Setelah melalui berbagai diplomasi, termasuk perundingan dua kali putaran antara Indonesia dan Swiss, akhirnya perjanjian bantuan hukum timbal balik (MLA) telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss Senin (4/2). Perjanjian yang terdiri atas 39 pasal ini mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian pentinguntuk mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Perjanjian ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan menghindari kejahatan perpajakan. Menteri Yasonna mengatakan bahwa perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan. Guna menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian, Indonesia mengusulkan dalam perjanjian yang disepakati menganut prinsip retroaktif. Bagi Indonesia, perjanjian ini merupakan MLA ke-10. Sebelumnya, Indonesia melakukan penandatanganan MLA dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, Cina, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian ini merupakan MLA ke-14 dengan negara-negara non-Eropa.
Penandatanganan ini akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan. Sejauh ini, perkara-perkara terkait pencucian uang dan pidana perpajakan sulit diungkap karena terkendala keterbatasan akses dan daya jangkau. Dengan ditandatanganinya MLA, ini akan memudahkan untuk melacak dan mengambil kembali aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.Dikutip dari penelitian Gabriel Zucman pada 2017, jumlah asset global di negara surga pajak mencapai 10% PDB global setara dengan Rp800.000 triliun. Dari jumlah itu, Rp32.000 triliun disimpan di Swiss. Karena itu, Pemerintah Indonesia mempunyai alasan kuat menandatangani MLA dengan Swiss dan segera menerapkannya.