Air Terjun Kedung Kayang berada di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, sekitar 34 kilometer dari pusat Kota Magelang. Terletak di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, air terjun ini menawarkan pemandangan yang memukau dan udara yang sejuk. Untuk mencapai lokasi ini, Anda perlu melewati jalanan berkelok dan menanjak. Meskipun jalanannya cukup lebar dan aman bagi kendaraan roda dua maupun roda empat, kondisi medan yang menantang memerlukan kewaspadaan.
Air Terjun Kedung Kayang menawarkan pemandangan yang tak terlupakan. Dengan latar belakang Gunung Merapi dan Merbabu, pengunjung dapat menikmati **keindahan matahari terbit** dan **terbenam** yang sangat mempesona. Cahaya matahari yang menyinari puncak gunung menciptakan suasana magis yang menenangkan. Selain itu, kawasan ini juga memiliki berbagai spot foto instagramable yang cocok untuk para penggemar fotografi.
Setelah Anda memarkir kendaraan, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di sini, Anda akan dihadapkan pada dua jalur: satu menuju pusat air terjun dan satu lagi menuju spot atas air terjun. Perlu diingat bahwa jalur menuju pusat air terjun cukup terjal dan licin, sehingga memerlukan sedikit keberanian dan kewaspadaan. Perjalanan ini biasanya memakan waktu sekitar 10 menit, melintasi sungai kecil dan jalan setapak yang licin.
Selain menikmati pemandangan alam yang spektakuler, pengunjung juga dapat berenang di kolam jernih yang terbentuk di bawah air terjun. Kolam alami ini menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan yang ingin merasakan kesegaran air pegunungan yang alami. Jika Anda lebih suka menikmati panorama alam dari ketinggian, Anda bisa menuju spot atas air terjun, yang menawarkan pemandangan luar biasa dari atas.
Untuk memasuki kawasan wisata ini, Anda hanya perlu membayar tiket masuk sebesar Rp 4.000. Dengan harga yang terjangkau, Anda bisa menikmati pengalaman wisata alam yang luar biasa, lengkap dengan pemandangan yang menenangkan dan aktivitas yang seru.
Setelah mengunjungi Candi Borobudur, jangan lewatkan kesempatan untuk menjelajahi Air Terjun Kedung Kayang. Tempat ini sangat cocok untuk Anda yang mencari suasana tenang dan segar, ideal untuk relaksasi. Dengan pemandangan alam yang memukau dan berbagai aktivitas seru, Air Terjun Kedung Kayang siap memberikan pengalaman wisata yang tak terlupakan.
Sumber: Pesona Indonesia/VOI
VOInews, Jakarta: Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, permainan tradisional sering kali terpinggirkan. Namun, di salah satu daerah di Sulawesi Selatan, sebuah permainan yang kaya akan nilai budaya dan mitologi tetap hidup dan terus dilestarikan. Mattojang, sebuah permainan ayunan khas masyarakat Bugis, tidak hanya menawarkan keseruan, tetapi juga mengandung cerita dan makna mendalam yang telah diwariskan turun-temurun.
Nama Mattojang sendiri berasal dari kata Tojang, yang dalam bahasa Bugis berarti ayunan. Secara harfiah, Mattojang bisa diartikan sebagai permainan berayun, namun lebih dari itu, permainan ini memiliki akar yang kuat dalam mitologi dan tradisi adat Bugis. Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, Mattojang diyakini merupakan representasi dari proses turunnya Batara Guru, sang dewa yang dianggap sebagai nenek moyang Sawerigading, tokoh penting dalam mitologi Bugis. Mitos ini menyebutkan bahwa Batara Guru turun dari kayangan (Botting Langi’) ke bumi menggunakan Tojang Pulaweng—ayunan emas yang melambangkan perjalanan spiritual dari langit ke bumi.
Pada zaman dahulu, permainan ini diadakan sebagai bagian dari perayaan pasca panen, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sebagai upacara adat untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Masyarakat Bugis percaya bahwa dengan memainkan Mattojang, mereka bisa menjaga hubungan baik dengan leluhur dan alam semesta. Mitos ini kemudian berkembang menjadi bagian dari prosesi adat yang melibatkan permainan rakyat, dan hingga kini masih sering dijadikan ajang silaturahim, khususnya bagi para petani setempat.
Untuk membuat Mattojang, dibutuhkan keterampilan dan persiapan yang matang. Minimal empat hingga enam batang pohon pinang atau bambu besar (bambu betung) diperlukan untuk membangun ayunan tradisional ini. Tiga batang pohon pinang ditanam pada kedua sisi ayunan dan diikat erat, membentuk pilar ayunan yang kokoh. Pilar-pilar ini dihubungkan dengan sebuah bentangan pohon pinang atau bambu di bagian atas, menciptakan struktur yang menyerupai segitiga. Tali ayunan yang digunakan umumnya terbuat dari kulit kerbau yang dianyam dengan cermat, meski seiring waktu, beberapa daerah kini menggunakan rantai besi karena sulitnya mendapatkan kulit kerbau yang berkualitas.
Di atas ayunan tersebut, dudukan yang disebut Tudangeng dibuat dari papan atau kayu kapuk. Tempat duduk ini berfungsi sebagai tempat pemain bermain ayunan. Pada bagian bawah dudukan, dipasang tali yang disebut Peppa, yang digunakan sebagai penarik ayunan. Untuk mengayunkan pemain hingga mencapai ketinggian, dibutuhkan minimal dua hingga empat orang yang menarik tali dengan kekuatan bersama. Hal ini menjadikan permainan Mattojang lebih dari sekadar hiburan; ia menjadi simbol kebersamaan dan kerjasama antara sesama.
Tradisi Mattojang juga mengharuskan pemain yang ingin menaiki ayunan untuk mengenakan baju bodo, pakaian adat khas Sulawesi yang merupakan simbol kehormatan dalam budaya Bugis. Selama permainan, dua orang yang bertugas menarik Peppa akan mengayunkan pemain dengan gerakan yang semakin tinggi, seiring dengan nyanyian dan sorak-sorai yang mengiringi suasana ceria. Sebagai bagian dari budaya Bugis, permainan ini bukan hanya tentang kegembiraan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam, serta cara untuk mengikat hubungan antar-komunitas.
Saat ini, meskipun Mattojang sudah jarang diadakan dalam skala besar, permainan ini tetap menjadi bagian penting dari tradisi budaya Bugis. Tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai wadah untuk mempererat tali persaudaraan antar petani dan masyarakat setempat, yang berkumpul setelah musim panen untuk merayakan hasil bumi mereka. Seiring berjalannya waktu, Mattojang menjadi simbol kuat dari keberlanjutan budaya dan kebersamaan dalam masyarakat Bugis, serta sebagai cara untuk menjaga kelestarian tradisi yang penuh dengan makna dan filosofi hidup.
Dengan demikian, meskipun zaman terus berkembang, Mattojang tetap menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang budaya Bugis yang kaya akan sejarah, mitos, dan nilai-nilai yang mendalam. Sebuah permainan yang lebih dari sekadar ayunan—melainkan sebuah cara untuk merayakan kehidupan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur.
VOInews, Surabaya: Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan, dan Surabaya yang dikenal sebagai "Kota Pahlawan" memiliki sejarah panjang perjuangan bangsa, salah satunya tercermin di Penjara Kalisosok. Berdiri sejak tahun 1808, penjara ini dibangun pada masa kolonial Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Lokasinya yang berada di kampung Kalisosok di wilayah utara Surabaya menjadikannya bagian penting dari jejak perjuangan bangsa.
Penjara Kalisosok bukan sekadar bangunan tua; ia menyimpan kisah-kisah pengorbanan para pahlawan nasional. Penjara ini pernah menjadi tempat tahanan bagi tokoh besar seperti K.H. Mas Mansyur, salah satu dari "Empat Serangkai" bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Keberanian Mas Mansyur dalam membantu gerakan pemuda Surabaya melawan penjajah membuat Belanda merasa perlu menyingkirkannya. Tragisnya, Mas Mansyur akhirnya meninggal dunia di penjara ini pada tahun 1946, menjadikan Kalisosok sebagai saksi bisu akhir hidup seorang pahlawan.
Seiring berjalannya waktu, bangunan Penjara Kalisosok menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat usia dan cuaca. Namun, nilai sejarahnya membuat Pemerintah Kota Surabaya menetapkan penjara ini sebagai cagar budaya. Dengan begitu, generasi mendatang diharapkan dapat melihat dan menghargai jejak sejarah yang tersimpan di balik dinding penjara ini, serta terinspirasi dari semangat perjuangan yang pernah berkobar di dalamnya.
Bagi Anda yang berada di Surabaya, tak ada salahnya meluangkan waktu untuk mengunjungi Penjara Kalisosok, cagar budaya yang menjadi bagian dari sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Selain mengenal lebih dekat para pahlawan, kunjungan ini juga memperkuat rasa kebangsaan.
Mari kenang semangat mereka yang berjuang demi kemerdekaan, dan jadikan Hari Pahlawan ini sebagai momen refleksi untuk menghargai jasa para pahlawan. Teruslah semangat mengenang sejarah, sebab darinya kita belajar arti kebebasan dan persatuan.
Ilustrasi kesenian Togal dari masyarakat di daerah Bokimiake, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Foto: Youtube/Falgali81)
Pengunjung mengamati diorama W.R Soepratman di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018). Menjelang Peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2018 mendatang, museum ini mendapat banyak kunjungan dari sekolah yang ada di wilayah Jakarta maupun dari daerah lain. ANTARA FOTO/Ganang Aditama/wsj/foc.
VOInews.id- Mesir berupaya mempercepat pengiriman bantuan ke Jalur Gaza, setelah jumlah bantuan yang dikirim ke daerah kantong Palestina itu menurun dengan berakhirnya gencatan senjata Israel-Hamas pada 1 Desember, kata seorang pejabat senior, Kamis. Diaa Rashwan, Kepala Badan Informasi Negara, mengatakan Mesir tidak akan membiarkan pengosongan Jalur Gaza dari penduduk meski serangan Israel mendorong warga ke selatan menuju perbatasan dengan Semenanjung Sinai Mesir.
Rashwan menambahkan bahwa Mesir percaya serangan Israel di daerah yang dikuasainya di Tepi Barat memaksa penduduk Palestina menyeberang ke Yordania. Sejak konflik di Gaza dimulai pada 7 Oktober, lintas batas Rafah di perbatasan dengan Mesir telah menjadi satu-satunya jalur masuk untuk truk pembawa bantuan yang sangat dibutuhkan seperti makanan, obat-obatan, air bersih dan bahan bakar. Jumlah truk yang menyeberang tiap harinya telah menurun di beberapa hari terakhir menjadi di bawah 100 truk, dari sebelumnya hampir 200 truk ketika terjadi gencatan senjata selama sepekan.
Pada hari Rabu (6/12), 80 truk berisi suplai bantuan dan 69.000 liter bahan bakar memasuki Gaza dari Mesir, menurut PBB. Mesir bersama PBB telah melobi Israel untuk mempercepat proses inspeksi untuk truk bantuan yang mengharuskan kendaraan untuk mendatangi pos di perbatasan Mesir dan Israel, untuk kemudian kembali ke Rafah.
Antara
(voinews.id)para delegasi Development Working Group (DWG) G20 akan datang ke Belitung pada 7 hingga 9 September 2022. Mereka akan dikenalkan dengan berbagai spot wisata Belitung.
Termasuk di antaranya island hopping ke gugusan pulau-pulau kecil di utara Pulau Belitung dan mengunjungi museum Bahari.
Selain itu, delegasi juga akan berkunjung ke kawasan bakau yang berusia sekitar 750 tahun di Pulau Langer, Kecamatan Selat Nasik. Dikutip dari situs Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hutan bakau tersebut disebut sebagai salah satu ekosistem bakau tertua.
Hutan Bakau Pulau Langer di Kecamatan Selat Nasik berada di kawasan yang terpisah dari daratan Pulau Belitung. Pulau ini berjarak tempuh sekitar 30 menit pelayaran dari Tanjungpandan, ibukota Kabupaten Belitung.
Kawasan ini mempunyai ekosistem berupa hutan tumbuhan bakau.
Hutan mangrove di kawasan ini masih alami. Kondisi ini dipercaya bakal menjadi daya tarik para delegasi G20. Pohon bakau di kawasan ini sudah berusia cukup tua. Beberapa pohon diperkirakan ada yang mencapai usia 786,5 tahun jika dilihat dari diameter pohon dan bentangan akar.
para delegasi G20 akan ikut serta menanam koral melalui CSR (Corporate Social Responsibility), dan para delegasi akan mendapatkan sertifikat.
Sementara itu, untuk penanaman bibit bakau akan dipatok harga Rp7.000 per batang, yang dapat dibeli dari masyarakat sekitar. Kegiatan-kegiatan ini, akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI.
(voinews.id)
Pantai Pok Tunggal atau biasa disebut "the hidden paradise" (surga yang tersembunyi) adalah salah satu Objek Wisata yang ada di Yogyakarta tepatnya di Desa Tepus, Tepus, Gunung Kidul, Yogyakarta. Jika dihitung dari kota, maka jarak tempuhnya sejauh 80 km atau sekitar 2 jam perjalanan. Nama Pantai Pok Tunggal diambil karena dipantai tersebut terdapat sebuah pohon duras tua yang berdiri kokoh hingga saat ini. Pantai ini dikelilingi oleh tebing perbukitan karst. Terdapat tebing-tebing karang yang ditumbuhi oleh pepohonan yang lebat dan di dalamnya dihuni oleh kera-kera yang jinak. Uniknya, pantai ini memiliki aliran sungai air tawar dibawah tanah yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar pantai. Layaknya pantai selatan lainnya, Pantai Pok Tunggal memiliki pasir putih yang halus dan membentang sepanjang pantai. Sampai saat ini Pantai Pok Tunggal masih terjaga kebersihan dan kealamiannya.