Kampanye terbuka Pemilihan Umum 2019 yang juga disebut kampanye rapat umum telah dimulai hari Minggu (24/3) kemarin, dan akan berlangsung hingga 13 April mendatang. Bagi kedua kubu yang bersaing, pasangan calon (paslon) presiden 01 Joko Widodo-Maaruf Amin dan pasangan calon presiden 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bersama partai politik pendukung mereka, ini akan menjad tahapan krusial. Karena kampanye rapat umum melibatkan mobilisasi massa dalam jumlah besar sehingga rawan benturan. Untuk menghindari bertemunya massa kedua paslon, Komisi Pemilihan Umum sudah membuat jadwal kampanye rapat umum berdasarkan zonasi wilayah.
Kampanye terbuka dapat diumpamakan sebagai “perang” berebut suara. Semua kontestan berusaha sekuat tenaga untuk menarik dukungan pemilih yang belum bersikap atau undecided voters. Perebutan dukungan ini menjadi perhatian tim sukses. Mereka akan digiring untuk memilih sesuai yang diinginkan.
Tim sukses, partai pendukung, dan relawan tentu sah-sah saja berusaha sekuat tenaga berebut dukunganundecided voters. Akan tetapi, perlu diingat upaya itu harus tetap mengedepankan etika dan mematuhi ketentuan perundangan sehingga tidak terjadi benturan. Apalagi, situasi kompetisi selama masa kampanye sejak September tahun lalu telah membuat polarisasi yang memanas dalam masyarakat.
Seluruh kontestan hendaknya kembali kepada filosofi kampanye, sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat, dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Sekecil apa pun pelanggaran selama kampanye terbuka harus diikuti dengan penindakan. Hukum pemilu harus ditegakkan. Jangan sampai kampanye terbuka disesaki praktik politik uang, intimidasi, dan kekerasan.
Esensi utama kampanye adalah memberikan literasi bagi calon pemilih sehingga bisa menentukan pilihan dengan rasional. Bukan kampanye yang sekedar menggunakan sisi emosional pemilih yang dikhawatirkan akan melahirkan fanatisme yang berpotensi konflik.
Untuk itu peserta pemilu hendaknya konsisten melaksanakan pakta integritas yang telah mereka tandatangani. Untuk mewujudkan pemilu damai, tanpa hoaks, tanpa politisasi SARA, dan tanpa politik uang.
Setelah Dana Desa dan Dana Kelurahan, pemerintah mewacanakan pengalokasian Dana Kecamatan. Wacana pengalokasian Dana Kecamatan muncul dalam rapat koordinasi nasional camat di Jakarta, Rabu (20/3/2019). Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menjelaskan pihaknya saat ini tengah memproses usulan anggaran Dana Kecamatan. Menurutnya, anggaran ini berbeda dengan Dana Desa dan Kelurahan yang dianggarkan dari APBN. Dana Kecamatan nantinya akan dianggarkan dari APBD masing-masing daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan yang sama memberikan sinyal positif terhadap usulan Menteri dalam Negeri. Dia menyatakan akan mengkaji alokasi dana untuk kecamatan. Oleh sebab itu, ia mengaku akan duduk bersama dengan pihak Kementerian Dalam Negeri untuk memilih instrumen paling efektif yang akan digunakan sebagai anggaran kecamatan.
Kalau jadi, Dana Kecamatan rencananya akan digelontorkan untuk menciptakan keseimbangan pembangunan. Maklum, desa dan kelurahan telah mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada akhir tahun lalu, kebijakan pemerintah terkait dana kelurahan menuai polemik. Walaupun kebijakan Dana Kelurahan ini bagus, tetapi menuai polemik karena dana tersebut dikeluarkan menjelang pemilihan presiden. Oleh karena itu maka ada penilaian bahwa kebijakan ini menguntungkan pihak petahana dalam pemilihan presiden 2019.
Wacana Dana Kecamatan ini, walaupun baru sebatas wacana, tetap saja ada potensi menimbulkan polemik karena dimunculkan saat menjelang pemilihan umum April 2019. Untuk menepis dugaan ini, Tjahjo menyampaikan bahwa dirinya sudah melobi dana kecamatan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani selama dua tahun terakhir. Melihat pernyataan Tjahjo ini, tampaknya wacana ini tidak muncul tiba-tiba dalam rangka pemilu.
Pertanyaan kritis yang patut kita ajukan terhadap wacana ini adalah seberapa bermanfaat Dana Kecamatan ini bila direalisasikan ?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, selain menjalankan perannya sebagai pembina dan pengawas pemerintahan desa, Pemerintahan kecamatan juga melaksanakan berbagai urusan administrasi kependudukan dan perijinan, serta pelayanan dasar sektoral mulai dari urusan ketertiban dan keamanan, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat dan upaya-upaya konkrit mensejahterkan masyarakat.
Melihat peran besar yang didelegasikan kepada pemerintah kecamatan ini, tentu saja membutuhkan dukungan dana yang cukup. Selama ini pemerintahan kecamatan mendapat dana dari APBD. Apakah itu belum cukup sehingga muncul wacana adanya Dana Kecamatan? Apa fungsi dari anggaran kecamatan itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu kajian mendalam dari pemerintah. Efektivitas dana ini bila direalisasikan perlu juga dikaji secara mendalam walaupun usulan Dana Kecamatan ini merupakan upaya untuk meningkatkan percepatan pembangunan dan pelayanan publik pada level bawah.
Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dalam memutuskan usulan ini. Karena, selain perlu kajian mendalam yang butuh waktu yang cukup, ketidak tergesa-gesaan juga untuk menghindari polemik menjelang pemilu 2019.
Belum hilang ketakutan masyarakat dunia terhadap aksi penembakan di Christchurch, Selandia Baru, aksi yang sama walau tidak memakan banyak korban kembali terjadi di Utrecht, Belanda , Senin 18 Maret. Aksi kekerasan yang menewaskan sekitar 3 orang dan 9 luka luka dengan 3 diantaranya dalam kondisi serius. Pelaku yang berketurunan Turki dengan paspor ganda tersebut berhasil ditangkap Polisi sekitar 8 jam setelah melakukan aksi di sebuah moda transportasi Trem.
Aksi di Kota Utrecht dan Christchurch ada persamaan yaitu sama-sama menggunakan senjata api dalam melakukan aksinya serta sama- sama menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Namun yang membedakannya adalah yang satu dilakukan di sarana Transportasi umum yang satu lagi di rumah ibadah. Di Selandia Baru, Otoritas tertinggi telah menyatakan bahwa aksi imigran asal Australia tersebut merupakan aksi terrorisme. Sedangkan di Belanda, Otoritas masih mengesampingkan hal itu sebagai aksi bukan terorisme. Menurut Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, seperti yang dikutip dari BBC, banyak pertanyaan dan rumor. Masih belum jelas motif di balik serangan bersenjata di Utrecht, teroris atau yang lain, masih dalam penyelidikan meski juga tidak bisa mengesampingkan ada motif lain yang melatarbelakangi aksi tersebut
Sementara itu, Presiden Turki Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa badan-badan intelijen Turki tengah menyelidiki penembakan tersebut untuk memastikan apakah itu serangan teror atau terkait perselisihan keluarga. Menurut sebuah sumber yang dikutip dari The Telegraphe, Gorkmen Tanis sang pelaku penembakan, mempunyai banyak catatan kriminalitas di negeri Belanda. Sedangkan menurut sebuah sumber dari BBC, pelaku pernah bergabung dengan kelompok bersenjata di Chechnya.
Terlepas masalah aksi penembakan tersebut, apakah dikategorikan terorisme atau aksi kekerasan kriminalitas semata, ini permasalahan adalah peredaran senjata api yang kian marak di masyarakat. Tidak dipungkiri mudahnya akses memperoleh senjata api illegal baik dari pasar gelap maupun situs-situs online. Mereka memiliki senjata api dengan berbagai alasan salah satunya adalah untuk membela diri dari situasi kondisi yang semakin tidak nyaman. Walau di beberapa negara diperbolehkan sipil memiliki senjata dengan persyaratan yang ketat. Namun apapun yang terjadi keberadaan senjata api adalah berbahaya dan diperlukan kepribadian yang kuat dan bertanggung jawab jika memiliki senjata api. Karena jika berada di tempat yang salah dan dimiliki orang yang bermasalah akan menjadi sangat berbahaya. Kita juga dapat melihat bahwa regulasi negara seperti di Selandia Baru dan Belanda bahkan di negara negara Eropa serta Amerika Serikat yang sudah menerapkan serta seleksi ketat bagi pemilik senjata api masih bisa “kecolongan” , bagaimana dengan di negara negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Uni Eropa telah lama mendiskriminasi minyak sawit atau yang lebih dikenal dengan CPO dan produk turunannya, karena dituding masuk kategori bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan. Kini tekanan mereka bertambah dengan menyasar pada CPO dan produk turunannya untuk kategori makanan dan minuman. Uni Eropa telah membuat studi mengenai bahaya kandungan minyak sawit dalam makanan bagi kesehatan. Studi ini telah disampaikan ke Badan Makanan dan Pertanian FAO milik PBB. Apabila disetujui FAO, kemungkinan besar peredaran produk makanan yang mengandung sawit di dunia akan semakin dipersulit. Padahal, mayoritas ekspor produk turunan CPO asal Indonesia digunakan sebagai campuran bahan makanan.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun khawatir, apabila FAO menyetujui penelitian yang diajukan Uni Eropa, dampaknya akan lebih masif dibandingkan dengan kebijakan diskriminasi Uni Eropa terhadap CPO untuk sektor energi.
Kekhawatirannya sangat beralasan. Sepanjang 2018 saja total volume ekspor produk turunan CPO Indonesia mencapai 28,14 juta ton. Lebih dari 80 persennya digunakan untuk campuran bahan makanan. Dari tahun ke tahun permintaan dunia akan produk CPO untuk campuran makanan terus meningkat. Bahkan eksportir produk olahan CPO tengah menyasar pasar baru, antara lain Afrika dan Timur Tengah. Bila CPO dan produk turunannya dilarang sebagai bahan campuran makanan di seluruh dunia, maka akan berdampak pada kinerja ekspor non migas nasional. Sebab CPO masih menjadi andalan ekspor non migas Indonesia. Dampaknya dirasakan tidak hanya oleh produsen CPO melainkan juga produsen makanan dan minuman dengan campuran CPO.
Menghadapai situasi ini Indonesia dan produsen CPO lainnya tidak akan dapat menempuh jalur gugatan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena ranahnya sudah masuk ke mandatori dunia. Hasil penelitian harus dilawan dengan hasil penelitian. Indonesia dan Malaysia, sebagai produsen CPO terbesar dunia sudah membentuk studi dan penelitian sendiri. Targetnya, penelitian ini selesai pertengahan tahun ini dan segera dipublikaskan ke jurnal internasional.
Dalam studi Uni Eropa disebut CPO memiliki kontaminasi karsinogen jauh di atas 4 mikrogram per kilogram makanan atau batas yang diizinkan untuk manusia. Sedangkan minyak nabati lain digolongkan dalam level rendah. Kini tugas produsen CPO seperti Indonesia untuk membuktikan bahwa dengan teknologi terbaru, sebenarnya Indonesia dapat memproduksi CPO yang keamanannya setara dengan minyak nabati lain. Indonesia tidak boleh terlambat dalam menangkal serangan Uni Eropa. Jika terlambat, keamanan ekonomi nasional menjadi taruhannya.