Jumpa kembali dalam acara Warna-Warni. selera kebanyakan masyarakat di Indonesia memang tidak jauh dari makanan pedas. Karena, selain mempunyai banyak resep tradisional yang turun temurun, Indonesia juga memproduksi bahan bakunya sendiri. Bahan baku untuk makanan pedas adalah cabai.
Produksi salah satu komoditas pertanian penting di Indonesia ini kini mulai terancam oleh beberapa hal, antara lain pola transportasi dan cuaca yang tak menentu, serta hama penyakit yang menyerang bukan ketika penanaman melainkan pada fase penyimpanan. Cendawan Colletotrichum Capsici adalah salah satu bakteri utama penyebab penyakit busuk antraknosa. Tak hanya menyerang pada fase budidaya, namun patogen ini juga dapat menginfeksi cabai yang telah dipanen.
Ternyata ada cara yang relatif aman untuk mengawetkan suatu produk pertanian, yakni dengan cara aplikasi pelapisan buah atau produk pertanian lain yang aman ketika turut dikonsumsi (edible coating). Salah satunya adalah metode yang diterapkan oleh salah seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor-IPB dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Namanya Hasan Bisri. Ia melakukan penelitian penanganan pascapanen dengan aplikasi edible coating menggunakan ekstrak kulit manggis untuk mengendalikan patogen penyebab penyakit antraknosa pada cabai.
edible coating dibuat dari tepung sagu, Carboxymethyl Cellulose (CMC) dan gliserol yang ditambahkan ekstrak kulit manggis. Penambahan ekstrak kasar kulit manggis mampu menekan tingkat keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai sebesar 57 % dan memperpanjang masa inkubasi C. capsici sebesar 94 % (dari 2.13 hari menjadi 4.13 hari).
Terdapat tiga perlakuan yang diuji yaitu P (perlakuan ekstrak kulit manggis), K- (kontrol negatif), dan K+ (kontrol positif). Berdasarkan uji in vitro, penambahan ekstrak kulit manggis dengan konsentrasi efektif yaitu 50 %. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak kasar kulit manggis mampu menekan pertumbuhan Colletotrichum capsici, penyebab penyakit antraknosa buah cabai.
menurut Hasan Bisri, kulit manggis mengandung senyawa yang memiliki sifat antioksidan, antitumoral, antiinflamasi, antialergi, antibakteri, antiviral, antimalarial, dan antifungal. Antifungal yang terdapat di kulit manggis memiliki potensi menghambat cendawan patogen penyebab penyakit busuk antraknosa, sebab Antifungal merupakan kemampuan senyawa kimia untuk menghambat pertumbuhan cendawan.
Ekstrak kulit manggis sudah banyak diteliti dan terbukti memiliki banyak manfaat untuk manusia. Kulit manggis juga telah lama menjadi obat herbal untuk masyarakat Asia Tenggara. Hasan berharap, penemuannya ini bisa menjaga ketersediaan produk pertanian dengan cara pengawetan bahan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi.
Kali ini, akan memperkenalkan salah satu tari tradisional dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki corak kebudayaan berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tarian tradisional yang beragam. Tarian asal provinsi ini biasanya sarat akan makna. Salah satunya adalah Tari Bidu Hodi Hakdaur.
tari tradisional di Nusa Tenggara Timur tidak mengenal tarian tunggal atau tarian yang hanya dimainkan oleh satu orang saja. Tak terkecuali dengan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini. Tarian ini diperagakan oleh lebih dari dua orang. Tari Bidu Hodi Hakdaur diiringi dengan musik yang berasal dari perpaduan gendang, gong, tambur, dan tiupan recorder (sejenis seruling). Bahkan, tarian ini juga kerap diselingi dengan nyanyian lagu daerah rakyat Belu, “Loro Malirin” yang diiringi dengan pekikan nyaring yang bersahutan.
Tari Bidu Hodi Hakdaur, dikembangkan dari tarian Likurai dari suku Belu, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini diperagakan oleh sejumlah laki-laki dan perempuan. Dalam tarian yang dinamis ini, penari laki-laki dan perempuan memakai busana tenun ikat Suku Belu dan aksesoris seperti tais (tas tradisional) dan kelewang (parang tradisonal). Para penari mengenakan aksesoris ini sekaligus untuk menampilkan kekayaan budaya etnik Nusa Tenggara Timur yang eksotik. Tari Bidu Hodi Hakdaur ini biasanya dipersembahkan dalam rangka menyambut tamu kehormatan, perayaan pesta perkawinan, acara ritual adat, dan hiburan.
pertunjukan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini diawali dengan penari laki-laki yang menarikan gerakan kaki dengan lincah dan kokoh sambil membunyikan giring-giring (gelang kaki) dengan mengikuti irama gendang. Kemudian datang sejumlah penari perempuan yang berlenggak-lenggok sambil memukul gendang atau bibiliku (tambur) dengan penuh semangat dan riang gembira. Setelah itu, ada koreografi berpasangan dan secara berkelompok membentuk lingkaran.
Tari Bidu Hodi Hakdaur diwariskan secara turun temurun. Dahulu, tarian tradisiona ini adalah tarian untuk menyambut kedatangan panglima perang yang berhasil menaklukan lawan. Tarian ini merepresentasikan barisan laki-laki yang gagah memainkan kelewang dan mengalahkan musuh. Sedangkan, barisan perempuan, menabuh gendang dengan riang gembira menyambut kedatangan laki-laki dan merayakan kemenangan perang. Namun, kini tarian ini memiliki makna lain yaitu kebersamaan, kegembiraan dan gotongroyong.// Enggar
Kali ini, akan memperkenalkan salah satu tari tradisional dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki corak kebudayaan berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tarian tradisional yang beragam. Tarian asal provinsi ini biasanya sarat akan makna. Salah satunya adalah Tari Bidu Hodi Hakdaur.
tari tradisional di Nusa Tenggara Timur tidak mengenal tarian tunggal atau tarian yang hanya dimainkan oleh satu orang saja. Tak terkecuali dengan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini. Tarian ini diperagakan oleh lebih dari dua orang. Tari Bidu Hodi Hakdaur diiringi dengan musik yang berasal dari perpaduan gendang, gong, tambur, dan tiupan recorder (sejenis seruling). Bahkan, tarian ini juga kerap diselingi dengan nyanyian lagu daerah rakyat Belu, “Loro Malirin” yang diiringi dengan pekikan nyaring yang bersahutan.
Tari Bidu Hodi Hakdaur, dikembangkan dari tarian Likurai dari suku Belu, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini diperagakan oleh sejumlah laki-laki dan perempuan. Dalam tarian yang dinamis ini, penari laki-laki dan perempuan memakai busana tenun ikat Suku Belu dan aksesoris seperti tais (tas tradisional) dan kelewang (parang tradisonal). Para penari mengenakan aksesoris ini sekaligus untuk menampilkan kekayaan budaya etnik Nusa Tenggara Timur yang eksotik. Tari Bidu Hodi Hakdaur ini biasanya dipersembahkan dalam rangka menyambut tamu kehormatan, perayaan pesta perkawinan, acara ritual adat, dan hiburan.
pertunjukan Tari Bidu Hodi Hakdaur ini diawali dengan penari laki-laki yang menarikan gerakan kaki dengan lincah dan kokoh sambil membunyikan giring-giring (gelang kaki) dengan mengikuti irama gendang. Kemudian datang sejumlah penari perempuan yang berlenggak-lenggok sambil memukul gendang atau bibiliku (tambur) dengan penuh semangat dan riang gembira. Setelah itu, ada koreografi berpasangan dan secara berkelompok membentuk lingkaran.
Tari Bidu Hodi Hakdaur diwariskan secara turun temurun. Dahulu, tarian tradisiona ini adalah tarian untuk menyambut kedatangan panglima perang yang berhasil menaklukan lawan. Tarian ini merepresentasikan barisan laki-laki yang gagah memainkan kelewang dan mengalahkan musuh. Sedangkan, barisan perempuan, menabuh gendang dengan riang gembira menyambut kedatangan laki-laki dan merayakan kemenangan perang. Namun, kini tarian ini memiliki makna lain yaitu kebersamaan, kegembiraan dan gotongroyong.// Enggar
kali ini, menghadirkan lagu-lagu daerah Aceh, yang dibawakan oleh penyanyi wanita Indonesia, Liza Aulia. Untuk membuka perjumpaan kali ini, kita dengarkan sebuah lagu berjudul Katiedhein, dibawakan oleh Liza Aulia.
Katiedhein merupakan salah satu lagu yang terdapat dalam Album Kuthiding, album perdana yang telah melambungkan nama Liza Aulia, terutama di wilayah Aceh. Selain memiliki karakter vokal yang khas dan kuat, Liza juga mampu menciptakan lagu, seperti lagu Katiedhein. Wanita cantik yang mengenakan hijab ini juga sering tampil atau manggung di kota-kota di daerah Aceh.
Penyanyi yang satu ini memang berbakat di bidang seni. Sejak sekolah menengah atas Liza sudah bermain sinetron pendidikan yang di tayangkan di televisi nasional TVRI. Meskipun belum banyak mengeluarkan album, menyanyi bukanlah hal yang baru baginya. Sejak kecil Liza sudah terbiasa menyanyi, bahkan dia belajar membaca dari lirik lagu ketika berkaraoke.
Bagi Liza menyanyi bukan hanya sekedar hobby tetapi juga bentuk tanggungjawab moral sebagai pelaku seni. Menurutnya seni adalah identitas suatu bangsa, karena itu Liza Aulia akan konsisten pada musik Aceh. Baiklah, kita dengarkan sebuah lagu Aceh berikut berjudul Aneuk Yatim, dibawakan oleh Rafly.
lagu ini diputar berulang-ulang saat Tsunami meluluhlantakkan Banda Aceh. Lagu berjudul Aneuk Yatim ini berisi rintihan anak yatim. Sebelumnya nama Rafly mulai dikenal sebagai penyanyi daerah Aceh saat dia mengeluarkan album bertajuk Hasan Husein. Perjalanan penyanyi pria Aceh ini tidaklah mudah. Sebelum berhasil masuk ke dapur rekaman, Rafly sempat bernyanyi di warung-warung kopi di Aceh. Warna vocalnya yang khas dan melengking, menjadi kelebihan sendiri baginya. Dalam lagu-lagunya Rafly mencoba memadukan musik tradisional Aceh dengan musik modern. Lagu Aneuk Yatim ini kemudian juga diputar saat peringatan Tsunami Aceh.