VOInews, Jakarta: Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, permainan tradisional sering kali terpinggirkan. Namun, di salah satu daerah di Sulawesi Selatan, sebuah permainan yang kaya akan nilai budaya dan mitologi tetap hidup dan terus dilestarikan. Mattojang, sebuah permainan ayunan khas masyarakat Bugis, tidak hanya menawarkan keseruan, tetapi juga mengandung cerita dan makna mendalam yang telah diwariskan turun-temurun.
Nama Mattojang sendiri berasal dari kata Tojang, yang dalam bahasa Bugis berarti ayunan. Secara harfiah, Mattojang bisa diartikan sebagai permainan berayun, namun lebih dari itu, permainan ini memiliki akar yang kuat dalam mitologi dan tradisi adat Bugis. Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, Mattojang diyakini merupakan representasi dari proses turunnya Batara Guru, sang dewa yang dianggap sebagai nenek moyang Sawerigading, tokoh penting dalam mitologi Bugis. Mitos ini menyebutkan bahwa Batara Guru turun dari kayangan (Botting Langi’) ke bumi menggunakan Tojang Pulaweng—ayunan emas yang melambangkan perjalanan spiritual dari langit ke bumi.
Pada zaman dahulu, permainan ini diadakan sebagai bagian dari perayaan pasca panen, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sebagai upacara adat untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan memainkan Mattojang, mereka bisa menjaga hubungan baik dengan leluhur dan alam semesta. Mitos ini kemudian berkembang menjadi bagian dari prosesi adat yang melibatkan permainan rakyat, dan hingga kini masih sering dijadikan ajang silaturahim, khususnya bagi para petani setempat.
Untuk membuat Mattojang, dibutuhkan keterampilan dan persiapan yang matang. Minimal empat hingga enam batang pohon pinang atau bambu besar (bambu betung) diperlukan untuk membangun ayunan tradisional ini. Tiga batang pohon pinang ditanam pada kedua sisi ayunan dan diikat erat, membentuk pilar ayunan yang kokoh. Pilar-pilar ini dihubungkan dengan sebuah bentangan pohon pinang atau bambu di bagian atas, menciptakan struktur yang menyerupai segitiga. Tali ayunan yang digunakan umumnya terbuat dari kulit kerbau yang dianyam dengan cermat, meski seiring waktu, beberapa daerah kini menggunakan rantai besi karena sulitnya mendapatkan kulit kerbau yang berkualitas.
Di atas ayunan tersebut, dudukan yang disebut Tudangeng dibuat dari papan atau kayu kapuk. Tempat duduk ini berfungsi sebagai tempat pemain bermain ayunan. Pada bagian bawah dudukan, dipasang tali yang disebut Peppa, yang digunakan sebagai penarik ayunan. Untuk mengayunkan pemain hingga mencapai ketinggian, dibutuhkan minimal dua hingga empat orang yang menarik tali dengan kekuatan bersama. Hal ini menjadikan permainan Mattojang lebih dari sekadar hiburan; ia menjadi simbol kebersamaan dan kerjasama antara sesama.
Tradisi Mattojang juga mengharuskan pemain yang ingin menaiki ayunan untuk mengenakan baju bodo, pakaian adat khas Sulawesi yang merupakan simbol kehormatan dalam budaya Bugis. Selama permainan, dua orang yang bertugas menarik Peppa akan mengayunkan pemain dengan gerakan yang semakin tinggi, seiring dengan nyanyian dan sorak-sorai yang mengiringi suasana ceria. Sebagai bagian dari budaya Bugis, permainan ini bukan hanya tentang kegembiraan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam, serta cara untuk mengikat hubungan antar-komunitas.
Saat ini, meskipun Mattojang sudah jarang diadakan dalam skala besar, permainan ini tetap menjadi bagian penting dari tradisi budaya Bugis. Tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai wadah untuk mempererat tali persaudaraan antar petani dan masyarakat setempat, yang berkumpul setelah musim panen untuk merayakan hasil bumi mereka. Seiring berjalannya waktu, Mattojang menjadi simbol kuat dari keberlanjutan budaya dan kebersamaan dalam masyarakat Bugis, serta sebagai cara untuk menjaga kelestarian tradisi yang penuh dengan makna dan filosofi hidup.
Dengan demikian, meskipun zaman terus berkembang, Mattojang tetap menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang budaya Bugis yang kaya akan sejarah, mitos, dan nilai-nilai yang mendalam. Sebuah permainan yang lebih dari sekadar ayunan—melainkan sebuah cara untuk merayakan kehidupan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur.