Junta militer Myanmar bergeming alias tidak menunjukkan perubahan sikap walau mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan PBB. Alih alih mengurangi tindak kekerasan kepada pengunjuk rasa, Penguasa Militer meningkatkan tekanannya pada Aung San Suu Kyi.
Setelah dituduh memiliki alat komunikasi walkie talkie secara illegal, pemimpin sipil itu menghadapi tuntutan pidana kedua. Penguasa militer menuduh Suu Kyi melanggar Undang Undang Bencana Alam Myanmar.
Sabtu pekan lalu junta Milter telah memberlakukan hukum untuk dapat menangkap siapapun yang dianggap mengganggu keamanan tanpa melalui prosedur. Walaupun demikian, masyarakat Myanmar tetap berunjuk rasa menentang kudeta militer dan meminta pemimpin mereka Aung San Suu Kyi dibebaskan.
Perserikatan Bangsa Bangsa telah memperingatkan pihak Junta untuk menghentikan kudeta dan perlakukan keras kepada rakyat yang berunjuk rasa.
Dalam pernyataannya, utusan PBB Christine Schraner Burgener menyatakan akan ada konsekuensi berat jika militer melakukan tindakan kekerasan kepada pengunjuk rasa. PBB juga menegaskan bahwa pemblokiran internet telah melanggar prinsip dasar demokrasi.
Atas berbagai tekanan termasuk sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat, Junta milter hanya menyatakan akan mengadakan pemiiihan umum. Tanpa menegaskan kapan akan dilaksanakan, mereka berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada siapapun yang menjadi pemenang Pemilu. Menjelang kudeta, pihak militer pernah menyatakan bahwa pemilu yang dimenangkan secara mutlak oleh partai LDP, dipenuhi kecurangan.
Myanmar adalah negara di Asia yang belum lama menganut sistem demokrasi melalui Pemilihan Umum. Perubahan sistem politik dan ketatanegaraan di Myanmar itu merupakan salah satu alasan yang mendorong ASEAN untuk menerima Myanmar menjadi anggotanya. Saat itu negara negara barat termasuk Amerika Serikat melihat demokratisasi di Myanmar merupakan pertanda baik dan era baru. Namun kudeta militer di negara tersebut belum lama ini telah membalikkan pandangan internasional. Sementara, Militer yang kini berkuasa setelah melakukan kudeta, tampaknya masih belum terlalu merasa terusik oleh pandangan internasional, kecaman bahkan sanksi yang dijatuhkan.
Jika Amerika Serikat serta merta memberikan perhatian dan menjatuhkan sanksi, tidak demikian halnya dengan Tiongkok. Sejauh ini Tiongkok seolah diam tak bereaksi menghadapi kudeta di Myanmar. Wajar jika masyarakat sipil pengunjuk rasa, dalam salah satu tuntutannya, meminta agar Beijing tidak mendukung junta militer. Apakah Tiongkok akan bersikap berbeda dengan Amerika Serikat, dunia internasional masih harus menunggu perkembangan selanjutnya.