Palang Merah Indonesia (PMI) berikan bantuan dalam rangka penanganan COVID-19 kepada Palang Merah Timor- Leste (Cruz Vermelha de Timor-Leste/CVTL) untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama antara institusi Bantuan berupa logistik kesehatan tersebut telah tiba di perbatasan Indonesia-Timor Leste pada Rabu (03/06/2020) Kerja sama antara kedua institusi sudah terjalin erat selama bertahun-tahun Kali ini, PMI kembali memberikan bantuan alat-alat perlindungan diri kepada Palang Merah Timor- Leste berupa 500 masker, 500 alat pelindung diri , 500 kaca mata, 500 face shield, 10 ribu kantong desinfektan, 10 buah sprayer dan 10 buah thermometer. Bantuan itu ditujukan untuk membantu para relawan dan staf yang bertugas di 13 distrik di Timor Leste dalam melakukan penanganan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai upaya-upaya pencegahan COVID-19
Seperti dilansir laman kemlu.go.id (05/6) Duta Besar Republlik Indonesia untuk Timor Leste, Sahat Sitorus menyatakan, bahwa sebagai bentuk cinta kasih dan perhatian kepada rakyat Timor-Leste, PMI menyerahkan bantuan kepada CVTL berupa logistik kesehatan seberat kurang lebih 4 ton PMI sebagai saudara tua CVTL, meskipun sebenarnya juga mengalami persoalan yang sama, yakni kekurangan logistik untuk penanganan wabah Covid-19, memiliki komitmen untuk saling membantu, apalagi sebagai negara bertetangga dan bersaudara
Duta Besar Republlik Indonesia menyampaikan harapan agar kerja sama antara kedua lembaga, PMI dan CVTL dapat terus berlanjut dan ditingkatkan pada masa mendatang. Pada kesempatan itu, ia juga mengucapkan terima kasih dan selamat kepada seluruh dokter, perawat, tim penanganan pandemi COVID-19, dan semua pihak terkait atas seluruh upaya yang dicurahkan. Sehingga Timor-Leste sejak 15 Mei 2020 tidak terdapat lagi kasus positif COVID-19. Duta Besar menyerukan ajakan untuk bersama-sama melawan Covid-19 dengan mengikuti protokol kesehatan yang telah dianjurkan oleh Kementerian kesehatan dan WHO.
Pemerintah Indonesia harus menutup aktivitas belajar mengajar di sekolah atau perguruan tinggi, dan memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh guna mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Selama ini, model pembelajaran di sekolah-sekolah identik dengan tatap muka dan interaksi fisik antara guru dan murid.
Menurut survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Indonesia (KPAI), sebagian besar sekolah di Indonesia mengalami masalah atau kendala dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh. Banyak murid tidak memiliki akses internet untuk mengikuti pembelajaran secara online. Dampaknya, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat pembelajaran yang layak. Berdasarkan pengaduan murid secara online yang diterima Komisi Perlindungan Indonesia (KPAI), 76,7 persen menyatakan tidak suka belajar dari rumah.
Walaupun menemui kendala, perlu diakui bahwa ada beberapa aspek positif yang dapat dipetik dan patut dilanjutkan dari pembelajaran jarak jauh selama pandemi ini.
Pertama, peran guru tidak dominan selama pembelajaran jarak jauh. Dalam proses belajar tatap muka di ruang kelas, yang masih menjadi tren sampai saat ini, peran guru atau pendidik relatif dominan. Guru mengajar dan murid mendengar. Sedangkan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19, peran guru atau pendidik tidaklah dominan. Peran guru ke depan hendaknya seperti ini, tidak dominan. Guru harus lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu murid untuk berkembang.
Kedua, kerjasama antara pihak sekolah, guru dan orangtua dapat terbangun dengan baik. Padahal selama ini, kerjasama yang baik antara sekolah, guru dan orangtua tidak tampak. Pengalaman kerjasama yang baik antara guru dan orangtua selama pembelajaran jarak jauh ini mengingatkan semua pihak bahwa persoalan pendidikan bukan hanya tanggung-jawab satu pihak, akan tetapi semua pemangku kepentingan.
Ketiga, penguasaan teknologi dalam pembelajaran menjadi keharusan. Dewasa ini dan kedepan, teknologi tetap menjadi peluang utama untuk menemukan cara-cara kreatif, efektif dan efisien dalam proses belajar dan mengajar. Untuk itu, pembelajaran jarak jauh harus menjadi perhatian serius bagi seluruh stakeholder kedepan.
Belum selesai mengatasi pandemi Virus Corona, Korea Selatan dihadapkan dengan ancaman baru negara tetangga terdekatnya, Korea Utara. Pemerintah Korea Utara menyatakan akan memutus hubungan komunikasinya dengan Korea Selatan. Kantor berita resmi Korea Utara, Korean Central News Agency, KCNA, memberitakan bahwa hal itu mulai dilaksanakan hari ini, Selasa 10 Juni waktu setempat.
Menurut KCNA keputusan pemerintah di Pyong Yang itu berupa pemutusan semua saluran komunikasi dengan Korea Selatan. Dan yang terpenting adalah pemutusan hubungan telepon langsung atau hotline, antara pemimpin kedua negara. Pemutusan hubungan komunikasi itu dapat dengan mudah dilakukan karena setiap panggilan yang masuk dari Korea Selatan harus melalui kantor penghubung di kota Kaesong di perbatasan Korea Utara. Kantor penghubung komunikasi di Kaesong didirikan atas kesepakatan kedua negara pada tahun 2018 sebagai hasil konferensi tingkat tinggi kedua negara, dengan tujuan mengurangi ketegangan hubungan. Sejak saat itu kedua pemerintahan dapat melakukan hubungan komunikasi dua kali dalam sehari.
Sebagaimana di klaim oleh pemerintah Pyongnya pemutusan hubungan komunikasi itu adalah merupakan yang pertama dilakukan dari serangkaian aksi yang akan dilakukan terhadap Korea Selatan. Pemerintah Korea Utara dalam boikot komunikasi ini menyebut negara tetangga yang sama-sama bangsa Korea itu sebagai musuh. Ketetapan pemutusan hubungan komunikasi itu dilakukan Korea Utara karena gusar akibat adanya balon-balon udara yang diterbangkan dari Korea Selatan dan ditujukan untuk rakyat Korea Utara. Balon udara itu disertai tulisan atau pesan-pesan yang ditengarai berbau propaganda dan kadangkala juga makanan. Tujuannya konon, untuk menggoda rakyat Korea Utara agar membaca pesan atau mengambil makanannya.
Bisa jadi ada saja warga Korea Utara yang mengambilnya secara diam diam untuk memenuhi keingin tahuan mengenai berita dunia luar atau mengetahui keadaan saudaranya di Korea Selatan. Selama ini pemerintah Komunis Korea Utara melarang rakyatnya berhubungan dengan dunia luar dan mendengar, melihat atau mengetahui berita berita dari luar negeri.
Bagi rakyat Korea Utara, Keputusan Pemerintah untuk mengakhiri hubungan komunikasi dengan Korea Selatan tidaklah terlalu penting, karena sangat boleh jadi merekapun tidak mengetahui berita itu. Pun mereka selama ini memang tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Walaupun demikian, langkah penguasa Korea Utara tersebut, selain menunjukkan kekuasaannya, dapat mempengaruhi hubungan yang sudah mulai terjalin dengan Korea Selatan. Tentunya ini akan berdampak pada upaya upaya rekonsiliasi antara kedua negara yang meski sebangsa, terpisah akibat perang Korea serta perbedaan idelogi politik.
Senin, 8 Juni adalah hari pertama Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya memasuki masa transisi menuju Kenormalan Baru. Ini ditunjukkan dengan dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar -PSBB. Mulai Senin, beberapa sektor perekonomian sudah mulai diizinkan untuk melakukan kegiatan seperti perkantoran, pertokoan, perindustrian, ataupun pergudangan. Transportasi umum seperti ojek online sudah diizinkan beroperasi. Commuter Line juga sudah menambah jumlah perjalanan kereta. Lalu lintas di beberapa ruas jalan protokol dan tol dalam kota Jakarta padat, bahkan ada kemacetan disana-sini. Pasar-pasar kembali bergairah dengan transaksi jual beli.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meminta warga Jakarta atau warga yang tinggal di luar Jakarta tetapi berkegiatan di Jakarta untuk tetap waspada dalam menjalankan aktivitas di beberapa sektor perekonomian yang mulai dibuka Senin. Pasalnya, menurut Gubernur Anies, Jakarta belum bebas dari Covid-19 dan potensi penularan tetap ada. Lebih lanjut, dia meminta pengelola tempat kegiatan untuk mematuhi prinsip 50 persen kapasitas. Menurut dia, hal tersebut tidak boleh dilonggarkan karena setiap pelonggaran mempunyai risiko penularan yang terlalu besar.
Keberhasilan pencegahan penularan pandemi Covid-19 pada masa transisi bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah setempat, tetapi juga kepatuhan dan kedisiplinan warga. Baik pemerintah pusat maupun daerah telah berupaya keras menerapkan kebijakan-kebijakan untuk menutup peluang penyebaran Covid-19. Diharapkan kesadaran warga untuk menaati aturan yang telah dibuat. Persoalannya bukan terletak pada sanksi atau hukuman yang bakal diterima jika melanggar. Warga harus memikirkan persoalan yang jauh lebih penting, yaitu keselamatan, bukan saja diri sendiri, tetapi juga orang-orang di sekeliling, orang-orang yang mereka kasihi.
Masa transisi ini tepat dijadikan masa pembiasaan diri untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat di tempat umum. Sehingga ke depan, seluruh warga dapat merasakan kondisi yang aman, sehat dan produktif.