Wednesday, 04 October 2023 15:12

Penelitian "Homo floresiensis" Terus Dilakukan Setelah 20 Tahun

Written by 
Rate this item
(0 votes)

Para peneliti arkeologi BRIN dalam acara “Commemoration of the 20th Anniversary of Homo Floresiensis Discovery” di Kawasan Sains R.P. Soejono, Jakarta, Rabu (4/10/2023). (Foto: Tangkapan layar Zoom BRIN)

 

VOInews.id, Jakarta: Tahun 2023 merupakan 20 tahun pascapenemuan kerangka Homo floresiensis di Pulau Flores, tepatnya Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Penemuan manusia purba ini sempat menghebohkan dunia penelitian karena keunikan karakteristik dan asal-usulnya yang masih belum terjawab. Hingga kini, para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) masih meneliti struktur DNA kerangka tersebut.

“Selama 20 tahun ini kita terus mendalami dan mendetailkan hal-hal yang belum bisa dilakukan. Misalnya, sampai sekarang kita masih mengekstrak DNA-nya, sampai sekarang belum ada indikasi,” kata peneliti Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR-Arbastra) BRIN sekaligus salah satu penemu Homo floresiensis, Thomas Sutikna dalam acara “Commemoration of the 20th Anniversary of Homo Floresiensis Discovery” di Kawasan Sains R.P. Soejono, Jakarta, Rabu (4/10/2023).

 

Thomas mengatakan, pihaknya masih mencoba mengekstrak DNA kuno (ancient DNA) dari kerangka Homo floresiensis. Ia mengakui ekstraksi tersebut menjadi tantangan tersendiri di daerah tropis. Namun ia meyakini, bila berhasil, penelusuran filogenetika akan lebih mudah sehingga dapat menjawab pertanyaan mengenai manusia purba ini.

 

Di samping itu, timnya juga sedang meneliti tentang lingkungan purba (paleoenvironment) dan iklim purba (paleoclimate) di Flores. BRIN menilai hal ini menarik, lantaran memungkinkan Homo floresiensis bertahan di saat manusia purba lainnya sudah punah. Thomas membandingkan Homo floresiensis dengan komodo, hewan dari benua Australia yang masih bertahan di Nusa Tenggara hingga kini.

 

“PR kedua kita adalah paleoenvironment dan paleoclimate di Flores, situasi apa kok (Homo floresiensis) ada di sana dan bisa survive (bertahan). 60.000 tahun (umur kerangka) bagi manusia purba (ini menarik), kok bisa survive, padahal di Sangiran sudah tidak ada,” katanya melanjutkan.

 

Sementara itu, Kepala OR-Arbastra BRIN Herry Jogaswara dalam sambutannya melihat peringatan ini sebagai momentum perubahan riset arkeologi. Perubahan tersebut di antaranya lingkup riset peneliti yang tidak berbasis asal wilayah, bersifat multidisiplin, dan melibatkan perguruan tinggi.

 

“Platform riset arkeologi ke depan tidak lagi bersifat regional, (bersifat) multidisiplin, dan kita juga mengundang perguruan tinggi – saat ini ada 6 perguruan tinggi arkeologi –serta (pengembangan) infrastruktur riset,” kata Herry.

 

Dalam kesempatan tersebut, BRIN meresmikan penggantian nama Kawasan Sains Pasar Minggu menjadi Kawasan Sains R.P. Soejono. Penggantian nama ini untuk menghormati mendiang R.P. Soejono sebagai salah satu perintis riset di Liang Bua. Penghargaan juga diserahkan BRIN kepada perwakilan R.P. Soejono dan perintis riset Liang Bua dari Selandia Baru, Mike Morwood.

Read 241 times