Akbar

Akbar

11
January

 

(voinews.id)- Negara-negara harus mempertimbangkan untuk merekomendasikan penumpang mengenakan masker dalam penerbangan jarak jauh guna melawan subvarian Omicron COVID-19 terbaru karena penyebarannya yang cepat di Amerika Serikat, kata para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Selasa. "Ini harus menjadi rekomendasi yang diberikan kepada penumpang dari mana saja yang terdapat penularan COVID-19 yang tersebar luas," kata Catherine Smallwood, pejabat senior WHO untuk Eropa bidang kedaruratan. Di Eropa, subvarian XBB.1.5 telah dideteksi dalam jumlah kecil yang terus bertambah, kata para pejabat WHO/Eropa dalam acara jumpa pers.

Subvarian XBB.1.5 --subvarian Omicron paling menular yang dideteksi sejauh ini-- merupakan 27,6 persen penyebab kasus COVID di Amerika Serikat untuk satu minggu yang berakhir pada 7 Januari, kata para pejabat kesehatan AS.

Belum ada kepastian apakah XBB.1.5 akan menyebabkan gelombang infeksi tersendiri di seluruh dunia. Vaksin yang ada saat ini masih bisa melindungi orang dari gejala berat, perawatan di rumah sakit, dan kematian, menurut para ahli. "Negara-negara harus melihat bukti untuk meminta tes sebelum keberangkatan," kata Smallwood, seraya menambahkan bahwa penting untuk tidak hanya fokus terhadap satu area geografis khusus.

Jika tindakan perjalanan dipertimbangkan, aturan tersebut harus diterapkan dengan cara yang tidak diskriminatif, katanya. Pendapat tersebut tidak berarti bahwa badan itu pada tahap ini merekomendasikan pengujian pada penumpang yang datang dari Amerika Serikat, ujarnya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan termasuk pemantauan genomik dan menargetkan penumpang yang datang dari negara lain selama tidak mengurangi sumber daya sistem pemantauan dalam negeri.

Contoh lainnya termasuk sistem pemantauan air limbah sekitar titik-titik masuk seperti bandara. XBB.1.5 merupakan turunan dari Omicron, varian paling menular dari virus yang menyebabkan COVID-19 yang dominan secara global. XBB.1.5 merupakan turunan dari XBB, yang pertama kali dideteksi pada Oktober dan merupakan rekombinan dari dua subvarian Omicron lainnya.

 

Sumber: Reuters

11
January

 

(voinews.id)- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa China telah membagikan sebagian informasi mengenai situasi COVID-19, tetapi dibutuhkan lebih banyak data dari daerah-daerah di negara tersebut. Kepala regional WHO untuk Eropa Hans Kluge menyebut tindakan pencegahan yang diberlakukan sejumlah negara "tidak keterlaluan", mengingat varian virus yang menyebar di China telah terlihat di Eropa dan di tempat lain, berdasarkan data yang dimiliki WHO.

“Kami sependapat dengan Pusat Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) saat ini bahwa lonjakan kasus yang sedang berlangsung di China diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap situasi epidemiologis COVID-19 di wilayah WHO Eropa saat ini,” kata dia, Selasa. Namun, pejabat WHO yang mengawasi kawasan yang mencakup 53 negara dan membentang dari Greenland di barat laut hingga timur jauh Rusia itu menegaskan bahwa dunia "tidak bisa berpuas diri".

Dia mengakui bahwa China telah membagikan informasi pengurutan virus, tetapi menekankan bahwa WHO membutuhkan “informasi terperinci dan teratur”, terutama tentang epidemiologi dan varian lokal. “Bukan tidak masuk akal bagi negara-negara untuk mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi populasinya sementara kami menunggu informasi lebih rinci yang dibagikan melalui basis data yang dapat diakses publik,” kata Kluge.

Dia merujuk pada persyaratan yang diberlakukan oleh beberapa negara untuk orang-orang yang datang dari China, termasuk tes negatif COVID-19 dan bukti vaksinasi lengkap. “Untuk negara-negara di wilayah kami yang memperkenalkan tindakan pencegahan perjalanan seperti itu saat ini, kami menyerukan agar hal itu berakar pada sains, proporsional, dan tidak diskriminatif,” ujar dia.

 

antara

11
January

 

(voinews.id)- Krisis tenaga kesehatan global dapat meningkat menjadi 10 juta orang pada 2030, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Selasa (10/1). Pandemi COVID-19 memberikan beban ekstra terhadap sistem layanan kesehatan, mengganggu rantai pasokan global produk-produk esensial, serta membuat penyedia layanan kewalahan, menurut laporan Global Health and Healthcare Strategic Outlook WEF.

"Ancaman kekerasan dan kelelahan menjadi nyata sekaligus merupakan salah satu alasan para dokter mempertimbangkan profesi lain," kata Kashish Malhotra, dokter di Dayanand Medical College and Hospital di India, dalam laporan tersebut. Laporan itu, yang dipersiapkan bersama perusahaan konsultan L.E.K. Consulting, menyoroti kekacauan akibat pandemi, semisal penurunan 25 persen dalam layanan kesehatan esensial.

"Ini mengakibatkan dampak gabungan terhadap populasi rentan dan komunitas minoritas, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah," tulis laporan tersebut. Pengembangan vaksin tercepat dalam sejarah memperlihatkan potensi yang besar dari kemitraan publik-swasta dan regulasi berbasis penghasilan. Studi kasus dalam laporan tersebut juga menunjukkan bagaimana memanfaatkan upaya seperti itu untuk kesetaraan.

"Pandemi membawa progres yang luar biasa bagi pengembangan dan pengiriman obat-obatan," kata Shyam Bishen, kepala divisi layanan kesehatan WEF. "Sekarang kita harus fokus pada perubahan jangka panjang untuk menghentikan layanan kesehatan memburuk dalam menghadapi krisis ekonomi."

Laporan tersebut, yang diluncurkan menjelang Rapat Tahunan WEF 2023 pada akhir Januari ini, menyajikan studi kasus di empat sektor yang dianggap mampu mendorong perubahan. Laporan itu juga berisi desakan kepada para pemimpin layanan kesehatan agar mengalokasikan dana untuk model layanan alternatif serta memasukkan uji klinis yang lebih representatif di seluruh negara berpenghasilan rendah dan menengah.

 

Sumber: Anadolu

11
January

 

(voinews.id)- Presiden Joko Widodo bersilaturahmi dan berdiskusi langsung dengan para wartawan di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa petang, guna membahas isu-isu terkini. Dalam pertemuan yang berlangsung santai tersebut, Presiden dan para wartawan berdialog terkait isu terkini dari perspektif publik dan pemerintah. "Kita melihat bahwa Presiden juga bisa mendengar dari perspektif teman-teman wartawan ataupun juga teman-teman media.

Kita juga bisa melihat, bisa lebih tahu perspektif dari Istana ataupun dari Presiden, sehingga ada kedekatan dan juga komunikasi yang bisa dibangun jauh lebih baik lagi," kata Raf Raf, perwakilan wartawan istana dalam keterangan di Jakarta.

Selain itu, Muslich, perwakilan wartawan lainnya mengaku senang dapat bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi sekaligus berdiskusi secara langsung mengenai latar belakang dari setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Ia pun berharap dapat secara rutin bertemu langsung dengan Kepala Negara.

"Kalau bisa mungkin untuk semacam rutin ya tiga bulan sekali atau beberapa bulan sekali jadi para wartawan tahu latar belakang dari kebijakan-kebijakan yang disampaikan Presiden," tutur Muslich. Senada dengan itu, Dio, perwakilan wartawan istana lainnya berharap agar dapat secara rutin bertemu langsung dengan Presiden Jokowi. Selain bertemu, Dio menambahkan, para wartawan bisa menyampaikan aspirasi publik secara langsung mengenai isu-isu terkini.

"Kita juga mungkin bisa menyampaikan apa yang perlu kita sampaikan dari publik kepada Presiden. (Kesannya) seru, karena (Presiden) 'humble' juga menerima dan terbuka juga sama teman-teman karena setelah pandemi ini banyak wartawan yang baru. Presiden juga nggak melihat itu, ngobrol aja kayak teman," ujar Dio. Turut mendampingi Presiden dalam pertemuan tersebut yaitu Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin.

 

antara