Isu ketersediaan pangan di dalam negeri belakangan menjadi isu serius, seiring dengan ketidakpastian berakhirnya masa pandemi Covid-19. Apalagi, saat ini, bangsa Indonesia merayakan Ramadan dan Idul Fitri 1441 Hijriyah dimana kebutuhan masyarakat akan bahan pokok semakin tinggi.
Presiden Joko Widodo saat membuka rapat terbatas melalui video conference di Jakarta, Selasa (28/4) mencatat bahwa terdapat defisit kebutuhan pokok di berbagai daerah di Indonesia. Defisit bahan pokok terbesar adalah komoditas gula pasir dan bawang putih. Dia juga mengatakan bahwa saat ini, stok gula mengalami defisit di 30 provinsi Indonesia. Komoditas lain yang mengalami deficit adalah telur ayam di 22 provinsi, beras di tujuh provinsi, dan jagung di 11 provinsi.
Otoritas pangan dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mencari solusi agar kondisi kelangkaan pangan ini tidak berlangsung lama.
Dalam kondisi seperti saat ini tentu tidak mudah bagi Indonesia untuk impor pangan. Banyak negara produsen bahan pangan langsung membatasi atau bahkan menutup pasar ekspor komoditi tertentu untuk memastikan agar stok dalam negerinya tercukupi. Negara produsen gandum terbesar di dunia seperti Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina, terang-terangan mengumumkan pembatasan ekspor biji gandum. Sama halnya dengan beras, Vietnam, Thailand, meskipun selama ini disebut sebagai lumbung beras di Asia Tenggara tetap mengamankan pasokan untuk dalam negerinya.
Pemerintah harus memastikan produksi pangan pokok berjalan dengan baik dan pasokannya aman selama pandemi Covid-19 ini. Dari beragam solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yang paling penting dan mendesak adalah memberikan insentif kepada petani.
Keputusan pemerintahan Joko Widodo memberikan insentif sebesar senilai Rp 600.000 per bulan kepada petani sangat tepat dalam kondisi saat ini agar petani tetap dapat menggenjot produksi pangan di tengah pandemi Covid-19.
Insentif yang telah diluncurkan oleh pemerintah menyemangati para petani untuk tetap menjaga kinerja produktivitasnya sehingga ketersediaan pangan di dalam negeri tetap terjamin.
Selain bantuan langsung tunai, Pemerintah harus juga membeli produk pangan petani. Hal seperti ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture -USDA). Baru-baru ini, USDA seperti dikutip dari https://www.usda.gov, mengalokasikan anggaran senilai US$19 miliar (sekitar Rp300 triliun) untuk bantuan langsung kepada petani dan peternak dan pembelian produk pangan petani. Pihak USDA juga membantu membeli buah, sayur, daging, susu, dan lain-lain dari petani, lalu membantu proses pengepakan dan penyaluran produk pangan tersebut ke titik-titik distribusi pangan (food banks).
Perang bersama terhadap Corona Convid 19 rupanya tidak menghentikan perang urat syaraf antara Amerika Serikat dengan Iran. Penderitaan akibat pandemi virus tersebut sama sekali tidak menghentikan perseteruan diplomatik. Ketika kedua negara tengah berusaha mengatasi pandemi Corona, mereka masih saja berupaya saling melakukan tekanan, setidaknya dalam bentuk kata-kata. Baik menteri Luar Negeri Amerika Serikat maupun Iran sama-sama melemparkan wacana yang mengisyaratkan belum meredanya ketegangan hubungan diplomatik dan perseteruan kedua pemerintahan.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo diberitakan sedang mempersiapkan argumen bahwa negaranya masih menjadi anggota JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) yaitu sebuah perjanjian mengenai program nuklir Iran yang disepakati di kota Wina pada 14 Juli 2015 oleh Iran, P5+1 (lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman), dan Uni Eropa. Pernyataan Pompeo itu akan dapat menjadi cara untuk mendesak Dewan Keamanan PBB agar memperpanjang embargo senjata kepada Iran. Selain itu keberadaan Washington dalam JCPOA juga dapat menjadi dasar pengajuan usul kepada Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Iran.
Masalahnya, Amerika Serikat sejak 2018 telah menyatakan keluar dari JCPOA. Keputusan yang diambil oleh Presiden Donald Trump itu mengakhiri kesepakatan yang digagas dan dicanangkan mantan Presiden Barack Obama. Keluarnya Washington saat itu telah memperburuk hubungannya dengan Iran. Namun dengan keluar dari perjanjian, Donald Trump dapat memutuskan untuk menjatuhkan sanksi sanksi kepada Iran.
Langkah Amerika Serikat yang kini dilakukan Menteri Luar Negerinya adalah strategi untuk menekan DK PBB. Namun klaim masih menjadi anggota JCPOA, menyulut tanggapan sinis dari Menteri Luar Negeri Iran Mohammed Javad Sharif. Melalui cuitan twitter yang dikutip dan diberitakan kantor berita AFP Sharif menyatakan tekanan apapun dari Amerika Serikat tidak akan membuat Iran menyerah. Menlu Iran itu juga mengingatkan bahwa Amerika Serikat telah keluar dari kesepakatan nuklir dua tahun lalu.
Keteguhan Iran memang sudah terbukti. Tekanan tekanan Amerika Serikat yang diwujudkan dengan pemberlakuan sejumlah sanksi tetap saja tidak melemahkan Iran. Kesulitan ekonomi yang sempat disertai dengan gerakan unjuk rasa di hampir seantero Iran pun tidak mengakibatkan pemerintah Teheran menyerah pada tekanan Washington.
Tampaknya, sampai kelak saat CONVID 19 berakhir, perseteruan dan ketegangan antara pemerintahan Amerika Serikat dan Iran belum juga akan usai. Dunia masih akan menyaksikan drama ketegangan diplomatik di antara keduanya.
India menyatakan penerapan karatina di seluruh negeri lima pekan lalu berhasil menahan penularan virus corona. India pun berencana melonggarkan sejumlah pembatasan. Pada Kamis (30/4), Kementerian Dalam mengeluar pernyataan yang mengatakan pemerintah Inida mungkin akan melonggarkan beberapa distrik.
Setelah kebijakan karantina nasional akan ditinjau pada Minggu (3/5). Sejauh ini, India sudah melaporkan 33.050 kasus infeksi dan 1.074 kasus kematian. Pada Rabu (29/4), pemerintah india mengizinkan pekerja migran, peziarah, wisatawan, mahasiswa dan kelompok lain yang terjebak di suatu tempat untuk melanjutkan perjalanan mereka. (republika)
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah pusat menunda rencana kedatangan 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok ke Sulawesi Tenggara yang diajukan oleh pihak perusahaan di Morosi, Konawe dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Bambang dalam keterangannya di Jakarta, Kamis mengatakan, permintaannya agar pemerintah pusat menunda kedatangan 500 TKA asal Tiongkok itu karena bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah dalam memutus penyebaran COVID-19, mengingat kewenangan kedatangan TKA berada di pusat. Menurut dia, pemerintah pusat juga perlu meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terus mengawasi pintu masuk perbatasan, khususnya perusahaan modal asing di wilayah Sulawesi Tenggara yang mempekerjakan tenaga kerja asing. (antara)