Warna Warni edisi kali ini kami akan mengajak Anda untuk mengetahui cerita mengenai wayang klithik, salah satu warisan budaya yang terlupakan. Wayang klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klithik berbentuk pipih seperti wayang kulit. Wayang ini diciptakan pada abad ke-17, lebih tepatnya wayang ini diciptakan pada tahun 1648 tetapi siapa penciptanya tidak diketahui.
Pementasan Wayang Klithik diiringi oleh alunan musik gamelan instrumen dan beberapa pesinden, namun tidak menggunakan layar sehingga penonton dapat melihat secara langsung. Wayang ini disebut klitik karena mengandung arti kecil. Tidak hanya ukurannya yang kecil, tapi dimungkinkan karena bunyi klitik yang terjadi saat masing-masing tokoh dalam wayang ini saling beradu. Bunyi benturan terdengar dari wayang yang berbahan dasar kayu ini. Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit.Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan wayang klitik memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun. Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlaras salendro dan berirama playon bangomati. Ada kalanya wayang klitik menggunakan gending-gending besar.
Wayang Klitik banyak ditemukan di daerah – daerah di Jawa Tengah seperti di Kudus. Disini Wayang Klitik masih berkembang dan biasa ditampilkan saat hajatan perkawinan,upacara bersih desa,dan berbagai upacara desa lainnya. Wayang Klitik sendiri oleh sebagian kalangan disakralkan. Di Kudus kini hanya tinggal satu daerah yang melestarikan kesenian Wayang Klitik tersebut,yaitu di Desa Wonosoco. Seluruh peralatan serta 52 buah tokoh wayang yang ada merupakan warisan turun temurun dari para pendahulunya. Tak banyak yang tahu siapa yang membawa Wayang Klitik hingga ke Desa Wonosoco.
Konon kesenian Wayang Klitik tumbuh seiring masuknya agama Islam di tanah Jawa,khususnya daerah Kudus. Dalam satu kelompok kesenian wayang Klitik, biasanya didukung 18 orang yang dipimpin langsung oleh dalang dengan dibantu dua asistennya. Sisanya dua orang pesinden dan para penabuh gamelan. Seiring dengan perkembangan zaman pula, wayang klitik lambat laun mulai terlupakan. Meskipun sulit mencari seniman wayang klitik, namun yang pasti masih ada pewarisnya di daerah kudus, Jawa Tengah. Baiklah pendengar, demikian informasi mengenai wayang klitik yang mulai terlupakan.
Hari ini akan memperkenalkan Tari Jepen di Kalimantan Timur. Kalimantan Timur adalah provinsi dimana sungai Mahakam mengalir. Di daerah pinggiran sungai Mahakam ini, berkembang sebuah tarian bernama Tari Jepen. Tari Jepen adalah tarian khas Kalimantan Timur yang dikembangkan oleh Suku Kutai dan Suku Banjar yang berada di pesisir sungai Mahakam. Tarian ini memiliki ragam gerak yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Tarian Japen merupakan salah satu tarian yang mempresentasikan kebudayaan Melayu yang dinamis, atraktif, energik dan bersahaja. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para penari wanita.Seiring perkembangan waktu, Tari Jepen pun mengalami banyak perkembangan, dimana dalam pertenjukannya tari Jepen teridiri dari dua jenis, yakni Tari Jepen Genjoh dan tari Jepen Eroh. Tari Jepen Eroh merupakan tari kreasi jepen yang tidak meninggalkan gerak ragam aslinya, diantaranya ragam penghormatan, ragam gelombang, ragam samba setangan, ragam samba penuh, ragam gengsot, ragam anak, dan lain-lain. Eroh dalam bahasa Kutai berarti ramai, riuh dan gembira. Sedang Tari Jepen Genjoh Mahakam merupakan salah satu tari kreasi dari tari jepen, dimana sebagian besar gerak dalam tari ini bersumber dari tari jepen, misalnya gerak gelombang, samba setengah, samba penuh, ayun anak, jalan kenyak, saluang mudik, dan gerak taktim. Secara umum, dapat dikatakan bahwa tari jepen genjoh mahakam merupakan tari yang merepresentasikan kebudayaan Melayu.Dalam pertunjukan, Tari Jepen diiringi dengan seni musik tingkilan. Musik tingkilan merupakan salah satu seni musik khas Kutai. Dalam musik tingkilan, alat musik yang di gunakan adalah gambus atau semacam alat musik petik, ketipung atau alat musik seperti gendang dengan ukuran yang lebih kecil, kendang, dan juga biola. Saat ini, tarian ini juga diiringi dengan piano. Selain itu, juga diiringi dengan nyanyian yang disebut dengan bertingkilan. Bertingkilan berarti bersahut-sahutan. Nyanyian ini biasanya dibawakan oleh dua orang penyanyi yang saling bersahutan dalam menyanyanyikan syair-syair yang berisi petuah atau pesan moral.Saat pertunjukan, penari Jepen menari dengan balutan busana perpaduan khas melayu yang kental akan nuansa islami dan campuran busana khas Indonesia. Dengan tata rias yang minimalis namun penari terlihat santun dan bersahaja. Saat menari, penari juga di lengkapi dengan selendang. Dahulu, Tari Jepen berfungsi sebagai hiburan dalam rangka penobatan raja dari Kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan sebagai tari pergaulan muda dan mudi, misalnya untuk memadu janji, berkasih-kasihan, dan sebagainya. Kemudian, sejak tahun 1970-an tarian ini umumnya dipergunakan dalam acara penyambutan tamu daerah, upacara perkawinan, dan untuk mengisi acara dalam hari besar lainnya, seperti HUT Provinsi Kalimantan Timur, dan lain-lain.
Hari ini akan memperkenalkan Tari Jepen di Kalimantan Timur. Kalimantan Timur adalah provinsi dimana sungai Mahakam mengalir. Di daerah pinggiran sungai Mahakam ini, berkembang sebuah tarian bernama Tari Jepen. Tari Jepen adalah tarian khas Kalimantan Timur yang dikembangkan oleh Suku Kutai dan Suku Banjar yang berada di pesisir sungai Mahakam. Tarian ini memiliki ragam gerak yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Tarian Japen merupakan salah satu tarian yang mempresentasikan kebudayaan Melayu yang dinamis, atraktif, energik dan bersahaja. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para penari wanita.Seiring perkembangan waktu, Tari Jepen pun mengalami banyak perkembangan, dimana dalam pertenjukannya tari Jepen teridiri dari dua jenis, yakni Tari Jepen Genjoh dan tari Jepen Eroh. Tari Jepen Eroh merupakan tari kreasi jepen yang tidak meninggalkan gerak ragam aslinya, diantaranya ragam penghormatan, ragam gelombang, ragam samba setangan, ragam samba penuh, ragam gengsot, ragam anak, dan lain-lain. Eroh dalam bahasa Kutai berarti ramai, riuh dan gembira. Sedang Tari Jepen Genjoh Mahakam merupakan salah satu tari kreasi dari tari jepen, dimana sebagian besar gerak dalam tari ini bersumber dari tari jepen, misalnya gerak gelombang, samba setengah, samba penuh, ayun anak, jalan kenyak, saluang mudik, dan gerak taktim. Secara umum, dapat dikatakan bahwa tari jepen genjoh mahakam merupakan tari yang merepresentasikan kebudayaan Melayu.Dalam pertunjukan, Tari Jepen diiringi dengan seni musik tingkilan. Musik tingkilan merupakan salah satu seni musik khas Kutai. Dalam musik tingkilan, alat musik yang di gunakan adalah gambus atau semacam alat musik petik, ketipung atau alat musik seperti gendang dengan ukuran yang lebih kecil, kendang, dan juga biola. Saat ini, tarian ini juga diiringi dengan piano. Selain itu, juga diiringi dengan nyanyian yang disebut dengan bertingkilan. Bertingkilan berarti bersahut-sahutan. Nyanyian ini biasanya dibawakan oleh dua orang penyanyi yang saling bersahutan dalam menyanyanyikan syair-syair yang berisi petuah atau pesan moral.Saat pertunjukan, penari Jepen menari dengan balutan busana perpaduan khas melayu yang kental akan nuansa islami dan campuran busana khas Indonesia. Dengan tata rias yang minimalis namun penari terlihat santun dan bersahaja. Saat menari, penari juga di lengkapi dengan selendang. Dahulu, Tari Jepen berfungsi sebagai hiburan dalam rangka penobatan raja dari Kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan sebagai tari pergaulan muda dan mudi, misalnya untuk memadu janji, berkasih-kasihan, dan sebagainya. Kemudian, sejak tahun 1970-an tarian ini umumnya dipergunakan dalam acara penyambutan tamu daerah, upacara perkawinan, dan untuk mengisi acara dalam hari besar lainnya, seperti HUT Provinsi Kalimantan Timur, dan lain-lain.
Pada masa lalu, arloji atau jam tangan masih menjadi aksesoris yang mewah dan hanya dimiliki oleh orang tertentu saja. Semasa kejayaan Keraton Kasunanan Surakarta, masyarakat muslim dapat mengetahui masuknya waktu sholat melalui alat bernama jam istiwa' atau jam matahari. Saat ini, jam istiwa’ tersebut masih dapat ditemui di halaman Masjid Agung Keraton Surakarta. Masjid peninggalan Raja Paku Buwono XI, yang dibangun pada 1733 dan menjadi kebanggaan kota Solo.
meskipun terletak di tempat terbuka, tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan jam istiwa’ ini. Letaknya berada di bagian kiri halaman masjid. Meski sudah berusia seratus tahun lebih, kondisinya masih kokoh, bersih, dan terawat. Jam istiwa' itu diletakkan di atas tembok kokoh dan ditutup dengan kaca bening terbuka. Masyarakat yang sedang melintas dapat dengan leluasa melihat jam kuno itu. Jam ini terbuat dari pelat tembaga ditekuk sampai berbentuk setengah lingkaran. Di permukaannya terdapat guratan garis-garis dan angka-angka penunjuk waktu. Sedangkan sebuah besi berbentuk paku dengan posisi horisontal mengarah ke utara dan selatan terpasang di atas cekungan. Abdul Basyir, takmir masjid mengatakan, jam matahari itu masih berfungsi optimal jika kondisi cuaca cerah. Seperti untuk sholat zuhur. Menurut Basyir, tingkat ketepatan jam istiwa' sebagai penentu waktu shalat bias dipercaya. Namun jika cuaca mendung, jam istiwa’ tidak dapat bekerja efektif.
Selain di Keraton Surakarta, jam istiwa’ masih dapat ditemukan dan digunakan di tempat lain, seperti di Pondok Pesantren Al Mina, Semarang, Jawa Tengah. Di pondok pesantren ini, jam istiwa’ masih dipertahankan sebagai penanda waktu shalat bagi penghuni ponpes dan warga sekitarnya. Dwi Sutoro salah satu pengurus mengatakan karena hal itu penting bagi pesantren untuk melestarikan jam ini. Saat ini jam Istiwa’ ditempatkan di halaman masjid Al Huda. Sebelumnya jam ini telah beberapa kali dipindahkan, karena posisi semula sudah tidak mendapat sinar matahari penuh karena terhalang bangunan serta bayangan pepohonan.Kini penanda waktu ini sudah berada pada posisi yang ideal untuk digunakan sebagai mana fungsinya. Menjelang bulan Ramadhan kemarin, para penghuni pesantren membersihkan kawasan masjid serta jam istiwa’. Perawatan harus dilakukan karena jam itu berada di ruang terbuka tanpa pelindung sama sekali. Sehingga mudah terpengaruh terik matahari atau guyuran hujan pada saat musim penghujan. Agar penanda waktu ini mudah dibaca harus dibersihkan dari debu, jamur dan kotoran lain yang dapat merusak material jam.
pengurus pondok pesantren yang menguasai ilmu falak biasanya juga memeriksa serta membersihkan bagian demi bagian jam istiwa’. Tidak hanya itu, pihak yayasan juga mendatangkan staf Kementerian Agama Kabupaten Semarang untuk menguji akurasi jam istiwa’ ini. Dengan demikian, penanda waktu berbahan kuningan tersebut tetap terawat dan dapat berfungsi secara optimal. Dwi menambahkan, mempertahankan dan melestarikan penggunaan jam istiwa ini bukan tanpa alasan. Selisih waktu masih mungkin terjadi pada jam analog, dalam hitungan menit. Penentuan waktu sholat dengan jam istiwa’ bisa lebih akurat.