Pada edisi kali ini, akan sajikan beragam religi Indonesia. Sebagai pembuka, berikut satu lagu oleh Audy dengan judul "Lupakah Engkau". Lirik lagu “Lupakah Engkau” mengingatkan bahwa apapun yang terjadi di dalam hidup, termasuk pahitnya nasib bukanlah alasan untuk menyerah. Sebab, masih ada Tuhan yang masih setia menemani dan mengasihi.
demikianlah lagu berjudul “Lupakah Engkau” oleh Audy yang tergabung dalam album bertajuk “Kita untuk Mereka” yang dirilis pada tahun 2005. Album “Kita Untuk Mereka” adalah sebuah album kompilasi berbagai musisi Indonesia yang didedikasikan untuk mengenang korban tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004 silam.
Lagu berikutnya juga terdapat dalam album “Kita Untuk Mereka”, yaitu “Pasrahkan PadaNya”. Sedikit mirip dengan “Lupakah Engkau” oleh Audy, lirik “Pasrahkan PadaNya” menggambarkan bahwa bahagia bisa berganti duka dengan cepat. Terkadang, diri pun tidak sanggup menahannya. Namun, sebagai umat yang percaya, sudah seharusnya tidak menyesali apa yang terjadi, melainkan berserah kepadanya. Sebab, duka nestapa pun akan segera kembali jadi bahagia.
masih ada dua lagu religi yang akan kami hadirkan untuk anda. Pertama, ada lagu “Allah Engkau Dekat” oleh Opick. Lagu ini merupakan salah satu lagu yang ada dalam “Sang Maha Cahaya” yang dirilis di tahun 2016. Opick mengaku album ini berisi perenungan hidupnya. Lirik “Allah Engkau Dekat” menggambarkan bahwa di dalam suka, duka, dan bahkan dosa, Tuhan selalu bersama kita. Tiada satu detikpun Tuhan meninggalkan umat-Nya tanpa berkat dan bimbingan-Nya..
lagu berikut yang akan saya putarkan dalam Pelangi Nada edisi kali ini adalah “Padamu Ya Allah” oleh Vagetoz. Melalui lagu yang terdapat dalam album “Kuatkan Aku” yang dirilis pada tahun 2008, Vagetoz ingin menggambarkan bahwa dunia ini selalu penuh godaan untuk berbuat dosa dan memenuhi nafsu dunia. Hanya Tuhanlah yang bisa membimbing dan memberikan kekuatan untuk melawan semua godaan.Dengan berakhirnya lagu ini, berakhir pula acara Pelangi Nada religi edisi kali ini.
Edisi kali ini, akan menghadirkan lagu-lagu berirama keroncong yang dibawakan oleh penyanyi-penyanyi berbakat Indonesia.
Demikianlah lagu berjudul Rangkaian Melati dibawakan oleh Wiwit Sunarto. Sebuah lagu keroncong asli yang diciptakan oleh R. Maladi Arimah Noramin. Bercerita tentang rangkaian melati yang menjadi pengikat hati dua insan. Walaupun sang pahlawan takkan kembali, namun rangkaian melati akan tetap dijaga sampai akhir hayat.
Sebuah lagu perjuangan yang menunjukkan dukungan sepenuh jiwa kepada pahlawan yang berjuang dan berkorban demi bangsa dan negara.
Selain Wiwit Sunarto, lagu ini juga pernah dibawakan oleh penyanyi-penyanyi Indonesia lainnya. Selanjutnya kita dengarkan sebuah lagu keroncong berjudul Kicir-Kicir dibawakan oleh Sumiati.
Demikianlah lagu berjudul Kicir-Kicir yang dibawakan oleh Sumiati. Wanita yang merupakan saudara perempuan penyanyi Mus Mulyadi ini adalah penyanyi keroncong tahun 60an. Sumiati pernah menjuarai beberapa perlombaan lagu bergendre keroncong.
Lagu Kicir-kicir adalah lagu dari Daerah Betawi atau Jakarta, yang sering dinyanyikan pada acara-acara resmi maupun tidak resmi Jakarta. Lagu ini memiliki lirik yang menarik karena bentuknya seperti syair dengan dua larik pertama berupa sampiran dan dua larik selanjutnya berupa isi lagu. Selain di Jakarta, lagu ini juga dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan sering juga ditampilkan pada acara berkelas internasional. Jika diperhatikan liriknya lagu ini mengandung pesan agar kita tidak bersedih hati dan giat dalam bekerja.//
Warna Warni edisi kali ini kami akan mengajak Anda untuk mengetahui cerita mengenai wayang klithik, salah satu warisan budaya yang terlupakan. Wayang klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klithik berbentuk pipih seperti wayang kulit. Wayang ini diciptakan pada abad ke-17, lebih tepatnya wayang ini diciptakan pada tahun 1648 tetapi siapa penciptanya tidak diketahui.
Pementasan Wayang Klithik diiringi oleh alunan musik gamelan instrumen dan beberapa pesinden, namun tidak menggunakan layar sehingga penonton dapat melihat secara langsung. Wayang ini disebut klitik karena mengandung arti kecil. Tidak hanya ukurannya yang kecil, tapi dimungkinkan karena bunyi klitik yang terjadi saat masing-masing tokoh dalam wayang ini saling beradu. Bunyi benturan terdengar dari wayang yang berbahan dasar kayu ini. Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit.Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan wayang klitik memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun. Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlaras salendro dan berirama playon bangomati. Ada kalanya wayang klitik menggunakan gending-gending besar.
Wayang Klitik banyak ditemukan di daerah – daerah di Jawa Tengah seperti di Kudus. Disini Wayang Klitik masih berkembang dan biasa ditampilkan saat hajatan perkawinan,upacara bersih desa,dan berbagai upacara desa lainnya. Wayang Klitik sendiri oleh sebagian kalangan disakralkan. Di Kudus kini hanya tinggal satu daerah yang melestarikan kesenian Wayang Klitik tersebut,yaitu di Desa Wonosoco. Seluruh peralatan serta 52 buah tokoh wayang yang ada merupakan warisan turun temurun dari para pendahulunya. Tak banyak yang tahu siapa yang membawa Wayang Klitik hingga ke Desa Wonosoco.
Konon kesenian Wayang Klitik tumbuh seiring masuknya agama Islam di tanah Jawa,khususnya daerah Kudus. Dalam satu kelompok kesenian wayang Klitik, biasanya didukung 18 orang yang dipimpin langsung oleh dalang dengan dibantu dua asistennya. Sisanya dua orang pesinden dan para penabuh gamelan. Seiring dengan perkembangan zaman pula, wayang klitik lambat laun mulai terlupakan. Meskipun sulit mencari seniman wayang klitik, namun yang pasti masih ada pewarisnya di daerah kudus, Jawa Tengah. Baiklah pendengar, demikian informasi mengenai wayang klitik yang mulai terlupakan.
Hari ini akan memperkenalkan Tari Jepen di Kalimantan Timur. Kalimantan Timur adalah provinsi dimana sungai Mahakam mengalir. Di daerah pinggiran sungai Mahakam ini, berkembang sebuah tarian bernama Tari Jepen. Tari Jepen adalah tarian khas Kalimantan Timur yang dikembangkan oleh Suku Kutai dan Suku Banjar yang berada di pesisir sungai Mahakam. Tarian ini memiliki ragam gerak yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Tarian Japen merupakan salah satu tarian yang mempresentasikan kebudayaan Melayu yang dinamis, atraktif, energik dan bersahaja. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para penari wanita.Seiring perkembangan waktu, Tari Jepen pun mengalami banyak perkembangan, dimana dalam pertenjukannya tari Jepen teridiri dari dua jenis, yakni Tari Jepen Genjoh dan tari Jepen Eroh. Tari Jepen Eroh merupakan tari kreasi jepen yang tidak meninggalkan gerak ragam aslinya, diantaranya ragam penghormatan, ragam gelombang, ragam samba setangan, ragam samba penuh, ragam gengsot, ragam anak, dan lain-lain. Eroh dalam bahasa Kutai berarti ramai, riuh dan gembira. Sedang Tari Jepen Genjoh Mahakam merupakan salah satu tari kreasi dari tari jepen, dimana sebagian besar gerak dalam tari ini bersumber dari tari jepen, misalnya gerak gelombang, samba setengah, samba penuh, ayun anak, jalan kenyak, saluang mudik, dan gerak taktim. Secara umum, dapat dikatakan bahwa tari jepen genjoh mahakam merupakan tari yang merepresentasikan kebudayaan Melayu.Dalam pertunjukan, Tari Jepen diiringi dengan seni musik tingkilan. Musik tingkilan merupakan salah satu seni musik khas Kutai. Dalam musik tingkilan, alat musik yang di gunakan adalah gambus atau semacam alat musik petik, ketipung atau alat musik seperti gendang dengan ukuran yang lebih kecil, kendang, dan juga biola. Saat ini, tarian ini juga diiringi dengan piano. Selain itu, juga diiringi dengan nyanyian yang disebut dengan bertingkilan. Bertingkilan berarti bersahut-sahutan. Nyanyian ini biasanya dibawakan oleh dua orang penyanyi yang saling bersahutan dalam menyanyanyikan syair-syair yang berisi petuah atau pesan moral.Saat pertunjukan, penari Jepen menari dengan balutan busana perpaduan khas melayu yang kental akan nuansa islami dan campuran busana khas Indonesia. Dengan tata rias yang minimalis namun penari terlihat santun dan bersahaja. Saat menari, penari juga di lengkapi dengan selendang. Dahulu, Tari Jepen berfungsi sebagai hiburan dalam rangka penobatan raja dari Kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong dan sebagai tari pergaulan muda dan mudi, misalnya untuk memadu janji, berkasih-kasihan, dan sebagainya. Kemudian, sejak tahun 1970-an tarian ini umumnya dipergunakan dalam acara penyambutan tamu daerah, upacara perkawinan, dan untuk mengisi acara dalam hari besar lainnya, seperti HUT Provinsi Kalimantan Timur, dan lain-lain.