Hari ini, 1 Oktober 2019, 711 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang terdiri atas 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2019-2024 dilantik.
Pada hari penutup masa tugas, Senin, 30 September, anggota DPR periode sebelumnya, mengadakan rapat paripurna terakhir yang mengungkap beberapa pekerjaan yang belum diselesaikan. Ada lima rancangan undang-undang (RUU) yang batal disahkan oleh anggota dewan periode lama. Kesemuanya disepakati untuk di-carry over atau dilanjutkan pembahasannya oleh anggota DPR periode 2019-2024. Lima RUU tersebut adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana-KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara-Minerba, RUU Perkoperasian, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
Penundaan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) ini menjadi undang-undang (UU) didasari kencangnya gelombang protes masyarakat dan mahasiswa terhadap produk legislasi buatan DPR dan pemerintah. Demonstrasi besar-besaran terjadi dalam beberapa hari terakhir, di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan sebelumnya mengatakan telah berupaya untuk meredam demo mahasiswa dan mencegah agar tidak terjadi demo yang memakan korban lagi. Untuk itu pihaknya sudah berkomunikasi dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Intinya adalah agar lembaga legislatif tidak lagi mengesahkan RUU hingga akhir masa jabatan pada 30 September 2019.
Sebenarnya ada dua RUU yang menimbulkan gelombang protes banyak elemen masyarakat, yaitu RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). RUU KPK sudah terlanjur disahkan oleh anggota DPR lalu, walaupun undang-undang tersebut dirasakan masyarakat justru cenderung dapat melemahkan kinerja KPK. Di sisi lain, RUU KUHP dikritik terlalu jauh mengatur hak privasi orang.
Kini masyarakat menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK untuk membatalkan penerapan undang-undang tersebut.
Kemungkinan menerbitkan Perppu KPK diungkapkan Presiden Kamis pekan lalu, 26 September seusai bertemu dengan 41 tokoh budayawan, agamawan, hingga pakar hukum di Istana Merdeka. Menurut pakar hukum Bivitri Susanti, yang juga hadir dalam pertemuan itu, Presiden khawatir Perpu KPK akan ditolak oleh DPR.
Rencana menerbitkan Perpu KPK memang menjadi dilema bagi Presiden Joko widodo. Presiden terjebak di antara desakan publik yang menolak UU KPK dan partai-partai politik yang berkukuh mempertahankan. Disinilah pentingnya komunikasi politik antara pemerintah dan anggota DPR yang baru. Satu dari banyak pekerjaan rumah untuk anggota baru yang ditinggalkan oleh anggota DPR sebelumnya.
Ada beberapa RUU kontroversial lainnya yang membutuhkan kerja keras anggota DPR yang baru. Semoga mereka dapat memuaskan rakyat yang sudah memilih mereka.
Setiap tanggal 30 September bangsa Indonesia selalu diingatkan kembali dengan peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau lebih dikenal dengan G 30 S PKI yang merupakan lembar hitam sejarah Indonesia. Betapa tidak, saat itu, tanggal 30 September 1965, terjadi pemberontakan PKI di Jakarta dan Yogyakarta dengan menculik 10 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkata Darat (TNI AD). Tujuh dari 10 perwira tersebut dibantai secara kejam dan dibuang di sebuah lubang sempit yang bernama Lubang Buaya, Jakarta. Tiga perwira lainnya dibunuh di Yogyakarta.
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah kali pertama bagi PKI. Sebelumnya, pada tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun. Tujuan dari pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan menggantinya menjadi negara komunis.
Sesaat setelah terjadinya peristiwa bersejarah tersebut, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada saat itu, Mayjen Soeharto bergerak cepat, memadamkan pemberontakan. Perburuan pada para pelaku G30S dilakukan cepat. PKI dinyatakan berada di balik gerakan pengambil alihan kekuasaan dengan kekerasan. Para tokohnya diburu dan ditangkap. Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap. Berbagai kelompok masyarakat juga menghancurkan markas PKI yang ada di berbagai daerah. Mereka juga menyerang lembaga, toko, kantor dan universitas yang dituding terkait PKI.
Sebagian tokoh PKI diadili di mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), sebagian dijatuhi hukuman mati. Ketua PKI, DN Aidit yang dituding merancang gerakan ini bersama ketua Biro Chusus PKI, Sam Kamaruzzaman melarikan diri ke Jawa Tengah, namun kemudian bisa ditangkap, dan dibunuh. Pemerintah Orde baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Memang, G 30 S PKI telah lama berhasil ditumpas. Pelaku utamanya pun sudah ditangkap dan diadili. Namun, bukan berarti bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman komunis. Ideologi Komunis yang tidak mengakui adanya Tuhan tidak cocok bagi bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila yang mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bangsa Indonesia tidak ingin tragedi berdarah seperti G 30 S PKI kembali terulang. Bahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengakui, komunis masih menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia, sehingga harus selalu waspada dan diantisipasi keberadaannya karena bisa muncul kapan dan di mana saja.
Dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional 2 Oktober, dan pengakuan batik oleh UNESCO yang ke-10 tahun, Kementerian Perindustrian mengadakan pameran batik mulai tanggal 24 hingga 27 September 2019 di Jakarta. Pameran ini diikuti oleh 44 perajin industri batik kecil dan menengah binaan Yayasan Batik Indonesia. Kegiatan ini akan berlanjut, dengan acara puncak yang digelar di Solo pada 2 Oktober 2019 mendatang. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih pada pembukaan Pameran Batik dengan tema “Membatik untuk Negeri” di Jakarta, Selasa (24/9) mengatakan, Industri batik merupakan salah satu sektor yang cukup banyak membuka lapangan pekerjaan. Sektor yang didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) ini tersebar di 101 sentra di Indonesia, dengan 47 ribu unit usaha dan telah menyerap tenaga kerja hingga 200 ribu orang. Selain itu, industri batik yang merupakan bagian dari industri tesktil dan busana, juga menjadi salah satu sektor andalan dalam implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0.
Ia menjelaskan, industri batik mendapat prioritas pengembangan karena sumbangannya yang besar dalam meningkatkan perdagangan, besaran investasi, dampak terhadap industri lainnya, serta kecepatan penetrasi pasar. Industri batik Indonesia mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan produknya telah diminati pasar global.
Kementerian Perindustrian mencatat, nilai ekspor dari industri batik nasional pada semester I tahun 2019, mencapai sekitar 18 juta dolar Amerika. Negara tujuan utama pengapalan produknya, antara lain Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Gati mengatakan, Batik Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar Internasional.
UNESCO telah mengukuhkan batik Indonesia sebagai Representative List of The Intangible Cultural Heritage of Humanity pada 2 Oktober 2009 lalu. Pengakuan ini menurut Gati membawa konsekuensi kepada pemerintah maupun masyarakat untuk terus menerus melestarikan dan mengembangkan produk batik. Gati menambahkan, pada Mei 2019, terjadi Diplomasi Batik di markas besar PBB, yaitu dipilihnya batik sebagai dress code pada Sidang Dewan Keamanan PBB. Momen tersebut menjadi kebanggaan bagi Indonesia karena sebagian besar anggota yang hadir mengenakan batik dengan beragam corak, warna dan bahan batik asli Indonesia.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadapi proses pemakzulan (impeachment) yang diinisiasi oleh kubu Partai Demokrat di DPR Amerika Serikat. Ketua DPR AS, Nancy Pelosi dua hari lalu mengungkap sebanyak 170 dari 235 anggota DPR AS mendukung pemakzulan terhadap Trump yang diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala negara untuk menghalangi bakal calon presiden Partai Demokrat, Joe Biden, dengan meminta Ukraina menyelidiki dugaan korupsi putranya, Hunter Biden. Perkara ini berawal dari laporan seorang pengadu yang identitasnya dirahasiakan, yang bekerja sebagai agen intelijen AS. Dia melaporkan hasil sadapan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky pada 25 Juli lalu. Trump dilaporkan mendesak Zelensky untuk menyelidiki dugaan korupsi yang diduga dilakukan Hunter Biden. Anak Biden itu memang menjadi anggota komisaris perusahaan energi Ukraina. Kemudian, Presiden Trump mengakui dia berbincang dengan Presiden Ukraina beberapa waktu lalu dan membahas soal Biden melalui telepon. Namun, Trump membantah menekan Zelensky untuk mengabulkan permintaannya dengan ancaman akan menahan bantuan untuk pemerintah Ukraina, dan berdalih hal itu dilakukan supaya negara-negara Eropa lebih giat membantu.
Apakah ini bagian dari dinamika politik Amerika Serikat menjelang Pemilu yang akan berlangsung pada November 2020? Apakah Trump akan berhasil lolos dalam jeratan impeachment kali ini?
Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, nuansa persaingan antar kandidat Presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik sudah makin memanas. Trump yang memutuskan maju lagi sebagai petahana dalam Pemilu AS tahun depan ternyata sudah mulai mengintai untuk menghadapi lawan terberatnya dari partai Demokrat – Joe Biden wakil presiden dua periode pada pemerintahan Barrack Obama. Mencari kelemahan Joe Biden lewat tangan Ukraina yang justru berujung pada bergulirnya proses Impeachment terhadap dirinya.
Upaya Impeachment terhadap Trump bukan kali ini saja. Tahun 2017, tak lama setelah dilantik menjadi President, Trump menghadapi upaya impeachment pasca-investigasi mantan penasihat khusus Robert Mueller tentang campur tangan Rusia dalam Pemilihan Presiden (pilpres) 2016 dengan argument bahwa trump sudah menghalangi upaya keadilan. Namun, Trump berhasil lolos pada saat itu. Terlepas dari itu, penilaian publik Amerika terhadap kinerja PresidenTrump juga tidak terlalu baik belakangan ini. Sebuah jajak pendapat yang dirilis oleh The Post dan ABC pada hari Jumat (31/8) menunjukkan bahwa 60 persen pemilih tidak menyukai kinerja Presiden Trump.
Pada akhirnya 2019 dan 2020, Presiden Donald Trump akan sibuk menghadapi proses impeachment dan menurunnya dukungan publik terhadap dirinya, yang akan mempengaruhi elektabilitasnya pada 2020.
Mungkinkah Presiden Donald Trump lolos pada jeratan Pemakzulan kali ini? Mari kita ‘wait and see next’.