VOInews.id- Lebih dari 3,45 juta orang mengungsi di Ethiopia, lebih dari separuhnya mengungsi karena konflik, sebut laporan baru dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui Laporan Pengungsi Nasional Ethiopia terbaru yang dirilis pada Jumat (19/1), IOM mengatakan bahwa dari total 3,45 juta pengungsi internal (IDP) di 12 wilayah di Ethiopia. Penyebab utama pengungsian adalah konflik (64 persen), kekeringan (17 persen), dan ketegangan sosial (9 persen). Wilayah Somali menampung jumlah IDP terbanyak yang terutama disebabkan oleh kekeringan, sementara wilayah Tigray menampung jumlah IDP tertinggi yang terutama disebabkan oleh konflik, ungkap IOM.
Sejak 2016, IOM memantau situasi kemanusiaan dan pengungsian melalui penilaian berbasis wilayah, yang mencatat jumlah pengungsi dan pengungsi yang kembali, serta lokasi dan kebutuhan mereka, guna memberikan informasi bagi respons kemanusiaan dan pembangunan yang lebih luas. Data IOM menunjukkan bahwa sekitar 2,53 juta IDP yang kembali teridentifikasi di lebih dari 2.000 desa di 11 wilayah, dengan kasus IDP tertinggi secara nasional tercatat di wilayah Tigray, Amhara, dan Afar. Pekan lalu, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA) memperingatkan perihal krisis kemanusiaan yang akan terjadi di Ethiopia yang dipicu oleh kombinasi guncangan iklim, konflik, dan guncangan ekonomi, yang menyebabkan pengungsian di negara tersebut.
UNOCHA mengatakan negara di Afrika Timur tersebut kembali berada di ambang situasi kemanusiaan yang besar akibat siklus beberapa krisis yang sering kali saling tumpang tindih, yang sangat melemahkan kemampuan masyarakat untuk mengatasinya. Krisis kemanusiaan di Ethiopia terutama didorong oleh konvergensi empat faktor utama, yaitu krisis iklim yang terutama berupa banjir dan kekeringan, konflik bersenjata, wabah penyakit, serta guncangan ekonomi, lanjut UNOCHA. Badan PBB itu mengungkapkan bahwa konvergensi dari guncangan-guncangan tersebut memaksa makin banyak masyarakat untuk mengungsi, menimbulkan kerawanan pangan, malanutrisi, dan wabah penyakit, serta meningkatkan masalah perlindungan di tengah kenaikan harga komoditas esensial global, inflasi, dan devaluasi mata uang lokal yang terus-menerus.
Antara
VOInews.id- Uni Emirat Arab (UEA), menjanjikan 10 juta dolar AS (Rp156 miliar) untuk sektor kesehatan di Jalur Gaza yang lemah di tengah kondisi sulit yang dihadapi oleh daerah kantong Palestina yang terkepung itu. "Inisiatif Global Mohammed bin Rashid Al Maktoum (MBRGI) menjanjikan kontribusi sekitar 37 juta AED (10 juta dolar AS) untuk mendukung sektor kesehatan di Gaza," lapor Kantor Berita Emirat (WAM). Dana tersebut "bertujuan untuk menyediakan pasokan medis penting bagi masyarakat di Gaza, terutama anak-anak yang terkena dampak parah dari kondisi yang mengerikan yang kini terjadi di Gaza," katanya.
“Janji tersebut muncul sebagai bagian dari Letter of Intent yang ditandatangani antara MBRGI dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang bertujuan untuk mendukung upaya kemanusiaan dan menyediakan respons layanan kesehatan darurat yang menyelamatkan jiwa di Jalur Gaza,” tambah kantor berita tersebut. "Penandatanganan tersebut dilakukan di sela-sela partisipasi MBRGI dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss," katanya.
Sistem kesehatan di Jalur Gaza mengalami kehancuran parah akibat perang Israel yang sedang berlangsung di mana rumah sakit dan staf medis menjadi target. Israel telah menggempur Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober, yang menewaskan sedikitnya 24.448 warga Palestina yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, dan melukai 61.504 lainnya, menurut otoritas kesehatan lokal. Sekitar 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan Hamas. Menurut PBB, 85 persen populasi di Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur.
Sumber: Anadolu
VOInews.id- Dewan Keamanan (DK) PBB akan menggelar konsultasi mengenai Korea Utara pada minggu ini, menurut situs PBB pada Kamis. DK PBB dijadwalkan mengadakan konsultasi "tertutup" pada pukul 10 pagi hari Kamis (waktu New York) mengenai isu-isu Korea Utara, non-proliferasi dan masalah lainnya, menurut situs tersebut. Korea Selatan, bersama dengan Amerika Serikat dan Jepang, disebutkan telah meminta konsultasi tersebut. Pertemuan tersebut menandai pertemuan pertama DK PBB yang membahas Korea Utara sejak Seoul memulai masa jabatan dua tahun sebagai anggota tidak tetap pada tahun ini.
Korea Selatan diperkirakan akan memperluas posisinya di badan PBB tersebut untuk mengatasi masalah Korea Utara dan tantangan keamanan lainnya dengan lebih baik selama masa jabatannya. Dalam pertemuan tersebut, anggota DK PBB kemungkinan akan membahas peningkatan kerja sama militer Korea Utara dengan Rusia dan provokasi terbarunya. Pada Minggu, Korea Utara menembakkan rudal balistik jarak menengah berbahan bakar padat yang membawa hulu ledak hipersonik, peluncuran rudal pertamanya sejak menembakkan rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat Hwasong-18 pada 18 Desember.
Sumber: Yonhap-OANA
VOInews.id- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu memperingatkan masyarakat dunia untuk bersiap menghadapi Penyakit X atau penyakit tak dikenal. WHO juga menyatakan harapan bahwa negara-negara akan mencapai kesepakatan terkait pandemi pada Mei tahun ini untuk mengatasi “musuh bersama” itu. “Perjanjian pandemi dapat menyatukan seluruh pengalaman, tantangan yang sudah kita hadapi dan semua solusi menjadi satu,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss. WHO memperkenalkan istilah Penyakit X pada 2018 untuk menggambarkan penyakit yang tidak diketahui. Tedros mengatakan ada kemungkinan hal-hal yang belum diketahui bisa terjadi di masa depan, dan hal itu "hanya soal waktu, bukan jika." “Kita tidak boleh menghadapi sesuatu yang seperti itu tanpa persiapan, kita juga harus bersiap menghadapi sesuatu yang tidak diketahui,” kata dia dalam diskusi panel bertajuk “Bersiap untuk Penyakit X.” Dia menekankan bahwa penelitian dan pengembangan, infrastruktur kesehatan, dan tenaga kerja sangat penting untuk bersiap menghadapi Penyakit X. Tedros juga menekankan pentingnya kesehatan primer, seperti yang telah ditunjukkan oleh pandemi COVID-19. “Bahkan masyarakat dapat bersiap-siap menghadapi Penyakit X,” kata dia, seraya menambahkan bahwa kesehatan masyarakat, pendidikan, dan komunikasi harus menjadi prioritas utama. Tedros kembali menekankan pentingnya perjanjian pandemi dan menegaskan bahwa kesepakatan itu dapat membantu dunia mempersiapkan masa depan dengan lebih baik.
“Karena ini adalah musuh bersama, dan tanpa respons bersama, yang dimulai dari kesiapsiagaan … kita akan menghadapi masalah yang sama seperti COVID-19,” katanya, menambahkan. Tedros berharap negara-negara akan mencapai kesepakatan perjanjian pandemi pada Mei 2024 sesuai batas waktu yang ditetapkan. Dia mengatakan bahwa jika generasi yang memiliki pengalaman langsung dengan pandemi COVID-19 tidak dapat mencapai kesepakatan perjanjian pandemi, maka dia tidak yakin apakah generasi berikutnya akan dapat melakukannya. “Demi anak cucu kita, … kita harus mempersiapkan dunia untuk masa depan,” kata Tedros.
Sumber: Anadolu