Indonesia terkenal akan kulinernya yang lezat dan kaya akan cita rasa. Tanpa terkecuali kuliner di Provinsi Sumatera Utara. Ada salah satu kuliner khas Batak yaitu Arsik, yang begitu lezat dan menggugah selera.
Arsik merupakan kuliner khas Batak yang begitu lezat karena kaya akan bumbu rempah. Nama lain dari kuliner berbahan dasar ikan mas berwarna merah ini ialah Na Niarsik. Nama ini diambil berdasarkan proses memasaknya. Na Niarsik berarti proses memasaknya dengan cara dimarsik atau dikeringkan. Jadi, ikan ini dimasak secara terus menerus sampai kuahnya kering hingga bumbunya menyerap ke ikan tersebut.
Arsik begitu penting dalam adat Batak. Menurut kepercayaan masyarakat, ikan yang dimasak secara utuh ini merupakan perlambang keutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, Arsik bukan sekedar hidangan biasa karena erat kaitannya dengan filosofi adat masyarakat Batak.
dalam upacara adat tertentu ada tata cara khusus dalam menyajikan kuliner Arsik ini. Salah satunya adalah tata cara penataan kuliner ini. Selain ikannya harus berbentujk utuh dari kepala hingga ekor, sisiknya pun tak boleh dibuang. Selain itu, posisi kepala ikan tersebut disajikan menghadap ke pihak yang menerima. Jumlah yang diberikan pun harus ganjil, seperti, satu, tiga, lima, dan tujuh. Satu ekor diberikan untuk pasangan pengantin baru. Tiga ekor untuk pasangan suami-istri yang sudah memiliki anak. Sedangkan lima ekor untuk pasangan atau orang tua yang sudah memiliki cucu, dan tujuh ekor adalah untuk pemimpin masyarakat Batak.
jumlah Arsik yang diberikan beragam karena ada maksud di dalamnya. Misalnya, tiga ekor ikan diberikan untuk pasangan suami-istri yang telah memiliki anak. Hal itu adalah untuk melambangkan jika anggota keluargamereka bertambah satu orang. Satu untuk sang Ayah, satu untuk sang Ibu dan satu lagi untuk sang anak yang baru lahir tersebut. Sedangkan, bagi pasangan yang baru menikah, jumlah ikan yang diberikan orang tua si gadis hanya satu ekor karena untuk melambangkan kedua orang yang mengikat diri dalam jalinan pernikahan tersebut telah menjadi satu.
Edisi kali ini, akan menghadirkan lagu-lagu dari daerah Gorontalo. buka perjumpaan kali ini dengan sebuah lagu dari daerah Gorontalo berjudul Binde Biluhuta yang dibawakan oleh Eddy Silitonga.demikianlah sebuah lagu berjudul Binde Biluhuta yang dibawakan oleh Eddy Silitonga, seorang penyanyi legendaris Indonesia. Binde Biluhuta adalah salah satu kuliner khas dari Gorontalo berupa sup jagung. Sebagian masyarakat lokal juga menyebutnya dengan milu siram. Seperti diketahui tanaman jagung merupakan salah satu komoditas andalan dari Gorontalo. Jadi tidak mengherankan jika makanan berbahan dasar jagung mudah ditemukan di daerah ini. Lagu ini menceritakan tentang makanan yang sangat melekat dengan kesaharian masyarakat daerah ini. Daerah Gorontalo dikenal juga dengan julukan Kota Serambi Madinah. Provinsi ini terletak di semenanjung Gorontalo, di Pulau Sulawesi, tepatnya di bagian barat dari provinsi Sulawesi Utara.
Baiklah pendengar, berikut kita dengarkan terlebih dahulu sebuah lagu dari daerah Gorontalo berjudul Hulandalo Lipuu yang dibawakan oleh Rama Aiphama. anda telah mendengarkan lagu dari daerah Gorontalo berjudul Hulandalo Lipuu. Kata Hulandalo Lipuu berarti Gorontalo Daerahku. Hampir setiap daerah memiliki lagu yang menceritakan tentang tanah kelahiran atau kampung halaman. Demikian pula dengan lagu Hulandalo Lipuu ini.
Lagu ini dibawakan oleh Rama Aiphama, seorang penyanyi Indonesia yang berasal dari daerah Gorontalo. Rama dengan penampilannya yang unik dan khas ini juga membawakan lagu bergenre melayu dan keroncong.
Pelangi Nada edisi kali ini kita tutup dengan lagu berjudul Dabu-Dabu dan Hirameya yang dibawakan oleh Eddy Silitonga. Sampai jumpa pada Pelangi Nada edisi berikutnya.
Warna Warni kali ini akan mengetengahkan kepada Anda tentang “Hari Hemophilia Sedunia” yang jatuh setiap tanggal 17 April. Hemofilia adalah kelainan genetik pada darah yang disebabkan adanya kekurangan faktor pembekuan darah. Penyakit ini menyebabkan lambatnya proses pembekuan dara jika terjadi luka. Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari 2 kata yaitu haima dan philia. Haima berarti darah sedangkan philia berarti cinta atau kasih sayang. Hemofilia adalah suatu penyakit yang diturunkan, dari ibu kepada anaknya pada saat sang anak tersebut dilahirkan. Darah pada seorang penderita penyakit hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada penderita penyakit ini tidak secepat orang normal.Keadaan ini dapat menimbulkan kecacatan fisik penderita dan berujung kepada kematian apabila tidak atau terlambat ditangani. Selain itu Hemofolia juga dapat menimbulkan beberapa komplikasi penyakit lainnya seperti kerusakan sendi dan otot, Hematuria atau rasa nyeri yang tajam akibat gumpalan darah terjadi di uretra (saluran yang menghubungkan kantung kemih ke lingkungan luar tubuh), anemia, pendarahan sistim pencernaan dan pendarahan intrakranial atau pendarahan di dalam tulang tengkorak.
Hari Hemofilia Sedunia diperingati setiap tanggal 17 April dan digagas oleh The World Federation of Hemophilia (WFH), badan dunia yang telah berdiri sejak 1963 dan telah diakui secara resmi oleh WHO (Badan Kesehatan PBB). Tujuan peringatan hari Hemofilia sedunia ini adalah menciptakan kesadaran tentang penyakit hemophilia. Tanggal 17 April dipilih karena bertepatan dengan hari ulang tahun pendiri WFH, Frank Schnabel.. WFH mencatat bahwa satu dari seribu orang di dunia menderita kelainan darah ini, namun tidak mendapat perawatan yang selayaknya. Oleh karena itu, kesadaran keluarga, teman, dan orang sekitar perlu ditingkatkan.World Federation of Hemophilia(WFH) juga menyebutkan jika ada setidaknya 400 ribu orang yang menderita penyakit ini secara global. Yang mengejutkan adalah, penyakit yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat di Indonesia ini ternyata memiliki banyak penderita.Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) memperkirakan jumlah pasien hemofilia mencapai lebih dari 25 ribu orang. Selain itu peringatan Hari Hemofilia Sedunia juga bertujuan mendorong peningkatan pelayanan kesehatan bagi penderita Hemofilia dan kelainan pembekuan darah lainnya di dunia.
Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Prof dr Djajadiman Gatot mengatakan,sekitar 50 persen penyandang hemofilia merasakan kesakitan yang terus-menerus dan 59 persen penderita memiliki keterbatasan mobilitas. Sebagian besar penyandang penyakit ini ialah laki-laki. Sementara itu Ketua Perhimpunan Hematologi dan Tranfusi Darah Indonesia (PHTDI) DR Dr Tubagus Djumhana Atmakusuma SpPD-KHOM menjelaskan, pengobatan dan perawatan pada penyandang hemofilia harus dilakukan seumur hidup. Hal ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengobatan hemofilia melalui pemberian faktor konsentrat VIII, IX, atau faktor VII membutuhkan biaya yang tinggi dan bergantung pada kondisi pendarahannya. Dengan alas an ini, sangatlah penting pengetahuan, kesadaran, dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk tenaga medis, keluarga, pemerintah, dan masyarakat dalam penanganan hemofilia. Dukungan dari keluarga penting agar penderita memiliki kepercayaan diri serta memiliki semangat untuk tetap sehat..
demikian edisi Warna Warni kali ini dengan tema Hari Hemofilia Sedunia yang jatuh setiap tanggal 17 April. Kita jumpa lagi dalam edisi Warna Warni berikutnya dengan tema-tema menarik lainnya.
Edisi kali ini, akan memperkenalkan “Tradisi Ngaturan Buah atau tradisi persembahan durian di desa Sidatapa , Bali.
Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, merupakan salah satu desa yang kaya dengan produksi durian lokal. Pada musim panen tiba ada ritual unik yang dilakukan warganya.Ritual itu dilakukan dengan persembahan durian yang dihasilkan melalui sebuah upacara “Ngaturan Buah.”. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun. Kemungkinan sejak tahun 735 saka atau sekitar tahun 767 masehi. Upacara Ngaturan buah biasanya akan dilangsungkan selama tiga hari. Ritual itu dilangsungkan sebagai wujud ucapan syukur dan ungkapan terima kasih pada Dewa yang memelihara tumbuhan.
Ritual “Ngaturan Buah “ itu dilangsungkan sebagai wujud ucapan syukur dan ungkapan terima kasih pada Dewa yang memelihara tumbuhan. Ritual Ngaturan Buah dilakukan di Pura Bale Agung. Masing-masing warga membawa tiga butir buah durian. Para perempuan membawa durian dengan menempatkannya dalam besek. Sementara para pria membawanya dengan menggunakan kisa, atau sangkar ayam yang terbuat dari daun kelapa. Setelah upacara di Pura Bale Agung ini, baru dilanjutkan dengan upacara di kebun di rumah.
Pada hari pertama, warga desa wajib membawa tiga butir buah durian. Apabila ada yang memiliki buah-buahan lain, dipersilahkan mengumpulkan ke pura. Biasanya masyarakat yang memiliki buah manggis, akan membawa sedikitnya tiga kilogram manggis.
Sementara yang memiliki buah rambutan, membawa sedikitnya tiga ikat.Hari kedua, masyarakat kembali wajib membawa dua buah durian. Sedangkan pada hari ketiga, hanya satu buah durian yang wajib dibawa.Warga tidak berani melanggar dan mereka mengerti betul sehingga kalau kebetulan di kebun tidak ada buah, maka bisa membeli atau bahkan meminta ke kerabat atau tetangga.
Tradisi ritual diakhiri dengan sembahyang bersama. Habis sembahyang, warga desa dipersilakan pulang ke rumah masing-masing dengan membawa kembali buah yang sudah mereka haturkan. Berdasarkan kepercayaan kami, sebelum ada tradisi ngaturan buah dilakukan, warga tidak boleh menghaturkan buah hasil panennya di rumah ataupun di kebun. Persembahan pertama harus di Pura Desa, sebagai wujud syukur kepada Sanghyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan, dan juga leluhur yang berasal dari Gunung Raung.
salah satu tokoh warga Desa Sidatapa I Wayan Ariawan mengatakan ritual yang tidak ada di daerah lain ini layak untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Untuk itu, dia mencoba merintis agar setiap ada ritual ini , digelar juga festival. Selain untuk melestarikan tradisi, pengunjung bisa menikmati durian yang dihasilkan petani. Dampaknya akan memberikan keuntungan dari penjualan durian yang lebih banyak dari biasanya.