14 Juli kemarin, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menggelar pesta rakyat dengan tarian Thengul dan makan Sego Buwuhan. Menariknya, pesta rakyat ini menyajikan jumlah penari dan kuota makanan yang banyak. Dalam pesta rakyat Kabupaten Bojonegoro ini, sebanyak 2.050 orang menari Thengul di atas jembatan Sosrodilogo, Sungai Bengawan Solo, dan 26 ribu sego buwuhan tersaji untuk para pengunjung. Pesta rakyat Bojonegoro ini pun masuk catatan Museum Rekor Indonesia atau MURI. Sego Buwuhan mencatatkan diri dalam Museum Rekor Indonesia dalam hidangan terbanyak.
Sego Buwuhan merupakan makanan khas Bojonegoro. Sego Buwuhan terdiri atas dua kata. Dalam bahasa Jawa, Sego artinya ‘nasi’ dan buwuhan diambil dari kata buwuh yang dalam bahasa Jawa artinya ‘memberi atau menyumbang’. Buwuhan juga sering di ucapkan atau dibaca oleh orang Bojonegoro dengan “Buwohan”. Makanan ini sederhana, menunya adalah nasi yang di bungkus dengan daun jati. Lauk-pauknya tediri dari tumis pepaya muda, mi kuning, momoh tempe (tempe dimasak dengan bumbu khas daerah Bojonegoro), tewel (nangka muda) dan satai komo yang dipisah dan dibungkus daun jati. Satai komo adalah satai dari daging sapi yang dibumbu merah.
Sego Buwuhan lebih nikmat disajikan ketika nasinya masih hangat. Ketika kita membuka sego ini, langsung tercium aroma khas daun jati yang menambah selera makan. Rasa Sego Buwuhan juga sangat nikmat. Cocok disantap baik itu untuk menu sarapan pagi atau siang hari. Sego Buwuhan dahulu disajikan untuk acara hajatan, misalnya pernikahan, khitanan, dan kelahiran. Saat hajatan, Sego Buwuhan biasanya di bawa pulang dalam bentuk paket. Namun kini, sego Buwuhan tidak hanya bisa dinikmati saat hajatan saja, karena di Bojonegoro sudah banyak warung makanan yang menjajakan kuliner satu ini. Harganya juga cukup murah, sekitar Rp. 10.000 hingga Rp. 15.000 per porsi.
Lima mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), terdiri dari Muhamad Imam Muhajir (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Ajar Faflul Abror (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Regi Admar Yusup (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Sandi Sudjatmiko (Fakultas Ilmu Sosial dan politik), dan Diani Citra Ayu (Fikom), berhasil mengembangkan produk pembasmi jentik nyamuk menggunakan bahan utama dari limbah kulit jeruk nipis. Kelima mahasiswa tersebut mengembangkan produk bernama Jentik Nyamuk Mati (Jemukti). Menurut Imam Muhajir, salah satu mahasiswa yang mengembangkan Jemukti, dipilihnya kulit jeruk nipis, karena melalui penelusuran literatur yang melaporkan bahwa kandungan metabolit sekunder yang aktif terhadap jentik nyamuk banyak terkandung dalam jeruk nipis.
Selain itu, dipilihnya jeruk nipis sebagai bahan utama karena penggunaannya yang meningkat. Hal itu dilihat dari para penjual sari jeruk nipis yang membuang kulitnya begitu saja.
Dengan begitu, selain ditujukan untuk mengurangi jumlah penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia, Jemukti juga diharapkan mampu mengurangi limbah kulit jeruk nipis. Jemukti berbentuk tablet dan berfungsi membasmi anak nyamuk atau jentik menggunakan teknologi effervescent. Teknologi ini membuat pengguna tidak perlu membubuhkan pembasmi jentik nyamuk ke genangan air, tetapi cukup dengan mencelupkan tablet tersebut dan secara otomatis akan larut dalam air. Teknologi granul effervescent yang ketika dimasukkan ke dalam air akan muncul gelembung yang membantu kelarutan produk dalam air.
Jemukti terbuat dari bahan alami berupa kulit jeruk nipis yang diklaim lebih aman dari produk pembasmi jentik nyamuk lain yang umumnya menggunakan produk sintetis. Hal itu membuat Jemukti lebih terjamin aman dan dampak negatifnya lebih minim jika air yang sudah dicampur produk itu ditelan oleh manusia. Bahan yang digunakan lebih aman karena dari ekstrak kulit jeruk, sedangkan produk pembasmi jentik nyamuk yang beredar di pasaran dari bahan sintetik yang mengandung organofosfat, sehingga berbahaya pada manusia. Antara.
International Mask Festival atau IMF kembali digelar di Kota Solo sejak 5 hingga 6 Juli 2019 di Pendapi Gedhe, Balaikota, Surakarta. Festival topeng internasional ini merupakan acara tahunan berskala internasional yang mengusung konsep pertunjukan seni topeng dan kerajinan topeng. Sejumlah kesenian ditampilkan, satu di antaranya tarian yang berkisah tentang berdirinya Kerajaan Singo Barong di Alas Lodoyo. Tarian ini dibawakan oleh para penari dari Sanggar Seni Singo Yogo. Ada pula Tari Losari yang dibawakan Sanggar Purwa Kencana. Sementara itu, para penari dari Tedjo Dance membawakan Tari Bapang, dan Tari Topeng 5 Wanda serta Tari Fragmen yang ditarikan para penari dari Sanggar Seni Wijaya Kusuma.
Edisi pesona indonesia kali ini, memperkenalkan salah satu tarian yang ditampilkan pada International Mask Festival, yakni Tari Topeng losari. Tari Topeng Gaya Losari diciptakan Panembahan Losari, atau Pangeran Angkawijaya sekitar 400 tahun yang lalu. Tarian ini pada awalnya diciptakan untuk menyebarkan agama Islam. Dalam penyajiannya, Topeng Losari mengedepankan penokohan dari cerita Panji, berbeda dengan tari topeng di wilayah Cirebon lain yang mengedepankan perkembangan sifat manusia yang menjurus ke nilai filosofis.
Tari Topeng Losari punya 3 ciri khas gerak, yakni gerak Galeyong, pasang Naga Seser (kuda-kuda menyamping lebar) menyerupai sikap Kathakali di India, serta sikap Gantung kaki yang mirip dengan kaki patung Dewa Shiwa sebagai Nataraja dari India yang mengharuskan penarinya memperlihatkan telapak kakinya ke samping.Pusat tari topeng Losari, seperti topeng daerah lain, tak lain terfokus pada kotak yang diletakkan di panggung. Kotak dipercaya memiliki kekuatan supranatural bagi penari. Jadi, ada semacam korelasi gerak tersebut dengan perangkat pertunjukan di panggung.
lagu melayu yang berjudul PURA-PURA dibawakan oleh penyanyi Betharia Sonata, diciptakan oleh Husen Bawafie. Lagu ini bercerita tentang kekecewaan seseorang atas sikap kepura-puraan sang kekasih. Lagu PURA-PURA terdiri dari beberapa bait pantun. Liriknya pun sering diulang-ulang. Meski bercerita tentang kekecewaan hati, musik lagu ini tergolong bertempo cepat dan asyik untuk berdendang dan bergoyang. Lagu PURA-PURA berada di album DENDANG KENANGAN TERPOPULER MELAYU DELI. Betharia Sonata Lahir di Bandung, 14 Desember 1962, terkenal sebagai pelantun lagu Hati Yang Luka yang hits di tahun 90-an. Tak hanya lagu-lagu pop didendangkannya, ia pun bernyanyi lagu-lagu melayu dan daerah.