Mahasiswa Universitas Gadjah Mada-UGM berhasil mengembangkan alat yang mampu mengubah limbah anorganik seperti sampah plastik menjadi bahan bakar berupa bio oil dan biogas. Alat tersebut berupa furnace atau pemanas yang dinamai AL-Production yang dibuat oleh Yanditya Affan Almada dari D3 Teknik Mesin Sekolah Vokasi. Affan menjelaskan, pihaknya mengembangkan teknologi yang mampu mengubah sampah anorganik seperti plastik menjadi bahan bakar melalui proses pirolisis.
Mekanisme pirolisis yaitu proses memanaskan plastik tanpa oksigen dalam temperatur tertentu. Sementara peralatan yang dikembangkan berupa pipa yang terhubung dengan tabung kedap udara bertekanan tinggi berbahan stainless steel. Sementara untuk sumber energi yang berfungsi sebagai pemanas menggunakan aliran listrik. Cara kerja alat dimulai dengan memasukan sampah plastik ke dalam tabung vakum. Berikutnya tabung dipanaskan hingga mencapai 450-550 derajat Celcius. Tiga puluh menit kemudian keluar tetes-tetesan minyak dari pipa setelah melewati jalur pendinginan.
Affan menyebutkan alat yang dikembangkan ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan produk sejenis di pasaran. Salah satunya menggunakan listrik untuk proses pemanasan sementara kebanyakan produk yang sudah ada di dalam negeri menggunakan sumber energi berupa api untuk proses pemanasan sehingga suhu kurang terkontrol. Menurutnya, di luar negeri juga sudah ada alat pemanas, tapi hanya untuk memanaskan saja atau uji material. Alat ciptaan Affan dilengkapi destilator sehingga bisa digunakan untuk proses pirolisis yang mengubah sampah plastik jadi bahan bakar. Dengan alat ini harapannya bisa menjadi salah satu solusi dalam mengurai persoalan sampah plastik di Indonesia.
UGM.
pada 31 Juli 2019 Kementerian Pariwisata meluncurkan Lampung Krakatau Festival 2019 di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata di Jakarta. Lampung Karakatau Festival 2019 akan diadakan dari 23 hingga 25 Agustus dan sudah masuk dalam Calendar Of Event (CoE). Tenaga Ahli Menteri Bidang Manajemen Calendar Of Event (CoE) Esthy Reko Astuti mengatakan bahwa Lampung Krakatau Festival digelar sebagai momentum untuk semakin memperkenalkan Gunung Krakatau sebagai ikon pariwisata. Menurut Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim, selain mempromosikan Gunung Krakatau, festival ini juga mempromosikan kain tradisional Tapis Lampung. Perhelatan ini akan menampilkan peragaan busana dari berbagai desainer dalam Karnaval Budaya dan tapis lampung.
Lampung Krakatau Festival 2019 akan menampilkan empat acara dimulai dengan 'Pesona Kemilau Sai Bumi Ruwa Jurai'. Acara tersebut merupakan upacara pembukaan Lampung Krakatau Festival yang dipusatkan di Lapangan Saburai, Bandar Lampung, pada 23 Agustus. Pembukaan acara akan dimeriahkan dengan seni, drama, dan tari. Kemudian, ada pula pentas kesenian tradisional dan kreasi modern, serta pertunjukan grup musik. Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan 'Krakatau Expo' yang dimeriahkan dengan lomba kuliner dan pameran produk ekonomi kreatif di Lapangan Saburai, 23 Agustus hingga 25 Agustus. Krakatau Expo masih dimeriahkan pameran produk Usaha Kecil Menengah (UKM) ekonomi kreatif, lomba kuliner tradisional dan kuliner kekinian, lomba menghias 1.000 cupcake, serta penyajian 5.000 porsi pengolahan mie. Diadakan juga acara makan gratis bersama.
Ada pula Trip Krakatau pada 24 Agustus, dimana peserta akan berlayar menyaksikan metamorfosis Gunung Anak Krakatau, memperingati peristiwa meletusnya Gunung Krakatau, pada 26 Agustus 1883. Lalu digelar acara 'Parade Permainan Anak Tradisonal' di Lapangan Saburai. Dalam acara ini akan ada aneka seni pertunjukan permainan anak tradisional Lampung. Tak cuma itu ada pula permainan tradisional nusantara. Kemudian Karnaval Budaya dan Tapis Lampung akan berlangsung pada 25 Agustus.
Festival Teluk Humboldt 2019 di Papua tengah digelar dari 5 hingga 7 Agustus 2019. Acara ini diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-74 RI. Wakil Walikota Jayapura Rustam Saru mengatakan, ada 13 konten budaya Bumi Cendrawasih yang akan disajikan pada festival itu. Mengusung tema ‘Loving My Identity’, festival ini menampilkan beragam kekayaan budaya masyarakat Papua. Salah satunya keindahan Kampung Laut Enggros. Kampung Laut Enggros berada di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Lokasi kampung Laut Enggros berada di antara Tanjung Pie dan Saweri, serta dipisahkan dari daratan Papua oleh Selat Tobati. Kampung ini merupakan permukiman warga yang mengapung di atas laut. Ada sekitar 160 kepala keluarga yang mendiaminya.
Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional III Kementerian Pariwisata Muh. Ricky Fauziyani mengungkapkan, Kampung Laut Enggros adalah destinasi yang unik. Masyarakat Papua identik dengan budaya dan kehidupan di pegunungan. Namun, Kampung Laut Enggros menawarkan sisi lain luar biasa. Mereka sepenuhnya hidup di atas laut, sama seperti suku Bajo. Seluruh bangunan dan aktivitas masyarakatnya dilakukan di atas air. Karena berada di atas air, konektivitas rumah antar warga dihubungkan dengan jeramba, alias jembatan kayu. Panjang total jeramba mencapai 2.000 meter.Keindahan Kampung Laut Enggros semakin lengkap dengan hadirnya Jembatan Holtekam atau biasa disebut Jembatan Merah. Jembatan sepanjang 732 meter itu menjadi landmark baru Papua. Selain itu, Teluk Youtefa memiliki Gunung Mher yang eksotis. Di kawasan sama, terdapat pula Goa Mher yang dikeramatkan.
Kampung Laut Enggros memiliki 2 zona. Pertama untuk para lelaki di zona Panggung Adat. Di dalam bangunan ini, para lelaki belajar hukum adat dan pranata sosial. Sedangkan kaum perempuan diberi wilayah di sekitar hutan mangrove. Mereka bisa menjalankan berbagai aktivitas, seperti menangkap kepiting. Kampung Laut Enggros juga dilengkapi dengan villa terapung, gazebo, balai adat, dan berbagai spot budidaya ikan.
Berwisata ke Kampung Laut Enggros, anda akan merasakan banyak pengalaman wisata. Anda juga bisa belajar kearifan lokal masyarakat setempat. Kampung Laut Enggros memiliki filosofi T’sokatd, Tbosadd, dan Trasyud. Artinya, mari berkumpul lalu saling berbicara dan berikutnya direalisasikan dalam bekerja. Selain itu, Kampung Laut Enggros memiliki beragam tarian dengan filosofi tinggi. Ada Tari Shia yang hanya diperuntukan untuk menyambut tamu-tamu penting. Ada Tarian Obipapa yang menjadi gambaran persaudaraan dan hangatnya masyarakat di sana. Ada pula Tari Omande yang menggambarkan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anda pun bisa belajar ketiga tarian tersebut ketika berwisata kesana.
Kota Yogyakarta dikukuhkan sebagai Kota Budaya ASEAN periode tahun 2018-2020. Pengukuhan itu sendiri dilakukan saat Forum ASEAN Ministers Responsible for Culture and Art 2018 lalu. Merespon pengukuhan itu, pemerintah Kota Yogyakarta menggelar Jogya Cross Culture pada 3 hingga 4 agustus mendatang di kawasan wisata Titik Nol Kilometer bekerjasama dengan komunitas Budayawan dan Seniman Muda.
Elemen masyarakat dari 14 Kecamatan Kota Yogya akan terlibat langsung dalam beberapa rangkaian kegiatannya. Rangkaian kegiatan ini mengusung semangat Gandeng Gendong, yakni program pemberdayaan yang jadi jargon pemerintah kota Yogya. Gandeng Gendong merupakan pemberdayaan dengan filosofi gotong royong berbagai elemen masyarakat yang terbagi menjadi 5K yakni Kota, Kampung, Kampus, Komunitas dan Korporat. Khususnya bagi Yogya, elemen ini ditambah dengan satu lagi yaitu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
pada 3 Agustus, Lintas budaya akan dipresentasikan pada hari pertama Jogja Cross Culture lewat penampilan Wayang Kota. Ini merupakan kolaborasi Wayang Ukur yang diperkenalkan oleh maestro wayang Sigit Sukasman dengan lima dalang generasi milenial. Mereka akan menampilkan lakon Kancing Jaya.
Sedangkan pagelaran tanggal 4 Agustus 2019 menjadi momentun launching program Gandes Luwes, semacam program pembenahan fisik dan non fisik meliputi rehabilitasi bangunan lama dan baru, agar menampilkan karakter khas Jogja, pengenaan busana khas yang tengah digencarkan pemerintah Kota Yogyakarta.
Puncak Jogja Cross Culture menyajikan pertunjukkan Historical Orchestra dan Cross Culture Performance yang mengharmonisasikan seni karawitan, musik orkestra, kor, dan seniman-seniman Jogja yang berkolaborasi dengan seniman internasional dalam satu panggung. Adapun representasi akar budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dihadirkan lewat Tepas Keprajuritan, akan berpartisipasi juga di Cross Culture Performance. Elemen komunitas juga ikut serta, selain komunitas seni musik, tari, visual, juga bergabung pada program ini komunitas permainan traditional, multimedia, dan forum-forum masyarakat online.
Antara.