VOInews.id- Pakistan pada Senin membuka tiga penyeberangan lintas batas baru untuk mempercepat pemulangan warga Afghanistan tanpa dokumen yang telah diperintahkan untuk keluar atau dikeluarkan secara paksa. Banyak warga Afghanistan memilih pulang secara sukarela untuk menghindari deportasi di bawah tekanan pemerintah Pakistan untuk mengusir migran tanpa dokumen. Langkah yang diambil Pakistan itu memengaruhi lebih dari satu juta warga Afghanistan, yang banyak di antaranya terlibat dalam serangan militan dan kejahatan, menurut Islamabad. Tudingan itu disangkal oleh Kabul. Penyeberangan lintas batas yang baru itu dibuka di perbatasan dengan Afghanistan di Provinsi Balochistan, Pakistan barat daya, sebagai tambahan bagi penyeberangan utama di Distrik Chaman, kata Jan Achakzai, menteri informasi sementara untuk pemerintah provinsi.
Penyeberangan utama itu telah kewalahan menangani pengungsi Afghanistan yang hendak pulang secara sukarela, katanya. Lebih dari 280.000 warga Afghanistan telah meninggalkan Pakistan sejak kebijakan baru itu diumumkan pada awal Oktober, menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Pakistan telah memulai operasi penangkapan setelah tenggat waktu untuk kepulangan secara sukarela habis pada 1 November. Pakistan sejauh ini telah menolak seruan PBB, kelompok-kelompok HAM dan kedutaan-kedutaan negara Barat untuk mempertimbangkan kembali rencana pemulangan atau melakukan identifikasi dan melindungi warga Afghanistan yang berisiko mengalami persekusi di tanah airnya.
Kabul juga telah meminta Islamabad untuk memberikan waktu yang cukup bagi warga Afghanistan untuk meninggalkan Pakistan. Pengusiran itu telah membuat hubungan antara kedua negara meregang. Islamabad mengulangi klaim mereka bahwa kelompok militan membuat perencanaan di Afghanistan dan melakukan serangan di Pakistan. Kabul menyatakan keamanan Pakistan adalah masalah domestik. Migrasi massal itu juga memicu kekhawatiran terhadap krisis kemanusiaan ketika Afghanistan berjuang menangani ratusan ribu orang yang datang dan tinggal di tenda-tenda darurat di sisi perbatasan mereka di awal musim dingin.
Sumber: Reuters
VOInews.id- Jerman menolak seruan gencatan senjata di Gaza dan menegaskan kembali dukungannya terhadap operasi militer Israel yang merenggut lebih dari 11.000 nyawa warga Palestina, yang banyak di antaranya adalah anak-anak. Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengungkapkan keraguannya pada gencatan senjata. Dia beralasan bahwa tidak jelas bagaimana gencatan senjata dapat dinegosiasikan, dapat membantu membebaskan para sandera, dan menjamin keselamatan Israel.
“Saya benar-benar memahami situasi yang mengerikan ini, di mana anak-anak, perempuan, ibu, keluarga yang tidak bersalah tidak hanya sangat menderita, tetapi mereka juga sekarat. Namun, dorongan saja tidak cukup untuk membantu masyarakat benar-benar menjamin keamanan dan perdamaian,” kata dia kepada wartawan di Brussels. Alih-alih gencatan senjata, Baerbock dan pemerintah negara-negara Eropa lainnya cenderung mendukung jeda kemanusiaan yang sifatnya sementara dan terbatas secara geografis di Gaza, agar bantuan bisa disalurkan kepada warga sipil.
Sejak konflik antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina, Hamas, meletus bulan lalu, pemerintah Jerman berulang kali mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri, dan Berlin akan tetap mendukung Israel. Jerman mengatakan mereka memikul tanggung jawab historis atas keamanan Israel karena masa lalu Nazi dan kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II. Namun, para kritikus menuduh pemerintah Jerman menerapkan standar ganda dengan fakta bahwa Jerman memperjuangkan hak asasi manusia dan mendukung Ukraina melawan Rusia, tetapi kini mereka menutup mata terhadap kejahatan perang militer Israel di Gaza.
Sumber: Anadolu
Voinews. Id-Kelompok perlawanan Palestina Hamas pada Minggu mendesak PBB dan komunitas internasional untuk secepatnya mengintervensi agar bahan bakar dapat masuk ke Jalur Gaza demi operasional rumah sakit.
Desakan itu disampaikan dalam sebuah pernyataan merespons klaim militer Israel yang mengatakan kelompok Palestina itu telah menolak menerima BBM untuk rumah sakit Al-Shifa di Gaza.
Juru bicara militer Israel Avichay Adraee pada Minggu mengatakan dalam X bahwa pasukan Israel telah memberikan 300 liter bahan bakar kepada rumah sakit Al-Shifa, tetapi Hamas melarang RS itu untuk menerima bantuan tersebut.
Hamas membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa yang dikatakan Israel adalah bohong.
"Hamas bukan pihak manajemen RS Al-Shifa, dan tidak tercantum dalam struktur pengambilan keputusan dan (Hamas) sepenuhnya tunduk kepada otoritas Kementerian
Kesehatan Palestina yang mengelola urusan administratif dan teknisnya," kata Hamas.
Antara
Voinews. Id-Menteri Komunikasi Palestina Yitzhak Sidr pada Minggu mengatakan bahwa semua layanan komunikasi dan internet di Jalur Gaza akan terhenti Kamis pekan ini karena pasokan bahan bakar yang menipis.
Dalam konferensi pers, Sidr mengatakan ketiadaan layanan komunikasi akan memperburuk bencana kemanusiaan, kata kantor berita resmi Palestina Wafa.
Dia menambahkan kondisi ini akan mempengaruhi komunikasi antara Pertahanan Sipil, Bulan Sabit Merah, dan organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya.
"Ini berarti banyak nyawa akan hilang.”
Sidr mendesak semua lembaga internasional, khususnya Persatuan Telekomunikasi Internasional, UNRWA, Bulan Sabit Merah Arab, Palang Merah, badan-badan hak asasi manusia, dan organisasi masyarakat sipil agar segera melakukan intervensi demi membawa bahan bakar masuk Jalur Gaza.
Antara