Hari ini kami ajak anda berwisata ke kota Solo, Jawa Tengah. perayaan hari raya Imlek di kota Solo, Jawa Tengah begitu semarak. Ada 5000 lampion menghiasi kota Solo, terutama di kompleks Pasar Gede, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo. Tak hanya itu, gapura Imlek megah pun dipasang di jalan antara Balai Kota dan Pasar Gede, selama perayaan Imlek di Solo. Lokasi Pasar Gede memang menjadi pusat acara Imlek di Solo. Pada puncak perayaan Imlek, 12 shio, 12 neon nox sho, lima lampion shio anjing, lampion dewa rezeki, dan lampion werkudoro juga dipasang di Jalan Jenderal Sudirman. Selain mempercantik kota Solo dengan berbagai ornamen Imlek, berbagai rangkaian acara pun turut dihadirkan dalam memeriahkan Tahun Baru Imlek ke 2569 ini. Pemerintah Solo mengadakan Grebeg Sudiro, hingga Festival Jenang yang jadi puncaknya.
11 Februari lalu, ribuan orang memadati kawasan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Jenderal Sudirman. Mereka datang untuk menyaksikan kirab budaya Grebeg Sudiro. Kirab perpaduan dari masyarakat Tionghoa-Jawa itu dimulai pukul 14.00 WIB. Kirab Grebeg Sudiro ini merupakan perayaan mengawali Tahun Baru Imlek yang menampilkan sembilan gunungan berisi hasil bumi dan kue keranjang. Dua gunungan di antaranya berbentuk miniatur Taman Monumen 45 Banjarsari dan rumah dinas wali kota, Loji Gandrung. Ada pula gunungan miniatur Pasar Gede. Gunungan itu diarak keliling kawasan Kelurahan Sudiroprajan.
Kirab dimulai dari depan Pasar Gede-Jalan Jenderal Sudirman-Jalan Mayor Kusmanto-pertigaan Lojiwetan-Jalan Kapten Mulyadi-perempatan Ketandan-Jalan RE Martadinata-Jalan Cut Nyak Dien-Jalan Juanda-perempatan Warung Pelem-Jalan Urip Sumoharjo-Pasar Gede. Selesai diarak, warga pun berebut kue keranjang.
Grebeg Sudiro merupakan tradisi perpaduan masyarakat Tionghoa dan Jawa. Kata grebeg merupakan tradisi khas jawa untuk menyambut hari-hari khusus seperti: Mulud (kelahiran Nabi Muhammad), Syawal (lebaran), Idul Adha, Suro (Tahun Baru Jawa). Puncak perayaan ini adalah saat perebutan hasil bumi yang disusun membentuk gunung. Tradisi rebutan didasari oleh falsafah Jawa ora babah ora mamah yang artinya, jika tidak berusaha tidak makan. Sedangkan, bentuk gunung memiliki maksud dari masyarakat jawa atas rasa syukur pada sang pencipta.
Tradisi Grebeg Sudiro setiap tahunnya digelar di kawasan Sudiroprajan. Sudiroprajan merupakan sebuah kelurahan di kecamatan Jebres di Solo. Di kawasan ini, etnis Tionghoa peranakan sudah puluhan tahun menetap dan berdampingan dengan masyarakat jawa. Seiring berjalannya waktu, terjadi perkawinan diantara kedua etnis ini, sehingga menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan akulturasi diantara mereka, digelarlah tradisi baru bernama Grebeg Sudiro. Tradisi ini pertama kali digelar tahun 2007.
Imlek di Indonesia telah mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Hal tersebut terbukti dengan munculnya sebutan Lebaran China dari orang Betawi untuk Imlek. Artinya orang Betawi menganggap Imlek sudah jadi bagian dari budaya mereka juga. Maka itu, orang Betawi ikut merayakannya, tak hanya ikut dalam karnaval dan pasar malam Imlek. Tapi sejak pertengahan abad 19, banyak orang Betawi bergabung merayakan dan makan makanan khas Perayaan Imlek.
Berdasakan kepercayaan orang-orang Tionghoa, pada umumnya selalu menyediakan 12 macam masakan dan 12 macam kue-kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Salah satu hidangan utama adalah ikan bandeng dimana diartikan sebagai perlambang rezeki, karena dalam logat Mandarin kata ”ikan” sama bunyinya dengan kata ”yu” yang berarti rezeki. Biasanya, ikan bandeng ini dimasak menjadi pindang.
Pindang bandeng merupakan masakan yang menjadi tradisi kaum peranakan pada saat tahun baru. Biasanya ikan disajikan utuh dengan kepala hingga ekor. Kepala ikan seringkali diarahkan kepada tamu, karena sesungguhnya itulah penghormatan tertinggi, dimana tamu tersebut dianggap sebagai tamu kehormatan.
Ikan bandeng yang dimasak untuk makan bersama saat tahun baru Imlek adalah ikan yang bermutu baik dan masih segar, berukuran besar dan bermata bening. Ikan-ikan bandeng berukuran besar biasanya hanya dijual menjelang hari raya Imlek. Harganya kadang-kadang lebih mahal dibandingkan biasanya. Dan harga yang mahal ini tidak boleh ditawar. Karena mengurangi harga dianggap mengurangi rezeki.
Ikan bandeng menjadi simbol dan harapan untuk terus maju dalam kehidupan. Sama seperti ikan yang hidupnya di air selalu terus maju dan tidak menabrak walaupun cahaya redup. Adanya ikan bandeng ini menjadi harapan supaya kehidupan orang yang memakannya selalu maju dan tidak menabrak halangan.
Hari ini kami ajak anda berwisata kuliner ke kota Banyuwangi. Banyuwangi merupakan salah satu kota di provinsi Jawa Timur. Osing atau Using adalah penduduk asli kabupaten ini. Mereka merupakan penduduk mayoritas di beberapa kabupaten di Banyuwangi. Berwisata ke Banyuwangi, rasanya tak lengkap jika anda tidak berinteraksi langsung dengan kehidupan penduduk asli Banyuwangi ini. Mereka punya adat istiadat dan kesenian yang kaya serta unik. Ada Kesenian Gandrung Banyuwangi, Tari Barong, Kuntulan, Tradisi Tumpeng Sewu, Tradisi Jamuran dan lainnya. Selain itu, suku Osing juga punya kekayaan kuliner yang layak anda coba. Salah satunya yang masih lestari hingga kini adalah Bekamal.
Bekamal adalah makanan yang terbuat dari daging sapi, ayam atau kambing yang sudah diberi bumbu serta difermentasi selama beberapa hari. Untuk memasaknya, daging yang sudah difermentasi tersebut dicuci bersih. Kemudian daging ditumis dengan cabai, bawang merah dan bawang putih serta tomat. Setelah semua dicampur, daging harus ditaruh di tempat yang rendah oksigen atau tertutup rapat selama satu minggu untuk proses fermentasi, kemudian baru disimpan di lemari es. Hasilnya, daging mentah bekamal, bisa bertahan hingga 4 bulan. Dari proses fermentasinya, daging bekamal mengeluarkan aroma segar. Soal rasa daging bekamal cenderung asam bercampur asin.
untuk menikmatinya, daging ini kemudian diolah kembali untuk dikonsumsi sebagai lauk. Sebelum diolah kembali, untuk meminimalisir aroma yang khas, daging bekamal harus dicuci dengan air bersih lalu direndam semalaman dengan air perasan jeruk. Hal ini dilakukan ,selain mengurangi aroma khas, juga mengurangi rasa asin yang dominan pada bekamal. Oleh masyarakat Osing di Desa Gintangan, daging Bekamal menjadi isian lauk pada nasi bambu atau Sego Jajang. Untuk mencoba rasa Bekamal yang telah diolah, anda bisa mengunjungi rumah makan di desa Gintangan, Banyuwangi. Selain itu, bekamal juga dijual secara umum dalam bentuk kemasan.
kata Bekamal diambil dari bahasa Jawa dan Using, yang berarti supaya amalnya penuh. Kuliner tradisional ini, diperkirakan sudah ada sejak abad 16 saat Agama Islam mulai masuk ke kerajaan Blambangan, karena saat itu, masyarakat sudah mengenal perayaan Idul Adha, sehingga stok daging berlimpah saat kurban. Kerajaan ini merupakan pecahan kerajaan Majapahit terakhir di Pulau Jawa. Limpahan daging oleh masyarakat diawetkan dengan dibuat Bekamal. Dahulu oleh masyarakat setempat, setelah dibumbui, daging dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup rapat-ratap hingga minimal 10 hari. Nah setelah dianggap matang baru diambil sedikit-sedikit untuk dimasak tumis sebagai lauk.
Awal Februari kemarin, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, menetapkan branding Banyuwangi sebagai “The City of Carnival and Festival”. Penetapan branding tersebut dilakukan bersamaan saat peluncuran Top 77 Calender of Event Banyuwangi Festival. Penobatan kota di Jawa Timur ini sebagai kota karnaval dan festival dikarenakan kesiapan unsur atraksi, amenitas, dan aksesibilitas terutama konektivitas udara kota Banyuwangi. Selain itu, dibanding dengan kota lainnya di Indonesia, Banyuwangi merupakan salah satu kota yang menggelar kegiatan festival terbanyak. Tahun ini saja, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, menyiapkan 77 event wisata. Mulai festival kebudayaan, karnaval, olahraga, hingga kuliner.
digelarnya beragam kegiatan festival di Banyuwangi, tentu saja bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke kota tersebut. Setiap minggunya terdapat dua hingga tiga acara yang bisa dinikmati wisatawan saat berkunjung ke Banyuwangi. Wisatawan bisa memilih acara festival atau karnaval yang disukai. Untuk memudahkan wisatawan melihat jadwalnya, Anda bisa menggunakan aplikasi "Banyuwangi Festival". Aplikasi yang dirilis bersamaan dengan peluncuran Top 77 Calender of Event Banyuwangi Festival ini merangkum berbagai agenda wisata Banyuwangi, yang bisa dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain untuk memudahkan wisatawan untuk memilih waktu berlibur, Aplikasi “Banyuwangi Festival”, menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata MY Bramuda, juga menjadi salah satu cara Banyuwangi untuk "go digital". Dengan hadirnya Aplikasi ini, juga ‘memaksa’ pihak penyelenggara event untuk tidak megubah jadwal seenaknya, karena dimonitor langsung oleh wisatawan.
Aplikasi berbasis Android ini cukup ringan, hanya 12 MB (Megabyte) dan dapat diunduh di playstrore. Fungsinya, mempermudah akses informasi seputar agenda Banyuwangi Festival. Untuk memanfaatkan apliasi ini, Anda bisa memulainya dengan mencari acara yang ada saat waktu kedatangan anda ke Banyuwangi. Misalnya jika Anda datang di bulan Juli, maka akan keluar berbagai acara di bulan tersebut. Beberapa event wisata yang menjadi atraksi favorit Banyuwangi yang terdapat dalam aplikasi Banyuwangi Festival, ialah seperti Festival Banyuwangi Kuliner dan Art Week (12-15 April), Jazz Pantai Banyuwangi, (12-13 Mei), Banyuwangi Ethno Carnival (29 Juli), Ijen Summer Jazz (22 September), dan Festival Gandrung Sewu (20 Oktober).