Uni Eropa telah lama mendiskriminasi minyak sawit atau yang lebih dikenal dengan CPO dan produk turunannya, karena dituding masuk kategori bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan. Kini tekanan mereka bertambah dengan menyasar pada CPO dan produk turunannya untuk kategori makanan dan minuman. Uni Eropa telah membuat studi mengenai bahaya kandungan minyak sawit dalam makanan bagi kesehatan. Studi ini telah disampaikan ke Badan Makanan dan Pertanian FAO milik PBB. Apabila disetujui FAO, kemungkinan besar peredaran produk makanan yang mengandung sawit di dunia akan semakin dipersulit. Padahal, mayoritas ekspor produk turunan CPO asal Indonesia digunakan sebagai campuran bahan makanan.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun khawatir, apabila FAO menyetujui penelitian yang diajukan Uni Eropa, dampaknya akan lebih masif dibandingkan dengan kebijakan diskriminasi Uni Eropa terhadap CPO untuk sektor energi.
Kekhawatirannya sangat beralasan. Sepanjang 2018 saja total volume ekspor produk turunan CPO Indonesia mencapai 28,14 juta ton. Lebih dari 80 persennya digunakan untuk campuran bahan makanan. Dari tahun ke tahun permintaan dunia akan produk CPO untuk campuran makanan terus meningkat. Bahkan eksportir produk olahan CPO tengah menyasar pasar baru, antara lain Afrika dan Timur Tengah. Bila CPO dan produk turunannya dilarang sebagai bahan campuran makanan di seluruh dunia, maka akan berdampak pada kinerja ekspor non migas nasional. Sebab CPO masih menjadi andalan ekspor non migas Indonesia. Dampaknya dirasakan tidak hanya oleh produsen CPO melainkan juga produsen makanan dan minuman dengan campuran CPO.
Menghadapai situasi ini Indonesia dan produsen CPO lainnya tidak akan dapat menempuh jalur gugatan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena ranahnya sudah masuk ke mandatori dunia. Hasil penelitian harus dilawan dengan hasil penelitian. Indonesia dan Malaysia, sebagai produsen CPO terbesar dunia sudah membentuk studi dan penelitian sendiri. Targetnya, penelitian ini selesai pertengahan tahun ini dan segera dipublikaskan ke jurnal internasional.
Dalam studi Uni Eropa disebut CPO memiliki kontaminasi karsinogen jauh di atas 4 mikrogram per kilogram makanan atau batas yang diizinkan untuk manusia. Sedangkan minyak nabati lain digolongkan dalam level rendah. Kini tugas produsen CPO seperti Indonesia untuk membuktikan bahwa dengan teknologi terbaru, sebenarnya Indonesia dapat memproduksi CPO yang keamanannya setara dengan minyak nabati lain. Indonesia tidak boleh terlambat dalam menangkal serangan Uni Eropa. Jika terlambat, keamanan ekonomi nasional menjadi taruhannya.