Akbar

Akbar

17
May

 

(voinews.id)Tiongkok menyambut positif kesepakatan bersama yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Amerika Serikat baru-baru ini sepanjang saling mendukung perdamaian di kawasan. "Kami akan senang melihat negara-negara non-kawasan termasuk AS memainkan peran konstruktif dalam mendukung perdamaian di kawasan, namun tindakan apa pun yang dapat merusak perdamaian, stabilitas, solidaritas, dan kerja sama di kawasan, tidak bisa diterima," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian di Beijing, Senin (16/5). Ia berharap AS tidak mengedepankan mentalitas Perang Dingin dan tidak menghasut blok konfrontasi di Asia. Zhao mengingatkan AS tidak menyasar pihak ketiga, menghormati sistem pembangunan di negara-negara kawasan, mendukung sentralitas ASEAN dengan tindakan nyata, dan berkontribusi secara sehat dan konstruktif pada kerja sama Asia-Pasifik. Terkait dengan isu Laut China Selatan yang juga terdapat dalam poin kesepakatan ASEAN-AS, Zhao meminta AS menghormati upaya bersama negara-negara di kawasan dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas serta tidak mengganggu proses kode etik (COC). "Saya memperhatikan AS suka memanfaatkan UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) di setiap kesempatan (isu Laut China Selatan), namun belum bergabung dengan konvensi itu sendiri," katanya. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan kredibilitas AS dalam mengkritik negara lain dengan mengutip UNCLOS. Beberapa negara anggota ASEAN, seperti Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam terlibat sengketa wilayah perairan di Laut China Selatan dengan China. China mengeklaim China Laut Selatan sebagai wilayahnya dengan berpegang pada garis sembilan putus-putus yang bersumber dari sejarah, sedangkan negara-negara ASEAN tersebut memiliki kedaulatan di wilayah itu sesuai dengan prinsip UNCLOS. Mahkamah Arbitrase di Belanda memenangkan gugatan Filipina atas China dalam sengketa wilayah Laut China Selatan, tetapi China tidak mengakui keputusan mahkamah internasional tersebut.

antara

17
May

 

(voinews.id)Biaya pengobatan untuk menyelamatkan jiwa anak-anak yang mengalami kekurangan gizi paling parah akan melonjak hingga 16 persen akibat invasi Rusia ke Ukraina dan gangguan pandemi, menurut Dana AnakAnak Perserikatan BangsaBangsa (UNICEF). Bahan mentah untuk makanan terapeutik siap saji telah melonjak harganya di tengah krisis pangan global yang dipicu oleh perang dan pandemi, kata UNICEF. Menurut UNICEF, tanpa pendanaan lebih lanjut dalam enam bulan ke depan, lebih dari 600.000 anak-anak mungkin kehilangan asupan gizi penting, yang berupa pasta berenergi tinggi yang terbuat dari berbagai bahan, termasuk kacang tanah, minyak, gula, dan nutrisi tambahan. Namun, UNICEF tidak memerinci berapa banyak peningkatan pengeluaran yang diperlukan untuk mempertahankan program pemberian asupan untuk anak-anak malnutrisi. Badan PBB itu mengatakan bahwa sekotak nutrisi khusus yang berisi 150 paket, yang cukup untuk enam hingga delapan minggu untuk merawat anak yang kekurangan gizi parah, rata-rata berharga sekitar 41 dolar AS (sekitar Rp600 ribu). Selain tekanan yang lebih luas pada ketahanan pangan, perubahan iklim dan kenaikan harga juga dapat menyebabkan tingkat kekurangan gizi parah pada anak-anak yang mengarah kepada "bencana", demikian UNICEF memperingatkan dalam sebuah pernyataan. "Dunia dengan cepat menjadi sebuah kotak virtual dengan peningkatan pesat pada kematian anak serta penderitaan yang dialami anak akibat wasting, yang sebenarnya dapat dicegah," kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell. Kasus parah wasting, yaitu ketika anak-anak terlalu kurus untuk tinggi badan mereka, berdampak pada 13,6 juta anak di bawah usia 5 tahun, dan mengakibatkan satu dari lima kematian di antara kelompok usia itu, menurut UNICEF. Bahkan sebelum perang (di Ukraina) dan pandemi, dua dari tiga anak yang mengalami malnutrisi tidak memiliki akses ke makanan terapeutik yang dibutuhkan untuk menyelamatkan hidup mereka, kata UNICEF. Sumber: Reuters

17
May

(voinews.id)Media pemerintah Korea Utara mendorong para penderita COVID-19 untuk menggunakan obat penghilang rasa sakit dan penurun demam seperti ibuprofen, amoksisilin, dan antibiotik lainnya---karena kurangnya vaksin di negara itu.

Media juga merekomendasikan pasien untuk menggunakan ramuan rumahan seperti berkumur air garam, minum teh lonicera japonica atau teh daun willow tiga kali sehari.

"Perawatan tradisional adalah yang terbaik!" kata seorang perempuan kepada media negara ketika suaminya mengatakan bahwa anak-anak mereka berkumur dengan air asin setiap pagi dan malam.

Seorang lansia di Pyongyang mengatakan dia telah dibantu oleh teh jahe dan keberadaan ventilasi kamarnya.

"Saya awalnya takut dengan COVID, tetapi setelah mengikuti saran dokter dan mendapatkan perawatan yang tepat, ternyata bukan masalah besar," ujar dia dalam wawancara yang disiarkan televisi.

Korut adalah satu dari dua negara yang belum memulai vaksinasi COVID-19 dan hingga pekan lalu bersikeras bahwa negaranya bebas virus corona.

Saat ini, dengan para petugas kesehatan memakai hazmat dan masker, Korut memobilisasi pasukan termasuk tentara dan kampanye informasi publik untuk memerangi apa yang diakui pihak berwenang sebagai "ledakan" wabah.

Dalam sebuah wawancara di televisi pemerintah pada Senin, Wakil Menteri Kesehatan Masyarakat Kim Hyong Hun mengatakan negara itu telah beralih dari karantina ke sistem perawatan untuk menangani ratusan ribu kasus dugaan "demam" yang dilaporkan setiap hari.

Ketika kantor berita negara KCNA melaporkan 392.920 kasus demam dan delapan kematian di Korut pada Minggu, pemimpin Kim Jong Un memerintahkan korps medis tentara untuk membantu menstabilkan pasokan obat---terutama di Pyongnyang, yang tampaknya menjadi pusat wabah.

KCNA melaporkan penghitungan kumulatif penderita demam mencapai 1.213.550 orang dengan 50 kematian, tetapi tidak mengatakan berapa banyak infeksi yang dicurigai telah dites positif COVID.

Pihak berwenang mengatakan sebagian besar kematian disebabkan oleh orang-orang yang "ceroboh dalam mengonsumsi obat-obatan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman" tentang varian Omicron dan metode pengobatan yang benar.

Organisasi Kesehatan Dunia telah mengirimkan beberapa peralatan kesehatan dan persediaan lainnya ke Korut, tetapi belum mengatakan rincian obatnya. Negara tetangga China dan Korea Selatan juga menawarkan untuk mengirim bantuan jika Pyongyang meminta.

Meskipun tidak mengklaim bahwa antibiotik dan pengobatan rumahan akan menghilangkan COVID, Korut memiliki sejarah panjang dalam mengembangkan pengobatan yang belum terbukti secara ilmiah, termasuk suntikan yang terbuat dari ginseng yang ditanam dalam unsur tanah jarang yang diklaim dapat menyembuhkan segala penyakit mulai dari AIDS hingga impotensi.

Beberapa berasal dari obat-obatan tradisional, sementara yang lain telah dikembangkan untuk mengimbangi kekurangan obat-obatan modern atau sebagai ekspor "buatan Korea Utara".

Meskipun sejumlah besar dokter terlatih dan pengalaman memobilisasi untuk keadaan darurat kesehatan, sistem medis Korut sangat kekurangan sumber daya, kata para ahli.

Dalam sebuah laporan bulan Maret, seorang penyelidik hak asasi manusia independen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan dia terganggu oleh "kurangnya investasi dalam infrastruktur, tenaga medis, peralatan dan obat-obatan, pasokan listrik yang tidak teratur, serta fasilitas air dan sanitasi yang tidak memadai".

Kim Myeong-Hee (40) yang meninggalkan Korut ke Korsel pada 2003, mengatakan kekurangan seperti itu membuat banyak warga Utara bergantung pada pengobatan rumahan.

"Bahkan kalau kita ke rumah sakit, sebenarnya tidak ada obat-obatan. Listrik juga tidak ada sehingga peralatan medis tidak bisa digunakan," kata dia.

Ketika dia mengidap hepatitis akut, dia berkata bahwa dia diberitahu untuk meminum minari---peterseli air yang dipopulerkan oleh film 2020 dengan nama yang sama---setiap hari dan makan cacing tanah ketika terkena penyakit lain yang tidak diketahui.

Pengobatan rumahan terkadang gagal mencegah hilangnya nyawa selama epidemi pada 1990-an, tambah Kim.

 

antaranews

17
May

(voinews.id)Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengapresiasi penyelenggaraan Tri Suci Waisak 2566 BE bersama di Candi Borobudur oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi).


"Saya menyampaikan apresiasi kepada seluruh umat Buddha di Indonesia bahwa penyelenggaraan pelayanan Tri Suci Waisak 2566 BE bisa dilaksanakan sebagaimana komitmen bersama antara Walubi dan Permabudhi," katanya di sela perayaan Dharmasanti Waisak 2566 BE di Taman Lumbini Kompleks Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin malam.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah akan menghadiri perayaan Waisak jika tidak diselenggarakan bersama-sama.

"Kedatangan saya ini menunjukkan kecintaan dan rasa gembira saya pada hari ini, yang akan menjadi tonggak dan pasti akan dicatat dalam sejarah bahwa umat Buddha Indonesia itu tidak bisa dipecah-pecah," katanya.

Menurut dia, umat Buddha di Indonesia itu pasti bersatu, Walubi dan Permabudhi itu seiring dan sejalan yang memberikan pelajaran kepada semua untuk mengedepankan kebijaksanaan dalam pelayanan yang terbaik bagi umat beragama.

"Saya sampaikan terima kasih kepada segenap panitia dan seluruh umat Buddha yang tetap mematuhi anjuran pemerintah dengan mematuhi protokol kesehatan. Kalau hal ini tidak dipatuhi, pasti akan jauh lebih banyak umat yang akan hadir merayakan Tri Suci Waisak hari ini," katanya.


Ia menuturkan selama dua tahun berturut-turut seluruh peringatan hari besar keagamaan dilaksanakan dengan suasana yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

"Interaksi sesama umat sebagai wujud rasa syukur dan berkah serta rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk saling berkunjung dan bersilaturahim menjadi terbatas, kita bersyukur bahwa pada tahun ini kita semua dapat kembali melakukan praktik sebagai umat beragama untuk menunaikan ibadah dan merayakannya secara terbuka dengan beberapa ketentuan yang harus dipatuhi," katanya.

antara