Edisi kali ini menghadirkan lagu-lagu bernuansa keroncong yang dibawakan oleh penyanyi pria Indonesia, Ismanto.
demikianlah lagu berjudul Jauh di Mata Dekat di Hati, yang dinyanyikan oleh Ismanto. Sebuah lagu keroncong asli yang bercerita tentang kerinduan seseorang pada kekasihnya. Berharap janji yang terucap tidak dilupakan begitu saja. Walaupun jauh namun selalu dekat di hati. Selain piawai membawakan lagu, Ismanto juga mampu menciptakan lagu. Lagu Jauh di Mata Dekat di Hati ini adalah salah satu lagu ciptaan Ismanto. selanjutnya kita dengarkan terlebih dahulu sebuah lagu keroncong berjudul Sapu Tangan.
demikianlah sebuah lagu berjudul Saputangan. Seperti lagu sebelumnya, lagu ini masih bertema cinta. Lagu ini bercerita tentang seorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya. Walaupun sudah berjanji sehidup semati, namun kisah cinta tidak bisa dipertahankan. Saputangan yang dulu diterima dari kekasihnya, kini menjadi kenangan yang basah dengan air mata.
Ismanto lahir di Ambarawa Jawa Tengah pada tahun 1920. Nama Ismanto mulai muncul di dunia hiburan khususnya musik Indonesia setelah tahun 1950. Waktu itu namanya bersanding dengan penyanyi-penyanyi lain seperti Waldjinah, S. Dharmanto dan Ping Astono. Selain bermain musik dan bernyanyi, Ismanto juga menulis lagu-lagu Jawa dan Keroncong. Ismanto wafat di Surakarta pada tahun 1996.
Edisi kali ini mengetengahkan topik mengenai Mahasiswa UGM Manfaatkan Limbah Kulit Ubi Kayu Untuk Pelapis Pakan Ikan.
Ketela pohon atau ubi kayu sangat mudah dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Bagian tamanan ini yang paling sering dimanfaatkan adalah buah atau ubi serta daunnya. Kulit ubi kayu atau biasa juga disebut singkong ini biasanya dibuang dan menjadi sampah. Sebenarnya bagian kulit singkong dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan terobosan dengan membuat pelapis pakan ikan atau pelet dari limbah kulit ubi kayu. Inovasi ini mampu meningkatkan efektivitas pemberian pakan ikan budidaya. Salah satu anggota tim Muhammad Burhanudding Fauzi mengatakan, pelapis pakan ikan (pelet) ini memberikan keuntungan karena pakan tidak mudah hancur. Pelapis berfungsi sebagai penahan pakan agar tidak mudah menyerap air. Menurut Fauzi, sifat edibel coating (pelapis) pada kulit ubi kayu ini menjadikan pakan ikan tidak mudah menyerap air dan dapat bertahan lebih lama. Selain itu pakan yang tidak mudah hancur di air dapat mengurangi pencemaran sisa pakan dalam air. Inovasi bernama Eating Paku yang merupakan singkatan Edible Coating Pati Kulit Ubi Kayu ini lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa UGM 2018. Fauzi mengembangkannya bersama rekannya di Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, yaitu Ahadian Ansor dan Mochammad Idris Ramadana, dengan bimbingan Sri Rahayoe. Fauzi menambahkan, dari hasil uji menunjukkan dengan pelapis ini pelet dapat bertahan dalam air 5 sampai 7 jam.Penggunaan pati kulit ubi kayu sebagai dasar pembuatan edible dipilih karena memakan biaya relatif murah dibandingkan bahan lain seperti protein maupun lipid. Selain itu, bahan baku berupa kulit ubi kayu ini tersedia cukup melimpah di masyarakat. Bahkan, kulit ubi kayu biasanya hanya menjadi limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pembuatan pelapis pakan ikan dilakukan dengan mengolah kulit ubi kayu hingga menjadi pati terlebih dahulu. Selanjutnya, pati diformulasi dan mencampurkannya dengan dengan gliserol, carboxymethyl cellulose dan aquades melalui proses setirer. Terakhir, larutan yang dihasilkan disemprotkan ke pelet mandiri, sehingga pakan ikan yang lebih tahan lama dalam air.
MenurutAhadian, ide mengembangan pelapis pakan ikan ini berawal dari keluhan masyarakat, terutama petani ikan di Sleman. Petani ikan sering mengeluhkan kondisi pakan ikan yang dibuat mandiri, kualitasnya tidak sebagus pakan ikan yang ada di pasaran. Sementara pakan ikan komersil harganya relatif lebih mahal dibanding pakan ikan mandiri.
Jawa Barat memang memiliki banyak air terjun yang tersebar di wilayahnya. Dari banyaknya air terjun tersebut, ada sebuah air terjun tersembunyi yang terdapat di Desa Sanca, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, bernama Curug Bentang. Curug Bentang berada dalam satu kawasan Desa Wisata Wangun Harja, sama dengan Curug Cibareubeuy.Curug Bentang adalah rangkaian air terjun yang terbagi menjadi 2. Air terjun pertama membentuk kolam kecil yang kemudian mengalir ke air terjun kedua yang lebih besar. Sejauh ini baru air terjun kedua yang dapat diakses, karena air terjun pertama lokasinya lebih kearah hulu, sehingga harus melewati hutan dan bukit.
Debit air Curug Bentang cukup deras dengan airnya yang jernih. Menikmati kesegaran air terjun dengan berendam atau berenang tentunya menjadi aktivitas wisata menyenangkan yang dapat dilakukan di tempat wisata ini.Curug Bentang berjarak sekitar 30 km dari Kabupaten Subang. Dari Subang atau Bandung, Curug Bentang dapat ditempuh selama 40-60 menit perjalanan darat melalui Desa Palasari, Sarireja, atau Kasomalang di Kecamatan Jalan Cagak. Kondisi jalan dari Palasari ke Sanca relatif bagus. Namun, karena petunjuk arah masih sangat minim, pengunjung harus bertanya pada penduduk sekitar.Setelah sampai di pintu gerbang, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar Rp. 5000 per orang. Dari gerbang ini, perjalanan menuju Curug Bentang hanya sekitar 1km, namun harus ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang menurun.
di lokasi wisata Curug Bentang ini sudah tersedia beberapa warung penjual makanan di dekat pintu gerbang masuk curug. Selain itu, didalam area wisata ini, tidak jauh dari gerbang masuk, ada beberapa villa penginapan sederhana yang disewakan bagi pengunjung untuk menginap.
Ketela pohon atau ubi kayu sangat mudah dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Bagian tamanan ini yang paling sering dimanfaatkan adalah buah atau ubi serta daunnya. Kulit ubi kayu atau biasa juga disebut singkong ini biasanya dibuang dan menjadi sampah. Sebenarnya bagian kulit singkong dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan terobosan dengan membuat pelapis pakan ikan atau pelet dari limbah kulit ubi kayu. Inovasi ini mampu meningkatkan efektivitas pemberian pakan ikan budidaya. Salah satu anggota tim Muhammad Burhanudding Fauzi mengatakan, pelapis pakan ikan (pelet) ini memberikan keuntungan karena pakan tidak mudah hancur. Pelapis berfungsi sebagai penahan pakan agar tidak mudah menyerap air. Menurut Fauzi, sifat edibel coating (pelapis) pada kulit ubi kayu ini menjadikan pakan ikan tidak mudah menyerap air dan dapat bertahan lebih lama. Selain itu pakan yang tidak mudah hancur di air dapat mengurangi pencemaran sisa pakan dalam air.
Inovasi bernama Eating Paku yang merupakan singkatan Edible Coating Pati Kulit Ubi Kayu ini lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa UGM 2018. Fauzi mengembangkannya bersama rekannya di Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, yaitu Ahadian Ansor dan Mochammad Idris Ramadana, dengan bimbingan Sri Rahayoe. Fauzi menambahkan, dari hasil uji menunjukkan dengan pelapis ini pelet dapat bertahan dalam air 5 sampai 7 jam.
Penggunaan pati kulit ubi kayu sebagai dasar pembuatan edible dipilih karena memakan biaya relatif murah dibandingkan bahan lain seperti protein maupun lipid. Selain itu, bahan baku berupa kulit ubi kayu ini tersedia cukup melimpah di masyarakat. Bahkan, kulit ubi kayu biasanya hanya menjadi limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pembuatan pelapis pakan ikan dilakukan dengan mengolah kulit ubi kayu hingga menjadi pati terlebih dahulu. Selanjutnya, pati diformulasi dan mencampurkannya dengan dengan gliserol, carboxymethyl cellulose dan aquades melalui proses setirer. Terakhir, larutan yang dihasilkan disemprotkan ke pelet mandiri, sehingga pakan ikan yang lebih tahan lama dalam air.
Menurut Ahadian, ide mengembangan pelapis pakan ikan ini berawal dari keluhan masyarakat, terutama petani ikan di Sleman. Petani ikan sering mengeluhkan kondisi pakan ikan yang dibuat mandiri, kualitasnya tidak sebagus pakan ikan yang ada di pasaran. Sementara pakan ikan komersil harganya relatif lebih mahal dibanding pakan ikan mandiri.