11
November

 

(voinews.id)- Materi pelatihan militer dasar akan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah di Rusia mulai tahun depan, kata Menteri Pendidikan Sergey Kravtsov. Materi tersebut akan masuk dalam mata pelajaran Fundamental Keselamatan Hidup (FLS) sebagai bagian dari kurikulum sekolah wajib, kata Kravtsov kepada awak media, Rabu (9/11).

"(Materi itu nantinya) dipelajari di mata pelajaran FLS wajib," katanya. Kravtsov menuturkan Kementerian Pendidikan Rusia saat ini sedang menyiapkan program tersebut dan para pengajar akan mengikuti pelatihan.

Menurut Kravtsov, materi tentang latihan militer dasar tersebut diperkirakan akan rampung pada 1 Januari 2023. Materi itu terlebih dahulu akan diajarkan sebagai program percontohan sebelum mendapatkan persetujuan akhir. Sumber: Anadolu

11
November

 

(voinews.id)- Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan bertemu Presiden China Xi Jinping di Indonesia untuk membahas berbagai isu global dan regional, termasuk persaingan yang bertanggung jawab, demikian menurut keterangan Gedung Putih, Kamis (10/11). Pertemuan pada Senin akan berlangsung di sela-sela KTT G20 di Bali.

"Kedua pemimpin akan membicarakan upaya mempertahankan sekaligus memperdalam jalur komunikasi antara Amerika Serikat dan China selaku pengelola persaingan, dan melakukan kerja sama di mana kepentingan sejalan, terutama pada tantangan lintas negara yang berdampak terhadap komunitas internasional," kata juru bicara Karine Jean-Pierre lewat sebuah pernyataan.

Biden akan mengangkat isu Taiwan dan "pelanggaran HAM dan lebih banyak lagi, kekhawatiran kami dan sekutu serta mitra kami tentang praktek ekonomi China yang membahayakan," menurut pejabat senior Biden. Kedua pemimpin itu juga diperkirakan akan membicarakan perang Rusia di Ukraina.

Pertemuan mereka akan menjadi yang pertama sejak Biden menjabat sebagai presiden. "Presiden percaya bahwa sangat penting untuk membangun pondasi hubungan dan memastikan bahwa ini adalah aturan jalan yang mengikat persaingan kami," kata pejabat tersebut.

 

antara

11
November

 

(voinews.id)- ASEAN terus mencari cara agar Konsensus Lima Poin terkait Myanmar diterapkan secara efektif dan penuh, ujar juru bicara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-40 dan ke-41 ASEAN Kung Phoak. “Isu Myanmar sangat kompleks dan itu menyelesaikan krisis Myanmar membutuhkan waktu dan upaya yang lebih,” ujar Kung Phoak dalam acara jumpa pers di sela-sela KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, Kamis malam. Konsensus Lima Poin yang dimaksud merupakan seruan kepada Myanmar soal penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, serta menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog. Selain itu, pemerintah Myanmar diminta untuk mengizinkan ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga di negara itu, serta membuka akses bagi utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan para pemangku kepentingan di Myanmar. Kung mengatakan harus ada komitmen dari pihak militer Myanmar untuk melaksanakan Konsensus Lima Poin. “ASEAN berusaha terbaik agar Konsensus Lima Poin dapat diwujudkan,” kata Kung, yang juga menjabat sekretaris negara pada Kementerian Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Kamboja. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengungkapkan bahwa Presiden RI Joko Widodo mengirim surat kepada Perdana Menteri Kamboja Hun Sen --sebagai Ketua ASEAN-- soal Myanmar. Dalam surat tersebut, Jokowi menekankan pentingnya para pemimpin ASEAN membahas implementasi Konsensus Lima Poin untuk membantu penyelesaian krisis Myanmar. Surat tersebut, kata Menlu Retno, telah dibalas oleh Hun Sen yang menugaskan para menlu negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk bertemu dan menyusun rekomendasi terkait implementasi konsensus itu. Indonesia dan negara ASEAN lainnya telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran dan kekecewaan atas kemacetan implementasi Konsensus Lima Poin untuk membantu penyelesaian krisis Myanmar. Konsensus Lima Poin adalah keputusan para pemimpin ASEAN melalui suatu pertemuan khusus, yang juga dihadiri oleh pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, untuk membantu Myanmar mengatasi krisis politiknya. Indonesia menekankan pentingnya pendekatan segera dengan semua pemangku kepentingan sesuai mandat konsensus.

10
November

 

(voinews.id)- Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Forum-Asia) mengatakan para pemimpin ASEAN harus mengembangkan rencana aksi konkret dalam menyelesaikan krisis Myanmar. “Kami mendesak masyarakat internasional untuk meningkatkan sanksi ekonomi dan diplomatik yang lebih ketat terhadap militer Myanmar, termasuk memberlakukan larangan penjualan bahan bakar penerbangan kepada junta untuk mengurangi kemampuannya melakukan serangan udara terhadap warga sipil,” kata FORUM-ASIA dalam keterangannya yang diterima di Phnom Penh, Kamboja, Kamis. Embargo senjata yang komprehensif dengan mekanisme penegakan yang efektif sangat dibutuhkan untuk memutus akses junta ke senjata yang digunakannya tanpa pandang bulu, kata kelompok tersebut.

“Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Myanmar merupakan ancaman bagi stabilitas regional; itu bukan hanya "urusan internal". ASEAN harus menahan diri dari melegitimasi junta militer, berhenti memberikan kursi kepada mereka di KTT dan pertemuannya. Melainkan harus terlibat dengan Pemerintah Persatuan Nasional dan mendukung kelompok masyarakat sipil,” kata Forum-Asia. Junta militer Myanmar baru-baru ini ditunjuk sebagai ketua Konferensi Kepala Udara ASEAN (ASEAN Air Chiefs Conference/AACC).

Jenderal Tun Aung memimpin delegasi junta di mana mereka menjadi Ketua AACC untuk tahun mendatang, menurut temuan Justice For Myanmar. ASEAN harus mengambil tindakan nyata untuk mengecualikan semua perwakilan politik dan non-politik junta militer Myanmar menghadiri KTT, pertemuan, dan kegiatan ASEAN. Ketua Dewan Penasehat “Progressive Voice,” Khin Ohmar mengatakan dengan mengizinkan junta militer Myanmar untuk memimpin Konferensi Kepala Udara ASEAN, berarti ASEAN melanggar Konsensus Lima Poin untuk menghentikan kekerasan yang sedang berlangsung.

“Progressive Voice,” suatu organisasi riset dan advokasi yang memiliki jaringan masyarakat madani di Myanmar dan seluruh kawasan ASEAN.

Khin Omar mengatakan Jenderal Tun Aung adalah individu yang terkena sanksi, dan kejahatan yang dilakukan oleh militer di bawah komandonya sudah dikenal luas. Alih-alih meminta pertanggungjawaban Jenderal Tun Aung atas kejahatan perang, ASEAN malah dianggap menggelar “karpet” baginya untuk bertanggung jawab atas badan regional yang bertujuan untuk kemitraan yang lebih besar antara angkatan udara.

Para pemimpin ASEAN harus mengambil tindakan tegas di KTT untuk mengecualikan semua perwakilan junta politik dan non-politik dari pertemuan dan kegiatannya. Ini harus mencakup Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC) dan Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR). Dalam serangan terbarunya, militer Myanmar melakukan serangan udara yang menargetkan orang-orang Kachin yang berkumpul di sebuah festival musik pada 23 Oktober.

Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 80 orang dan melukai lebih dari 100 lainnya. Pada September, militer juga melancarkan serangan udara di sebuah sekolah di silayah Sagaing, menewaskan sedikitnya 11 anak. Lebih dari 2.400 orang telah dibunuh oleh junta sejak percobaan kudeta pada Februari 2021 dan jumlah ini terus meningkat.

Junta juga terus memimpin the ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus Experts’ Working Group (ADMM-Plus EWG) on Counter Terrorism bersama dengan Rusia. Pada Juli, 448 organisasi masyarakat sipil mengirim surat terbuka yang mendesak anggota ADMM-Plus EWG tentang Kontra Terorisme untuk memboikot pertemuan tersebut.

Australia, Selandia Baru, AS, Jepang, dan Korea Selatan tidak hadir. Meskipun mitra dialog ASEAN menjauhkan diri dari pertemuan tersebut, AS secara khusus mendesak mitra untuk menggunakan mekanisme kerja sama pertahanan dan 'tidak menyampaikan propaganda', ASEAN telah mengizinkan junta untuk mengendalikan situs web kelompok tersebut dan menggunakannya sebagai platform untuk menyebarkan disinformasi dan propaganda, demikian menurut Justice For Myanmar.

 

antara