Hutan bakau (mangrove) memiliki banyak manfaat yang dapat mencegah intrusi air laut, abrasi dan erosi, menjadi penyaring alami, serta menjadi habitat bagi beberapa jenis satwa. Ekosistem hutan bakau merupakan yang paling penting di kawasan pesisir. Sekitar 80% hasi ikan tangkap di dunia bergantung pada hutan bakau, baik secara langsung maupun tidak. Akar pohon bakau yang rapat dan lingkungan vegetasi di sekitarnya berperan penting untuk menyaring air dari kotoran dan polutan lain untuk menghasilkan air bersih. Dalam luasan yang setara dengan hutan tropis, hutan bakau mampu menyimpan karbon 3 hingga 5 kali lebih banyak. Itu sebabnya, menyelamatkan hutan bakau menjadi krusial dalam memerangi perubahan iklim.
Indonesia memiliki 23% dari mangrove dunia. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, luas hutan bakau di Indonesia mencapai 3,49 Juta hektar, namun 52% atau 1,82 juta hektar bakau Indonesia dalam kondisi rusak.
Penyebab kerusakan hutan bakau di Indonesia sebagian besar berasal dari aktivitas manusia, terutama akibat konversi lahan untuk budidaya perikanan dan pertambakan baik untuk udang maupun bandeng.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengimplementasikan secara nyata rehabilitasi dan perlindungan hutan bakau. Baru-baru ini, Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya telah menjelaskan secara rinci rencana rehabilitas bakau secara bertahap terutama pada hutan bakau yang kritis. Pada tahun 2021, pemerintah menargetkan rehabilitasi hutan bakau seluas 124 ribu hektar, tahun 2022 seluas 155 ribu hektar, tahun 2023 seluas 155 ribu hektar, dan tahun 2024 seluas 187 ribu hektar.
Komitmen pemerintah ini perlu disertai penguatan koordinasi dan perubahan pendekatan agar tidak mengalami kegagalan. Selama ini, beberapa program telah dijalankan oleh pemerintah sebagai upaya merehabilitasi kawasan hutan bakau yang merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekologis dan juga ekonomis tinggi. Namun, sebagian besar upaya ini tidak berkelanjutan dan pada akhirnya, berujung pada suatu kegagalan.
Kegagalan terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah kurang adanya koordinasi kelembagaan baik di tingkat nasional, maupun antar strata pemerintahan. Selain masalah koordinasi, penyebab lain kegagalan program pemulihan dan perlindungan bakau selama ini adalah karena perencanaan dan pola pengelolaan yang selama ini digunakan pemerintah cenderung bersifat dari atas ke bawah (top down). Ke depan, pendekatan top down harus segera diubah dengan pendekatan peningkatan partisipasi masyarakat. Pendekatan partisipasi masyarakat yaitu memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar kawasan untuk turut berpartisipasi lebih aktif dalam upaya pengelolaan dan pengawasan.