Jakarta (voinews.id) : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI bersama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengadakan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"Pertama bahwa setelah 77 Indonesia merdeka, Indonesia akhirnya memiliki KUHP nasional," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej dalam jumpa pers, Senin (12/12) di Gedung Kementerian Luar Negeri RI, di Jakarta.
Edward Omar mengatakan pembaruan KUHP telah diinisiasi sejak tahun 1963, dan akan berlaku efektif 3 tahun sejak diundangkan.
"Yang kedua, KUHP disusun dengan cermat dan hati-hati. Yang menjadi pertimbangan adalah keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat, serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multireligi dan multiculture," sambungnya.
Hal ketiga yang disampaikan, sebagai negara demokratis, KUHP Indonesia juga disusun melalui proses konsultasi publik yang panjang guna mendapatkan masukan dari masyarakat melalui partisipasi yang bermakna. Selain itu menurutnya KUHP juga bersifat humanis. Dirinya mencontohkan dengan diakhirinya pro kontra terkait pidana mati.
"Dalam KUHP pidana mati bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif yaitu dengan masa percobaan selama 10 tahun sehingga dengan assessment yang terukur dan objektif pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden atau pidana penjara sementara waktu yang maksimumnya adalah 20 tahun," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama dirinya juga menjelaskan terkait pasal perzinaan dan kohabitasi. Menurutnya kedua pasal ini diterapkan berdasarkan delik aduan absolut. Ia mengatakan hanya suami atau istri bagi yang terikat perkawinan, atau orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan yang dapat membuat pengaduan.
"Pihak lain tidak dapat melapor apalagi sampai main hakim sendiri. Jadi tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung, serta tidak ada syarat administrasi untuk menanyakan status perkawinan dari masyarakat dan turis," tegasnya.
Mengenai aturan terkait minuman beralkohol, Edward Omar mengatakan aturan ini sudah ada didalam KUHP lama dan tidak pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya KUHP baru hanya mengambil aturan terkait minuman beralkohol dari KUHP lama yang sudah ada terlebih dahulu.
"Yang ketujuh adalah mengenai isu kebebasan berpendapat," sambungnya.
Wamenkumham menjelaskan KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Menurutnya kritik tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum, sedangkan penghinaan di negara manapun termasuk kepada kepala negara dan lembaga negara merupakan suatu perbuatan yang tercela.
"Namun KUHP mengaturnya sebagai delik aduan sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan kecuali presiden atau wakil presiden dan ketua lembaga negara," jelasnya.
Sementara itu terkait kemerdekaan pers, Edward Omar mengatakan "kritik merupakan bentuk pengawasan koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sehingga jelas tidak dapat dipidana."
Wamenkumham juga menyinggung soal pengaturan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.
"Yang diadopsi pengaturannya dalam KUHP hanyalah dua kejahatan inti atau core crimes yaitu genoside dan crimes against humanity yang sanksinya disesuaikan dengan modified delphi method. Oleh karena itu pengaturan yang bersifat khusus terkait pelanggaran berat HAM akan tetap mengacu pada undang-undang pengadilan HAM, yaitu tidak ada daluwarsa dan berlakunya retroaktif," katanya.
Lebih lanjut, Edward Omar juga menyebutkan ketentuan KUHP tidak mendiskriminasi perempuan, anak dan kelompok minoritas lain, termasuk agama dan kepercayaan.
"Sebab seluruh ketentuan terkait yang berasal dari KUHP sebelumnya sudah sedapat mungkin direformulasi dengan memperhatikan prinsip hukum yang berlaku universal misalnya The International Covenant on Civil and Political Rights," katanya.
Edward Omar menjelaskan selama masa transisi 3 tahun KUHP nasional berlaku efektif. Menurutnya agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi substansi KUHP kepada seluruh masyarakat terutama kepada aparat penegak hukum serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana dari KUHP sehingga meminimalisir penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
"Substansi KUHP telah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi menekankan pada pembalasan melainkan pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Ia mengatakan keadilan korektif berkaitan dengan penjeraan terhadap pelaku, sedangkan keadilan restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban. Sementara keadilan rehabilitatif dalam rangka memperbaiki korban maupun pelaku.
"KUHP yang baru disahkan ini juga mengatur alternatif sanksi selain penjara yaitu denda, pengawasan dan kerja sosial. Serta perumusan tindak pidana secara jelas, ketat, dengan penjelasan yang cukup untuk menghindari multitafsir demi kepastian hukum yang mengedepankan keadilan dan kemanfaatan," katanya.
Dirinya pun mengatakan, mengingat KUHP akan berlaku dalam kurun 3 tahun mendatang, seharusnya tidak akan mengganggu kepentingan masyarakat, pelaku usaha, wisatawan, dan investor asing.
"Selama penegakan hukumnya sesuai dengan tujuan dari pembaharuan hukum pidana melalui KUHP sebagai cerminan paling jujur dari peradaban hukum bangsa Indonesia," tutupnya.