Memasuki penyelenggaraannya yang ke-11, Solo Batik Carnival-SBC 2018 akan mengusung tema "Ika Paramartha". Ika artinya kesatuan, sedangkan Paramartha artinya hal-hal baik yang menyatukan. Penggabungan keduanya diharapkan membuat SBC menjadi satu kesatuan yang memiliki unsur yang baik sehingga bisa menjadi inspirasi.
Ketua Yayasan Solo Batik Carnival, Lia Imelda di Solo, Jawa Tengah, menjelaskan, tema tersebut diangkat mengingat saat ini kondisi politik maupun sosial di Indonesia sedang rawan gesekan. Dengan tema tersebut, Lia Imelda berharap, Solo Batik Carnival-SBC 2018 bisa menyatukan suku, agama, ras, dan antargolongan yang ada di Indonesia.
Terkait dengan tema tersebut, Koordinator SBC ke-11/2018 Ragowo Ade Kurniawan mengatakan jika tahun-tahun sebelumnya acara ini mengunggulkan batik khas Solo, tahun ini SBC menyatukan ragam batik di setiap daerah dari Sabang sampai Merauke. Ada delapan tema besar yang kami angkat yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan DKI Jakarta.
Untuk Pulau Jawa, nama defile-nya adalah Jawa Dwipa, Pulau Sumatera bernama Nagari Minangkabau, Pulau Kalimantan dengan defile Dayak Borneo, Pulau Bali dengan Janger Dewata, Pulau Sulawesi berdefile Mappalili Mamiri, Pulau Irian Jaya dengan Tana Sajojo, Pulau Nusa Tenggara dengan defile Sasando Timor, dan DKI Jakarta dengan Lenggang Batavia.
gelaran SBC akan berlangsung selama 5 hari dari tanggal 11 - 15 Juli 2018. Puncak SBC 11 akan dihelat pada 15 Juli 2018. Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Kota Surakarta Nunuk Mari Hastuti mengatakan SBC sudah masuk dalam 100 Wonderful Event di Indonesia.//Devi
Pelangi Nada kali ini, kami hadirkan lagu-lagu dari Bangka Belitung.
Lagu yang biasa dinyanyikan masyarakat Bangka Belitung pada masa panen lada ini berisikan semangat gotong royong. Beberapa sumber mengatakan bahwa lagu “Yo Miak” menggambarkan semboyan Bumi Sepintu Sedulang, yang menjadi motto penggerak masyarakat Bangka Belitung bekerjasama demi satu tujuan dan hasil yang dinikmati bersama pula.
Lagu berikutnya yang akan kami sajikan juga mengandung semboyan dari masyarakat Bangka Belitung. Kali ini semboyan Serumpun Sebalai hadir dalam lagu “Zapin Melayu Serumpun Sebalai”. Semboyan Serumpun Sebalai yang tertera dalam lambang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki makna kekayaan alam dan pluralisme masyarakat Bangka Belitung. Dalam lagu “Zapin Melayu Serumpun Sebalai”, Bangka Belitung digambarkan sebagai tempat dengan hasil bumi yang melimpah, objek wisata yang indah, dengan ragam budaya, seperti budaya Melayu, budaya Islam, serta budaya Cina atau Tionghoa
berikut kami hadirkan lagu “Zapin Melayu Serumpun Sebalai” oleh Wandasona Al-Ahmd.
masih dari Bangka Belitung, selanjutnya akan kami hadirkan lagu “Miakku Sayang”. Lagu yang biasa dibawakan berduet ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang tengah salah paham. Sang lelaki telah dimarahi kekasihnya dituduh telah berselingkuh dengan gadis lain bernama Halimah. Ternyata, Halimah hanyalah anak tetangga sang lelaki, sang lelaki tidak selingkuh, dan sang gadis pun meminta maaf. Pendengar, inilah lagu “Miakku Sayang” oleh Tommy Ali & Arin Fahmi.
sebelum menutup Pelangi Nada kali ini, saya putarkan lagu “Bujang Lapuk”. Lagu ini mengisahkan kerisauan hati seseorang yang sudah tua, tetapi belum juga punya pasangan hidup. Dirinya pun menyesal dan sadar bahwa terlalu memilih-milih pasangan membuatnya jauh dari jodoh. Ia merasa hidup tanpa pasangan terasa tidak ada gunanya.
Hari ini kami ajak anda berwisata ke kota Solo, Jawa Tengah. perayaan hari raya Imlek di kota Solo, Jawa Tengah begitu semarak. Ada 5000 lampion menghiasi kota Solo, terutama di kompleks Pasar Gede, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo. Tak hanya itu, gapura Imlek megah pun dipasang di jalan antara Balai Kota dan Pasar Gede, selama perayaan Imlek di Solo. Lokasi Pasar Gede memang menjadi pusat acara Imlek di Solo. Pada puncak perayaan Imlek, 12 shio, 12 neon nox sho, lima lampion shio anjing, lampion dewa rezeki, dan lampion werkudoro juga dipasang di Jalan Jenderal Sudirman. Selain mempercantik kota Solo dengan berbagai ornamen Imlek, berbagai rangkaian acara pun turut dihadirkan dalam memeriahkan Tahun Baru Imlek ke 2569 ini. Pemerintah Solo mengadakan Grebeg Sudiro, hingga Festival Jenang yang jadi puncaknya.
11 Februari lalu, ribuan orang memadati kawasan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Jenderal Sudirman. Mereka datang untuk menyaksikan kirab budaya Grebeg Sudiro. Kirab perpaduan dari masyarakat Tionghoa-Jawa itu dimulai pukul 14.00 WIB. Kirab Grebeg Sudiro ini merupakan perayaan mengawali Tahun Baru Imlek yang menampilkan sembilan gunungan berisi hasil bumi dan kue keranjang. Dua gunungan di antaranya berbentuk miniatur Taman Monumen 45 Banjarsari dan rumah dinas wali kota, Loji Gandrung. Ada pula gunungan miniatur Pasar Gede. Gunungan itu diarak keliling kawasan Kelurahan Sudiroprajan.
Kirab dimulai dari depan Pasar Gede-Jalan Jenderal Sudirman-Jalan Mayor Kusmanto-pertigaan Lojiwetan-Jalan Kapten Mulyadi-perempatan Ketandan-Jalan RE Martadinata-Jalan Cut Nyak Dien-Jalan Juanda-perempatan Warung Pelem-Jalan Urip Sumoharjo-Pasar Gede. Selesai diarak, warga pun berebut kue keranjang.
Grebeg Sudiro merupakan tradisi perpaduan masyarakat Tionghoa dan Jawa. Kata grebeg merupakan tradisi khas jawa untuk menyambut hari-hari khusus seperti: Mulud (kelahiran Nabi Muhammad), Syawal (lebaran), Idul Adha, Suro (Tahun Baru Jawa). Puncak perayaan ini adalah saat perebutan hasil bumi yang disusun membentuk gunung. Tradisi rebutan didasari oleh falsafah Jawa ora babah ora mamah yang artinya, jika tidak berusaha tidak makan. Sedangkan, bentuk gunung memiliki maksud dari masyarakat jawa atas rasa syukur pada sang pencipta.
Tradisi Grebeg Sudiro setiap tahunnya digelar di kawasan Sudiroprajan. Sudiroprajan merupakan sebuah kelurahan di kecamatan Jebres di Solo. Di kawasan ini, etnis Tionghoa peranakan sudah puluhan tahun menetap dan berdampingan dengan masyarakat jawa. Seiring berjalannya waktu, terjadi perkawinan diantara kedua etnis ini, sehingga menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan akulturasi diantara mereka, digelarlah tradisi baru bernama Grebeg Sudiro. Tradisi ini pertama kali digelar tahun 2007.
Imlek di Indonesia telah mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Hal tersebut terbukti dengan munculnya sebutan Lebaran China dari orang Betawi untuk Imlek. Artinya orang Betawi menganggap Imlek sudah jadi bagian dari budaya mereka juga. Maka itu, orang Betawi ikut merayakannya, tak hanya ikut dalam karnaval dan pasar malam Imlek. Tapi sejak pertengahan abad 19, banyak orang Betawi bergabung merayakan dan makan makanan khas Perayaan Imlek.
Berdasakan kepercayaan orang-orang Tionghoa, pada umumnya selalu menyediakan 12 macam masakan dan 12 macam kue-kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Salah satu hidangan utama adalah ikan bandeng dimana diartikan sebagai perlambang rezeki, karena dalam logat Mandarin kata ”ikan” sama bunyinya dengan kata ”yu” yang berarti rezeki. Biasanya, ikan bandeng ini dimasak menjadi pindang.
Pindang bandeng merupakan masakan yang menjadi tradisi kaum peranakan pada saat tahun baru. Biasanya ikan disajikan utuh dengan kepala hingga ekor. Kepala ikan seringkali diarahkan kepada tamu, karena sesungguhnya itulah penghormatan tertinggi, dimana tamu tersebut dianggap sebagai tamu kehormatan.
Ikan bandeng yang dimasak untuk makan bersama saat tahun baru Imlek adalah ikan yang bermutu baik dan masih segar, berukuran besar dan bermata bening. Ikan-ikan bandeng berukuran besar biasanya hanya dijual menjelang hari raya Imlek. Harganya kadang-kadang lebih mahal dibandingkan biasanya. Dan harga yang mahal ini tidak boleh ditawar. Karena mengurangi harga dianggap mengurangi rezeki.
Ikan bandeng menjadi simbol dan harapan untuk terus maju dalam kehidupan. Sama seperti ikan yang hidupnya di air selalu terus maju dan tidak menabrak walaupun cahaya redup. Adanya ikan bandeng ini menjadi harapan supaya kehidupan orang yang memakannya selalu maju dan tidak menabrak halangan.