tantangan yang hampir tidak dapat teratasi,” kata Tedros saat konferensi pers di Jenewa.

 

“Pemboman intens, pembatasan mobilitas, krisis bahan bakar dan komunikasi yang terputus membuat WHO dan mitra tidak mungkin menjangkau orang-orang yang membutuhkan bantuan,” katanya. "Kami memiliki pasokan, tim dan rencana. Yang tidak kami miliki yakni akses... Kami menyeru Israel agar menyetujui permintaan WHO dan mitra lainnya untuk mengirim bantuan kemanusiaan." Menurut Tedros, hanya 15 rumah sakit di wilayah Palestina yang beroperasi meski hanya sebagian. Sementara itu, kurangnya sanitasi dan air bersih, serta kondisi hidup yang terlalu sumpek di jalur pantai mendukung penyebaran penyakit. “Warga mengantre berjam-jam untuk mendapatkan sedikit air, yang mungkin tidak bersih, atau roti, yang kurang bergizi,” katanya.

 

Sumber: WAFA

11
January

 

VOInews.id- Lebanon siap membahas stabilitas jangka panjang di wilayah perbatasannya dengan Israel, kata Perdana Menteri Najib Mikati pada Selasa. Menurut kabinet pemerintahan Lebanon, perdana menteri sementara Lebanon itu menyampaikan hal tersebut saat bertemu dengan Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Operasi Perdamaian Jean-Pierre Lacroix. "Lebanon siap mengadakan perundingan demi mencapai proses stabilitas jangka panjang di Lebanon selatan” di sepanjang perbatasan dengan Israel, kata kabinet Lebanon. Mikati menandaskan Lebanon terikat menerapkan resolusi PBB, termasuk Resolusi 1701, yang menyerukan penghentian total permusuhan antara Lebanon dan Israel.

 

Resolusi yang diadopsi pada 11 Agustus 2006 itu menyerukan agar Israel mundur ke belakang Garis Biru dan mendemiliterisasi garis itu dan Sungai Litani di Lebanon, sehingga hanya tentara Lebanon dan Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) yang boleh memiliki senjata dan perlengkapan militer di wilayah tersebut. Pada Senin, Menteri Luar Negeri Lebanon Abdullah Bou Habib menyatakan negaranya siap melaksanakan 'sepenuhnya' Resolusi PBB 1701 dengan imbalan penarikan pasukan Israel dari tanah Lebanon dan penghentian pelanggaran kedaulatan negara. Sementara itu Lacroix, menyeru semua pihak agar menghentikan permusuhan, mendukung militer Lebanon di Lebanon selatan dan melanjutkan kerjasama erat militer dengan UNIFIL.

 

Ketegangan meningkat di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel sejak tentara Israel melancarkan serangan militer mematikan di Jalur Gaza menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober. Ketegangan itu terjadi antara milisi Hizbullah dan pasukan Israel.

 

Antara

11
January

 

 

VOInews.id- Pejabat Israel pada Selasa membantah laporan bahwa negaranya mengadakan pembicaraan dengan negara-negara Afrika mengenai "pemindahan" warga Palestina ke benua tersebut. "Sebagai tanggapan atas publikasi mengenai isu ini, perlu dicatat bahwa Israel tidak terlibat dalam pemeriksaan kelayakan pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara-negara di Afrika," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Lior Haiat pada X. Pernyataan Haiat muncul setelah pejabat-pejabat Israel menyerukan pemindahan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza. Pekan lalu, harian Times Israel memberitakan bahwa Israel sedang melakukan pembicaraan dengan Kongo dan negara-negara lain mengenai rencana "migrasi sukarela"

 

. Juru bicara Pemerintah Kongo Patrick Muyaya juga menyangkal adanya perundingan apapun antara Republik Demokratik Kongo (DRC) dengan Israel mengenai kemungkinan menerima imigran Palestina dari Gaza di wilayahnya. Israel telah menggempur daerah kantong Palestina sejak serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober, menewaskan sedikitnya 23.210 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan melukai 59.167 lainnya, menurut otoritas kesehatan setempat, sementara sekitar 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan Hamas.

 

Sekitar 85 persen warga Gaza telah mengungsi, sementara semuanya berada dalam kondisi rawan pangan, menurut PBB. Ratusan ribu orang hidup tanpa tempat berlindung, dan kurang dari setengah truk bantuan yang dapat memasuki wilayah tersebut dibandingkan sebelum konflik dimulai.

 

Sumber: Anadolu

11
January

 

VOInews.id- Arab Saudi tetap tertarik untuk menormalisasi hubungan dengan Israel setelah perang di Jalur Gaza, tetapi kesepakatan apa pun harus mengarah pada pembentukan negara Palestina. Dalam sebuah wawancara radio dengan BBC, Selasa (9/1), Duta Besar Arab Saudi untuk Inggris Pangeran Khalid bin Bandar mengatakan kesepakatan normalisasi sudah hampir tercapai dengan Israel, tetapi kemudian Saudi menghentikan pembicaraan yang ditengahi oleh AS itu setelah 7 Oktober 2023.

 

"Arab Saudi masih yakin untuk membangun hubungan dengan Israel meskipun terdapat jumlah korban yang menyedihkan di Gaza, tetapi hal ini tidak akan mengorbankan rakyat Palestina,” kata Khalid. Dia kembali menegaskan bahwa para pemimpin Arab Saudi tetap berminat untuk mencapai kesepakatan normalisasi dengan Israel, tetapi kesepakatan itu akan mencakup pada pembentukan negara Palestina yang merdeka. “Kami hampir mencapai normalisasi, yang menuju ke negara Palestina. Yang satu tidak akan terjadi tanpa yang lain.

 

Soal urutannya, bagaimana pengelolaannya, itulah yang sedang dibahas,” ujar Khalid. Setelah bertemu dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman pada Senin (8/1) di Kota Al-Ula di Saudi, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah mengangkat topik normalisasi. “Saya dapat memberi tahu Anda hal ini: Ada kepentingan yang jelas di sini untuk mewujudkan hal tersebut; ada kepentingan yang jelas di kawasan ini untuk mewujudkan normalisasi,” kata Blinken. “Tetapi normalisasi mengharuskan berakhirnya konflik di Gaza, dan itu juga mensyaratkan upaya yang bisa dijalankan menuju negara Palestina," tutur dia, menambahkan.

 

Sumber: Anadolu