Akbar

Akbar

14
June

 

VOInews.id- Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memaparkan peran Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam menjaga perdamaian dan stabilitas saat menjadi pembicara utama dalam Oslo Forum di Norwegia, Selasa. Forum tahunan yang membahas isu resolusi konflik dan perdamaian itu dihadiri oleh para praktisi perdamaian dari kalangan pemerintah, organisasi internasional, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Informasi yang saya sampaikan di dalam pertemuan utamanya adalah bagaimana ASEAN menggunakan power dan politiknya untuk menjadikan Asia Tenggara menjadi kawasan yang stabil dan damai,” kata Retno ketika menyampaikan pernyataan pers secara daring di kanal YouTube Kemlu RI, Selasa. Dalam memainkan peran tersebut, kata dia, ASEAN terus bekerja keras mendorong budaya dialog yang sangat penting untuk membangun rasa saling percaya dan menyelesaikan konflik.

“Saya tekankan budaya dialog ini artinya siap mendengarkan, siap mempertimbangkan pandangan pihak lain, siap untuk menganut paradigma win-win, dan siap untuk berdiri setara,” tutur Retno. Budaya itu juga dibawa oleh ASEAN di dalam berbagai mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN atau ASEAN led-mechanism. ASEAN pun terus berupaya membangun budaya inklusif, yang merupakan bagian dari DNA perhimpunan.

Retno mengakui bahwa di tengah tajamnya rivalitas kekuatan besar, segala hal terus dipolitisasi dan negara-negara dipaksa untuk memihak. “Tetapi ASEAN sangat konsisten untuk menjalin kerja sama dengan semuanya, tidak memilih salah satu pihak dan menutup pintu bagi pihak lain. Pendekatan inklusif ASEAN sangat tercermin di dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific,” kata dia. Lebih lanjut, Retno menegaskan bahwa ASEAN akan terus berusaha menghormati aturan (rules of the game).

“Aturan hukum internasional Piagam PBB harus dihormati secara konsisten, dan konsistensi ini sangat penting artinya. Tanpa konsistensi maka perdamaian tidak akan tercipta,” ujar dia. “Konsisten berarti antara values dan actions haruslah sama,” kata Retno, menambahkan.

 

antara

14
June

 

VOInews.id-Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (12/6) menyatakan dukungannya untuk membentuk badan pengawas kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mirip dengan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA).

"Saya berniat membentuk badan penasihat tingkat tinggi untuk kecerdasan buatan guna mempersiapkan dengan serius berbagai jenis inisiatif yang dapat kami ambil ... Saya mendukung gagasan bahwa kita dapat memiliki badan kecerdasan buatan, yang menurut saya terinspirasi dari Badan Energi Atom Internasional saat ini," kata pejabat tertinggi PBB itu dalam sebuah konferensi pers di kantor pusat PBB di New York City.

Guterres menekankan perlunya mengatasi kerusakan signifikan yang disebabkan oleh berbagai platform digital yang dipenuhi dengan informasi yang keliru di samping kekhawatiran atas kemajuan kecerdasan buatan, mengusulkan kode etik internasional sebagai solusinya. Meski mengakui bahwa berbagai peringatan mengenai AI telah "memekakkan telinga", Guterres menegaskan bahwa peringatan tersebut tidak boleh mengalihkan perhatian dari kerusakan saat ini yang ditimbulkan oleh teknologi digital. "Peringatan tersebut tidak boleh mengalihkan perhatian kita dari kerusakan yang telah ditimbulkan teknologi digital terhadap dunia kita," ungkapnya.

Guterres menyoroti kerusakan global yang parah yang disebabkan oleh proliferasi kebencian dan kebohongan di ruang digital, dengan menuturkan bahwa "proliferasi kebencian dan kebohongan di ruang digital saat ini menyebabkan kerusakan global yang parah." Lebih lanjut Guterres menggarisbawahi bahwa "hal ini memicu konflik, kematian, dan kehancuran saat ini. Ini mengancam demokrasi dan hak asasi manusia saat ini.

" Ke depannya, Guterres mengungkap bahwa Kode Etik PBB untuk integritas informasi di platform digital sedang dikembangkan sebagai persiapan untuk "KTT Masa Depan" (Summit of the Future) PBB yang dijadwalkan berlangsung tahun depan. Guterres mengajukan beberapa proposal, termasuk menyerukan komitmen dari pemerintah, perusahaan teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk tidak menggunakan, mendukung, atau memperkuat disinformasi serta ujaran kebencian untuk tujuan apa pun; penerapan kebijakan dan sumber daya secara konsisten oleh platform digital di seluruh dunia, menyingkirkan standar ganda yang mengizinkan berkembangnya ujaran kebencian dan disinformasi di beberapa bahasa dan negara; komitmen dari platform-platform digital untuk memastikan bahwa semua produk mempertimbangkan keamanan, privasi, dan transparansi.

"Para pengiklan, yang sangat terlibat dalam monetisasi dan penyebaran konten yang merusak, harus bertanggung jawab atas dampak pengeluaran mereka," ujar Guterres. Lebih lanjut Sekjen PBB menekankan bahwa "disinformasi dan kebencian tidak boleh menghasilkan paparan maksimal dan keuntungan besar."

 

antara

14
June

 

VOInews.id- Bentrok kekerasan antara militer Sudan dan milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) kembali terjadi di ibu kota Sudan, Khartoum, pada Selasa, kata sejumlah saksi mata. Mereka mengaku mendengar suara tembakan artileri dan senjata berat serta ringan di Kota Bahri di selatan ibu kota.

Pesawat militer juga terlihat mengudara di atas kota tersebut. "Pesawat militer membidik pasukan RSF yang berada di jalan-jalan dan di lingkungan perumahan," kata seorang saksi mata kepada kantor berita Anadolu. Belum ada pernyataan dari kedua pihak yang bertikai mengenai bentrokan tersebut. Pertempuran antara dua kelompok berseteru itu kembali terjadi Senin setelah gencatan senjata 24 jam yang dimediasi Amerika Serikat dan Arab Saudi berakhir.

Menurut tim medis, sekitar 1.000 orang tewas dan ribuan orang lainnya terluka dalam bentrok antara militer dan RSF yang terjadi sejak April. Kesepakatan gencatan senjata sebelumnya kerap dilanggar. Kedua pihak saling menuding melakukan pelanggaran.

Perbedaan pendapat antara pihak-pihak bertikai mengenai integrasi RSF ke dalam militer kian meruncing dalam beberapa bulan belakangan. Integrasi menjadi syarat utama dalam kesepakatan transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang fungsional sejak 2021 setelah militer membubarkan pemerintahan peralihan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat. Langkah militer itu dikecam kekuatan-kekuatan politik di negara itu yang menyebut langkah itu sebagai "kudeta".

Masa peralihan Sudan yang dimulai Agustus 2019 setelah Presiden Omar Al Bashir dilengserkan, semula akan diakhiri dengan pemilu awal 2024. Baca juga: Parlemen desak Arab lebih aktif mengatasi krisis Sudan

 

Sumber: Anadolu

14
June

 

VOInews.id- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  mendesak junta Myanmar untuk membuka kembali akses untuk bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang dilanda Topan Mocha. PBB menuding pihak berwenang di negara itu menghambat bantuan kemanusiaan yang penting bagi masyarakat setempat. “Kami mendesak Dewan Administrasi Negara (Myanmar) untuk mempertimbangkan lagi keputusan ini dan kembali ke persetujuan awal terhadap rencana distribusi bantuan dan transportasi,” kata juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Jens Laerke, dalam pengarahan pers di Jenewa.

Sebulan setelah Mocha melanda Negara Bagian Rakhine di Myanmar, Dewan Administrasi Negara telah menangguhkan akses kemanusiaan. Keputusan itu melumpuhkan distribusi bantuan penting seperti makanan, air minum, peralatan berlindung, dan bantuan lain kepada masyarakat terdampak, kata Laerke.

Penutupan akses juga dinilai sebagai "kemunduran yang menghancurkan" terhadap lebih dari satu juta orang yang menjadi sasaran penerima bantuan di Rakhine. Laerke mengatakan bahwa sejak topan itu melanda pada 14 Mei, badan-badan bantuan telah menjangkau lebih banyak orang meski harus menggunakan otorisasi perjalanan terbatas, yang diberikan oleh junta.

Pada saat itu, hampir 110.000 orang mendapat tempat berlindung (shelter) dan bantuan lain, katanya, sedangkan bantuan makanan telah menjangkau hampir 300.000 orang di Rakhine saja. Namun, Dewan Administrasi Negara Myanmar malah mencabut keputusannya untuk membuka akses kemanusiaan, kata Laerke.

Distribusi bantuan dan transportasi bahkan telah dihentikan di Negara Bagian Chin. Penolakan akses itu "sulit untuk dipahami" dan kemungkinan dapat meningkatkan risiko kerawanan pangan dan penyakit bawaan air, kata Laerke, mengutip Kepala Perwakilan PBB dan Koordinator Kemanusiaan di Myanmar, Ramanathan Balakrishnan. Topan Mocha telah menghancurkan sebagian besar tempat penampungan sementara bagi para pengungsi di wilayah utara Myanmar. Curah hujan yang lebih tinggi diperkirakan akan terjadi dan dapat meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.

 

Sumber: Anadolu