VOInews, Jakarta: Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pentingnya komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikan konflik Rohingya. Hal itu disampaikannya dalam pertemuan Side Event mengenai Rohingya bertajuk "Have they Forgotten Us? Ensuring Continued Global Solidarity with the Rohingya of Myanmar" di sela-sela High Level Week Sidang Majelis Umum PBB ke-78, Kamis (21/9/2023).
“Nasib masyarakat Rohingya masih belum jelas. Situasi global dan kondisi domestik di Myanmar membuat isu ini semakin kompleks dan sulit. Komitmen politik yang kuat untuk menyelesaikan isu ini adalah niscaya,” katanya dikutip dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Untuk membantu para pengungsi Rohingya, dirinya mendorong adanya solusi politik mengingat isu Rohingya bersifat politis. “Isu Rohingya adalah isu kemanusiaan, tapi sangat politis. Oleh karenanya, satu- satunya jalan keluar untuk Rohingya ini adalah melalui solusi politik," ujar Menlu RI.
Penyelesaian masalah Rohingya harus menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari solusi krisis politik di Myanmar. Menlu menyampaikan bahwa upaya dialog nasional yang inklusif yang didorong oleh ASEAN melalui 5 Point Consensus juga harus mencakup penyelesaian bagi masyarakat Rohingya.
“Repatriasi pengungsi Rohingya harus difasilitasi secara sukarela, aman dan bermartabat,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu dirinya juga menyampaikan komitmen ASEAN untuk terus membantu Rohingya. “ASEAN tidak akan pernah melupakan Rohingya,” katanya.
Lebih lanjut dirinya juga mendorong untuk memastikan tersedianya bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya. Menurutnya, secara umum, masyarakat Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan, namun bantuan untuk Rohingya paling dibutuhkan.
“Saat ini lebih dari 1 juta masyarakat Rohingya terlantar dan menjadi pengungsi, sementara mereka yang tinggal di wilayah Rakhine juga menghadapi situasi yang sangat sulit. Mereka rentan menjadi korban kejahatan terorganisir," ujar Menlu RI.
Terkait hal itu, menurutnya, dukungan internasional terhadap masyarakat Rohingya perlu terus diperkuat. “Saat ini, masyarakat Rohingya menangis dalam senyap. Hanya karena kita tidak bisa mendengar tangisan mereka, kita tidak boleh tinggal diam," tegas Menlu Retno menutup pernyataannya.
Pertemuan Side Event mengenai Rohingya bertajuk "Have they Forgotten Us? Ensuring Continued Global Solidarity with the Rohingya of Myanmar" di sela-sela High Level Week Sidang Majelis Umum PBB ke-78 disponsori bersama oleh Bangladesh, Indonesia, Kanada, Gambia, Malaysia, Türkiye, Inggris dan Amerika Serikat.
VOInews, Jakarta: Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbagi pengalaman Indonesia terkait penanggulangan kejahatan terorisme dan penanganan radikalisasi di Indonesia terutama terkait strategi rehabilitasi dan reintegrasi (R&R) bagi mantan teroris.
Dalam pertemuan Ministerial Plenary Meeting of the Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) ke-13 di sela-sela High Level Week Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Rabu (20/9/2023), ia menyampaikan bahwa ancaman global terorisme terus meningkat dan terus berevolusi.
"Aksi teror semakin beragam; penggunaan propaganda online dan eksploitasi terhadap teknologi baru termasuk drone dan AI juga semakin tinggi," katanya dikutip dari keterangan Kementerian Luar Negeri RI yang diterima di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Retno juga menyampaikan bahwa angka kematian akibat terorisme dalam 5 tahun terakhir dilaporkan meningkat. "Bagi Indonesia, rehabilitasi dan reintegrasi (R &R) harus mencakup semua aspek, tidak hanya terbatas pada mantan narapidana teroris, tetapi juga harus memperkuat ketahanan masyarakat dan lingkungan yang menerima mereka," tambahnya.
Untuk itu, dirinya menyampaikan sejumlah upaya yang dilakukan oleh Indonesia terkait rehabilitasi dan reintegrasi para mantan teroris. "Pertama, mengedepankan pendekatan whole-of-government and whole-of-society, sebagaimana dimandatkan dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme," katanya.
Menlu menjelaskan, pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya peran dan dukungan yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, upaya ini juga menggabungkan pendekatan keras dan lembut, pelibatan masyarakat dan kerja sama internasional.
“It takes a village, to turn an extremist idea into a peaceful one (mengubah pemikiran ekstremisme menjadi pemikiran yang damai memerlukan dukungan semua pihak)," ucap Retno.
Upaya lain yang juga dilakukan oleh Indonesia adalah memastikan kemajuan teknologi dan riset, agar tidak disalahgunakan. Menurut Menlu Retno, teknologi yang berkembang sangat cepat dapat memberi ruang bagi berkembangnya ide-ide ekstremisme.
“Kita harus tetap waspada," ujar Menlu.
Ia menambahkan, terkait hal ini, Indonesia telah meluncurkan Pusat Pengetahuan Indonesia (I-KHub). Langkah ini dilakukan untuk mengintegrasikan sistem data dan mendukung pengambilan keputusan berbasis penelitian dalam upaya memerangi ekstremisme, sekaligus memastikan keamanan negara.
Upaya lain yang tak kalah penting adalah terus memastikan lingkungan yang aman untuk menangkal ekstremisme. Menurut Retno, hal ini termasuk melalui program pendidikan bagi perempuan dan anak.
“Karena pemikiran ekstremis hanya dapat tumbuh di tempat yang dipenuhi dengan kebencian," ujar Menlu.
Sebagai penutup, Menlu Retno menyampaikan harapannya agar negara-negara GCTF berkomitmen kuat untuk memastikan implementasi yang inklusif dari strategi R & R ini.
GCTF merupakan forum utama di luar kerangka PBB yang membahas upaya kerja sama dan pertukaran informasi global dalam isu penanggulangan terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan. Menlu Retno hadir dalam kapasitasnya sebagai Co- Chair Countering Violent Extremism (CVE) Working Group (WG), di mana Indonesia telah menjabat sejak tahun 2017 bersama Australia.
VOInews, Jakarta: Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pentingnya menjadikan reformasi kerja sama multilateralisme sebagai agenda utama untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pandangan itu ia sampaikan sebagai pelajaran penting yang didapatkan setelah Indonesia menjadi Presidensi G20 dan Ketua ASEAN
"Bagi negara berkembang, multilateralisme harus bisa membawa hasil nyata; multilaterasme harus inklusif dan harus setara. Jika multilateralisme tidak berjalan, akan sulit mencapai SDGs," ujar Menlu Retno kepada peserta pertemuan Ministerial Meeting of the Global Governance Group (3GMM) di New York, AS, Rabu (20/9/2023), seperti dikutip dari keterangan Kementerian Luar Negeri RI.
Hal lain yang juga didorong oleh Menlu Retno adalah penguatan solidaritas bersama. Menurutnya, tanpa solidaritas SDGs tidak akan tercapai pada 2030.
"Oleh karena itu, penting bagi semua negara untuk mendorong isu solidaritas di berbagai platform internasional dan multilateral," katanya.
Lebih lanjut Menlu Retno mengatakan, salah satu pesan penting dari KTT ke-43 ASEAN dan KTT G20 adalah bahwa negara-negara Global South terbukti dapat menavigasi situasi sulit dan menjembatani perbedaan.
"Ini antara lain dibuktikan oleh Indonesia, pada saat presidensi G20 tahun lalu dan keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini, dapat menjembatani berbagai perbedaan dan kepentingan negara-negara," katanya.
Meski banyak perbedaan, namun Retno menyimpulkan dari penyelenggaraan dua KTT tersebut, masih ada semangat untuk bekerja sama. “Dan semangat ini harus terus dikapitaliasi," katanya.
Dirinya pun mendorong pentingnya mengarusutamakan SDGs di semua platform. “Kebijakan dagang yang diskriminatif harus dihindari. Hak membangun bagi semua negara harus dihormati," katanya.
Dengan pencapaian SDGs yang masih sangat jauh dari target, sebagaimana dilaporkan di KTT SDGs beberapa hari lalu, menurutnya, negara harus terus memperkuat kerja sama dan kolaborasi untuk bisa mencapai SDGs. “Dibutuhkan sinergi yang lebih baik untuk memastikan hasil yang berorientasi pada solusi," ucap Menlu Retno di penghujung pidatonya.
Global Governance Group (3G) adalah group 30 negara kecil dan menengah, anggota G20 dan anggota PBB lain. Pertemuan 3GMM diselenggarakan secara rutin setiap tahun di sela Sidanh Majelis Umum PBB dengan tujuan memperkuat jaringan dan mendorong dialog antar negara-negara anggotanya. Pertemuan 3GMM kali ini mengangkat tema 'Penguatan Multilateralisme untuk Mencapai SDGs'.
Menlu Retno hadir di 3GMM sebagai bagian dari Troika G20. Ini adalah kali kedua Menlu Retno menghadiri pertemuan 3GMM setelah tahun lalu hadir pada saat Indonesia memegang presidensi G20. Pertemuan tahun ini diselenggarakan oleh Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan.
VOInews, Jakarta: Kekaguman dunia terhadap karya Raja Bhumibol Adulyadej dirasakan pada Indonesian Cultural Night, yang digelar KBRI Bangkok di Ganesha Theatre, salah satu teater terbaik di Bangkok, Minggu (17/9/2023). Mendiang Raja Bhumibol Adulyadej, Raja Thailand yang bertakhta pada 1946-2016, selain dikenal sebagai figur pemersatu bangsa, juga terkenal sebagai sosok yang sangat berbakat di bidang musik.
“Kecintaannya terhadap musik, khususnya musik jazz dan blues, dituangkan dalam sejumlah karya lagu yang populer secara internasional,” tulis KBRI Bangkok dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (28/9/2023).
Selain memperkenalkan budaya Indonesia, Indonesian Cultural Night juga menampilkan kolaborasi musik Indonesia-Thailand melalui dua lagu yang dibawakan oleh ‘The Ambassador and His Gang’ Band.
Band tersebut beranggotakan Duta Besar RI, Rachmat Budiman, Pegawai Setempat KBRI Bangkok, Sari Suharyo sebagai penyanyi, serta mahasiswa Chulalongkorn University sebagai pengiring lagu. Dua lagu yang dibawakan yaitu Tapisah 2, yang merupakan lagu dari Maluku, serta lagu yang diciptakan oleh Raja Bhumibol Adulyajed, berjudul ‘Yarm Yen’.
Secara harfiah, ‘Yarm Yen’ berarti ‘in the evening’. Namun lagu tersebut lebih dikenal dunia dengan judul ‘Love at Sundown’.
Lagu ini diciptakan pada tahun 1946, bertepatan dengan tahun pertama mendiang Raja Bhumibol Adulyadej bertakhta. “Lagu bercerita tentang suasana indah dan romantis saat matahari tenggelam di pantai, yang dinikmati oleh sepasang kekasih,” tulis KBRI.
Saat dirilis pertama kali, ‘Love at Sundown’ langsung mencetak hits dan digemari masyarakat luas. Lagu tersebut semakin populer saat dijadikan sebagai soundtrack sebuah film Thailand berjudul ‘The Gift from the Sky”, yang tayang di Netflix pada tahun 2016.
Suasana ceria terasa saat ‘The Ambassador and His Gang’ membawakan ‘Yarm Yen’ (Love at Sundown). Hadirin yang menyaksikan acara Indonesian Cultural Night semalam terhanyut dalam alunan musik yang menyatukan rasa hati hadirin yang terdiri dari berbagai bangsa.
Alunan musik dari mahasiswa Chulalongkorn University juga menambah kemegahan penampilan. Penonton dibawa kembali untuk mengenang mendiang Sang Raja yang sangat dicintai rakyatnya.
“Kolaborasi musik Indonesia-Thailand tersebut seolah menegaskan bahwa legacy dan maha karya mendiang Raja Bhumibol Adulyadej sebagai sosok pemersatu sekaligus pecinta musik akan tetap abadi sepanjang masa,” tulis KBRI Bangkok.
Acara Indonesian Cultural Night digelar untuk lebih meningkatkan pemahaman publik Thailand mengenai kekayaan budaya Indonesia. Dalam sambutannya, Duta Besar Rachmat Budiman menyampaikan bahwa kegiatan diharapkan dapat memperkuat people-to-people contact antara Indonesia dengan Thailand dan warga negara asing lainnya.
“Sekaligus menciptakan peluang kerja sama antara warga kedua negara,” kata Dubes Rachmat.
Acara dihadiri oleh sejumlah tamu kehormatan, khususnya Ketua Parlemen Thailand, Wan Muhamad Noor Matha. Bupati Bandung, Dadang Supriatna juga turut hadir secara langsung mendampingi tim penampil dari Kabupaten Bandung. Acara juga dihadiri oleh kalangan pejabat pemerintahan, korps diplomatik, pecinta seni, media dan masyarakat umum.
Selain kolaborasi musik Indonesia-Thailand oleh ‘The Ambassador and His Gang’, acara tersebut juga menampilkan pertunjukan musik dan sendra tari dari Indonesia, yaitu ‘Rasa Sayange’ oleh Sekolah Indonesia di Bangkok, Tari ‘Bambangan Cakil’ oleh Darwanto (seorang Pegawai Setempat KBRI Bangkok) dan Oky Bima Reza Afrita (seorang diaspora Indonesia di Bangkok), Tari Mutiara Nusantara oleh Universitas Negeri Yogyakarta, Tari Citrolangenan oleh Universitas Negeri Surabaya, dan Tari Ratoh Jaroe oleh Universitas Islam Indonesia. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Bandung membawakan dua penampilan, yaitu Tari Jaipong dan Rampak Kendang. Acara ditutup dengan meriah oleh seni tari Reog Ponorogo, yang dibawakan Universitas Brawijaya.