Belum hilang ketakutan masyarakat dunia terhadap aksi penembakan di Christchurch, Selandia Baru, aksi yang sama walau tidak memakan banyak korban kembali terjadi di Utrecht, Belanda , Senin 18 Maret. Aksi kekerasan yang menewaskan sekitar 3 orang dan 9 luka luka dengan 3 diantaranya dalam kondisi serius. Pelaku yang berketurunan Turki dengan paspor ganda tersebut berhasil ditangkap Polisi sekitar 8 jam setelah melakukan aksi di sebuah moda transportasi Trem.
Aksi di Kota Utrecht dan Christchurch ada persamaan yaitu sama-sama menggunakan senjata api dalam melakukan aksinya serta sama- sama menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Namun yang membedakannya adalah yang satu dilakukan di sarana Transportasi umum yang satu lagi di rumah ibadah. Di Selandia Baru, Otoritas tertinggi telah menyatakan bahwa aksi imigran asal Australia tersebut merupakan aksi terrorisme. Sedangkan di Belanda, Otoritas masih mengesampingkan hal itu sebagai aksi bukan terorisme. Menurut Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, seperti yang dikutip dari BBC, banyak pertanyaan dan rumor. Masih belum jelas motif di balik serangan bersenjata di Utrecht, teroris atau yang lain, masih dalam penyelidikan meski juga tidak bisa mengesampingkan ada motif lain yang melatarbelakangi aksi tersebut
Sementara itu, Presiden Turki Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa badan-badan intelijen Turki tengah menyelidiki penembakan tersebut untuk memastikan apakah itu serangan teror atau terkait perselisihan keluarga. Menurut sebuah sumber yang dikutip dari The Telegraphe, Gorkmen Tanis sang pelaku penembakan, mempunyai banyak catatan kriminalitas di negeri Belanda. Sedangkan menurut sebuah sumber dari BBC, pelaku pernah bergabung dengan kelompok bersenjata di Chechnya.
Terlepas masalah aksi penembakan tersebut, apakah dikategorikan terorisme atau aksi kekerasan kriminalitas semata, ini permasalahan adalah peredaran senjata api yang kian marak di masyarakat. Tidak dipungkiri mudahnya akses memperoleh senjata api illegal baik dari pasar gelap maupun situs-situs online. Mereka memiliki senjata api dengan berbagai alasan salah satunya adalah untuk membela diri dari situasi kondisi yang semakin tidak nyaman. Walau di beberapa negara diperbolehkan sipil memiliki senjata dengan persyaratan yang ketat. Namun apapun yang terjadi keberadaan senjata api adalah berbahaya dan diperlukan kepribadian yang kuat dan bertanggung jawab jika memiliki senjata api. Karena jika berada di tempat yang salah dan dimiliki orang yang bermasalah akan menjadi sangat berbahaya. Kita juga dapat melihat bahwa regulasi negara seperti di Selandia Baru dan Belanda bahkan di negara negara Eropa serta Amerika Serikat yang sudah menerapkan serta seleksi ketat bagi pemilik senjata api masih bisa “kecolongan” , bagaimana dengan di negara negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Uni Eropa telah lama mendiskriminasi minyak sawit atau yang lebih dikenal dengan CPO dan produk turunannya, karena dituding masuk kategori bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan. Kini tekanan mereka bertambah dengan menyasar pada CPO dan produk turunannya untuk kategori makanan dan minuman. Uni Eropa telah membuat studi mengenai bahaya kandungan minyak sawit dalam makanan bagi kesehatan. Studi ini telah disampaikan ke Badan Makanan dan Pertanian FAO milik PBB. Apabila disetujui FAO, kemungkinan besar peredaran produk makanan yang mengandung sawit di dunia akan semakin dipersulit. Padahal, mayoritas ekspor produk turunan CPO asal Indonesia digunakan sebagai campuran bahan makanan.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun khawatir, apabila FAO menyetujui penelitian yang diajukan Uni Eropa, dampaknya akan lebih masif dibandingkan dengan kebijakan diskriminasi Uni Eropa terhadap CPO untuk sektor energi.
Kekhawatirannya sangat beralasan. Sepanjang 2018 saja total volume ekspor produk turunan CPO Indonesia mencapai 28,14 juta ton. Lebih dari 80 persennya digunakan untuk campuran bahan makanan. Dari tahun ke tahun permintaan dunia akan produk CPO untuk campuran makanan terus meningkat. Bahkan eksportir produk olahan CPO tengah menyasar pasar baru, antara lain Afrika dan Timur Tengah. Bila CPO dan produk turunannya dilarang sebagai bahan campuran makanan di seluruh dunia, maka akan berdampak pada kinerja ekspor non migas nasional. Sebab CPO masih menjadi andalan ekspor non migas Indonesia. Dampaknya dirasakan tidak hanya oleh produsen CPO melainkan juga produsen makanan dan minuman dengan campuran CPO.
Menghadapai situasi ini Indonesia dan produsen CPO lainnya tidak akan dapat menempuh jalur gugatan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena ranahnya sudah masuk ke mandatori dunia. Hasil penelitian harus dilawan dengan hasil penelitian. Indonesia dan Malaysia, sebagai produsen CPO terbesar dunia sudah membentuk studi dan penelitian sendiri. Targetnya, penelitian ini selesai pertengahan tahun ini dan segera dipublikaskan ke jurnal internasional.
Dalam studi Uni Eropa disebut CPO memiliki kontaminasi karsinogen jauh di atas 4 mikrogram per kilogram makanan atau batas yang diizinkan untuk manusia. Sedangkan minyak nabati lain digolongkan dalam level rendah. Kini tugas produsen CPO seperti Indonesia untuk membuktikan bahwa dengan teknologi terbaru, sebenarnya Indonesia dapat memproduksi CPO yang keamanannya setara dengan minyak nabati lain. Indonesia tidak boleh terlambat dalam menangkal serangan Uni Eropa. Jika terlambat, keamanan ekonomi nasional menjadi taruhannya.
Kementerian Perhubungan Indonesia memastikan, saat ini maskapai di Indoneisia yang menggunakan Boeing 737 MAX 8, yakni Garuda Indonesia dan Lion Air, sudah memberikan sikap terhadap penggunaan pesawat jenis tersebut. Kedua maskapai menunda pengiriman pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 yang sudah dipesan sebelumnya. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, Hengki Angkasawan, seperti dikutip Republika, Kamis (21/3) mengatakan, penundaan pengiriman pesawat Boeing 737 MAX 8 yang dipesan Lion Air dan Garuda Indonesia dilakukan hingga terdapat kejelasan terkait kecelakaan yang terjadi beberapa waktu terakhir. republika