VOInews.id- PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) bersama pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengembangkan ekonomi hijau dengan melibatkan sekitar 5.000 masyarakat petani setempat. Direktur Utama PT PLN EPI Iwan Agung Firstantara dalam keterangan di Jakarta, Minggu, menjelaskan kerja sama ini merupakan langkah strategis untuk mengamankan pasokan biomassa tanpa berkompetisi lahan dan pupuk untuk sektor pangan. Sebaliknya, justru memperkuat pangan/pakan karena memanfaatkan lahan marginal dan menghasilkan produk utama pakan ternak dan residu ranting untuk biomassa sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
“Ini merupakan bentuk nyata dari ekonomi kerakyatan dengan masyarakat yang terlibat aktif di dalamnya. Maka dari itu, terciptanya green economy di tengah masyarakat ini sekaligus berhasil menciptakan lingkungan yang bersih dan mengangkat perekonomian masyarakat,” kata Iwan. Iwan juga mengatakan, PLN turut membangun rantai pasok biomassa untuk menjamin keberlangsungan pasokan. Mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan biomassa sampai dengan komersialisasi di PLTU milik PLN, akan digalakkan. Senada dengan hal tersebut, Direktur Biomassa PLN EPI Antonius Aris Sudjatmiko menuturkan lebih dari 5.000 petani telah merasakan manfaat dari tanaman multifungsi.
Tanaman tersebut digunakan untuk pakan ternak dan kemudian bahan baku biomassa pada lahan marginal seluas 30 hektare tersebar di Kalurahan Gombang dan Karangasem, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. "Pada musim kemarau bulan September 2023 yang lalu, penduduk telah melakukan pruning daun tanaman sebagai pakan ternak. Pembibitan dan penanaman tanaman multifungsi tersebut juga menggunakan pupuk organik FABA yang jauh lebih murah dibanding pupuk anorganik seperti NPK dan Urea,” kata Antonius. Pada tahun 2023, PLN EPI telah menyediakan 1 juta ton biomassa untuk 43 PLTU, yang berasal dari residu/sampah pertanian, perkebunan dan perhutanan seperti serbuk gergaji, sekam padi, bonggol jagung, bagasse tebu, pelet tandan kosong sawit, cangkang sawit, cangkang kemiri serta woodchip dari ranting-ranting dan tanaman replanting karet, bahkan BBJP hasil olahan sampah kota.
Lebih lanjut Antonius menyampaikan bahwa ke depan, penduduk dapat menjual ranting-ranting tanaman yang akan diolah menjadi energi terbarukan biomassa sebagai substitusi batubara PLTU. Dimana dengan indeks harga biomassa sebesar 1,2 dari harga batu bara hanya akan menaikkan BPP (biaya pokok produksi) sebesar 0,5 sen dolar AS, jauh lebih murah dibanding energi terbarukan lainnya seperti PLTS, PLTB dan lainnya.
"Selain memberikan benefit maksimal bagi masyarakat, program Green Economy ini menjadikan biomassa sebagai energi terbarukan baseload yang paling murah dan paling cepat diimplementasikan karena memanfaatkan PLTU eksisting milik PLN,” kata Antonius. Sementara itu, Kepala Bebadan Pangreksa Loka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, RM Gustilantika Marrel Suryokusumo menyampaikan bahwa Keraton Yogyakarta telah mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goal sejak tahun 1755 dengan falsafah Memayu Hayuning Bawono. "Falsafah Memayu Hayuning Bawono terus diimplementasikan antara lain dalam bentuk ekonomi hijau berbasis keterlibatan masyarakat, seperti yang telah dikerjakan Keraton Yogya bersama dengan PLN EPI,” kata Marrel pada diskusi di Lumbung Mataraman Kalurahan Kedungpoh Kapanewon Nglipar, Gunung Kidul, DIY.
Lebih lanjut, Marrel menyampaikan bahwa bentuk ekonomi hijau berbasis keterlibatan masyarakat ini merupakan bentuk ketahanan pangan, air dan energi sekaligus meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat di pedesaan dan diharapkan dapat menjadi model di wilayah lainnya. "Implementasi program ini tentu akan memampukan para petani untuk berdaulat pangan, energi dan sekaligus memajukan taraf hidup masyarakat pedesaan," kata Marrel. Dengan melibatkan 5.000 petani Yogyakarta, Keraton Yogyakarta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya hingga berdampak pada peningkatan kemampuan beli atau Green Deflation. Dengan kata lain, pada suatu nilai uang yang sama, masyarakat tani mampu membeli barang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhannya, atau kerap dikenal sebagai Green Deflation yang merupakan kebalikan dari Green Inflation.
Antara