ofra voi

ofra voi

23
April

Jenderal senior Myanmar Min Aung  Hlaing dikabarkan akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta pada 24 April. Bila benar, maka ini akan menjadi kunjungan luar negeri pertama Min Aung Hlaing sejak pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Myanmar pada 1 Februari lalu.  Jenderal Min Aung Hlaing adalah ketua Dewan Administrasi Negara Myanmar, yang merupakan pemimpin pemerintahan de facto. Dia juga adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar. Banyak yang kemudian menyimpulkan Jenderal Min Aung Hlaing lah otak kudeta yang menyebabkan aksi demo berkepanjangan di Myanmar saat ini.

Akankah rencana kedatangan sang Jenderal terealisasi?  Tentu masih harus menunggu, walaupun  tidak lama lagi.

Namun di sisi lain, desakan para pegiat Hak Asasi Manusia sudah menguat kepada para petinggi ASEAN.  Asia Justice and Rights (AJAR), misalnya, menilai kehadiran Hlaing perlu dikritisi lantaran manuver berdarahnya telah menelan banyak korban. Kudeta Hlaing terhadap pemerintahan terpilih yang dipimpin kelompok pro-demokrasi Aung San Suu Kyi setidaknya telah mengakibatkan 737 warga tewas per Senin yang lalu (19/4), menurut Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) Burma.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Pertemuan ASEAN mendatang bisa mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar?

Bagaimanapun, ini dapat menjadi kesempatan bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mendesak pemerintahan militer di Myanmar menghentikan kekerasan terhadap warga sipil dan memulihkan proses demokrasi. Sebagai bagian dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer yang berlangsung di Myanmar tentu menjadi perhatian dunia internasional. Respons ASEAN sangat signifikan dalam konteks menjaga keberlangsungan demokratisasi di Myanmar. Bagaimana ASEAN menjaga politik di kawasan Asia Tenggara sangat ditunggu-tunggu. Hanya saja ada prinsip non-interferensi yang selama ini menjadi ganjalan. Meski begitu, konon prinsip ini masih bisa fleksibel dalam batasan prinsip-prinsip ASEAN lainnya, terutama terkait kedaulatan nasional dan konsensus. Diharapkan ASEAN dapat mengajukan inisiatif diplomatik dalam format dialog dan komunikasi dengan pihak junta militer di Myanmar. Bukan untuk mencampuri urusan dalam negerinya, tapi untuk menjaga keamanan di wilayah kawasan. 

Para pemimpin ASEAN hendaknya bisa memanfaatkan kesempatan ini sebaik2nya dan menghasilkan kesepakatan penting yang berujung pada perdamaian di Kawasan Asia Tenggara.

22
April

Menjelang lebaran Idul Fitri, biasanya mayoritas masyarakat Indonesia akan melakukan mudik atau pulang kampung untuk bersilaturahmi dengan keluarga, dan kerabat yang tinggal di kampung.  Untuk tahun 2021 ini, masyarakat Indonesia tidak  mudik ke kampung karena pemerintah Indonesia telah menetapkan larangan mudik lebaran pada 6 hingga 17 Mei 2021. Kebijakan larangan mudik bertujuan untuk mencegah penularan pandemi Covid-19.  Larangan mudik tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 13 Tahun 2021.

Namun, pemerintah mengizinkan destinasi-destinasi wisata dibuka untuk masyarakat selama libur lebaran. Kebijakan pemerintah mengizinkan destinasi-destinasi wisata dibuka selama lebaran menuai kritik dari banyak pihak. Pemerintah melarang masyarakat melakukan mudik karena khawatir adanya peningkatan penularan Covid-19, tetapi bukankah kegiatan berwisata juga punya potensi yang sama?

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy  menerangkan, pembukaan tempat wisata selama lebaran bertujuan menyeimbangkan situasi ekonomi. Dengan membuka destinasi wisata, pergerakan arus barang jasa dan daya beli dan daya konsumsi masyarakat diharapkan masih akan tumbuh di masa lebaran tahun ini.

Selain itu, Menteri Muhadjir Effendy sampaikan bahwa pelarangan mudik lebaran 2021 ini berada di dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Mikro. Hal tersebut berbeda dari larangan mudik yang dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Dalam masa pembatasan sosial skala mikro ini, menurut Muhadjir Effendy, tidak seketat pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar. Jadi, yang dilarang dalam masa lebaran 2021 ini hanyalah aktivitas mudik ke kampung.

Pemerintah dalam pernyataannya menyampaikan bahwa pembukaan destinasi-destinasi wisata harus diikuti dengan penegakan protokol kesehatan. Pemerintah meyakini bahwa pembukaan destinasi-destinasi wisata tidak akan memperburuk kondisi pandemi Covid-19  selama masyarakat menerapkan protokol kesehatan.

Timbul pertanyaan apakah masyarakat sudah mengetahui seperti apa protocol kesehatan di tempat wisata? Banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang ditemukan di tempat-tempat wisata selama liburan hari-hari besar selama ini menunjukan bahwa masyarakat belum sepenuhnya mengetahui seperti apa protocol kesehatan di tempat wisata.  Sehingga, tugas pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah bersama  satuan tugas Covid-19 di daerah adalah segera mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai protocol kesehatan di tempat-tempat wisata, terutama protokol kesehatan di wahana wisata air seperti kolam renang dan pemandian air panas. Hal lebih penting lagi adalah pemerintah daerah dan satuan tugas Covid-19 daerah harus menjamin penerapan protokol kesehatan di tempat wisata.

16
April

Pasukan asing di bawah komando negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) akan menarik diri dari Afghanistan dalam koordinasi bersama dengan tentara Amerika Serikat pada 11 September 2021 mendatang. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Brussel, Belgia, pada Rabu, 14 April 2021. Jerman juga mengatakan akan menyamai rencana Amerika Serikat untuk pergi dari Afghanistan setelah 20 tahun perang. Penarikan ini akan menutup buku tentang sejarah perang terpanjang Amerika. Di sis lain, ara kritikus menilai  bahwa perdamaian tidak ada artinya setelah pertempuran dua dekade di Afghanistan.

Ketika rencana Biden untuk mengumumkan penarikan pasukan AS diungkap, komunitas intelijen AS pada Selasa (13/4) menyampaikan kembali kekhawatiran mendalam mereka tentang prospek pemerintah di Kabul yang didukung AS. Kedatangan pasukan NATO ke Afghanistan pada Oktober 2001 lalu  bertujuan untuk menggulingkan rezim Taliban, mengusir Al-Qaeda keluar dari negara itu, dan meletakkan dasar bagi "perang melawan terorisme" global. Sekarang, dengan keluarnya  Amerika dan NATO dari Afganistan, apakah berarti  persoalan terorisme global telah selesai?

Sebenarnya Amerika sejak dibawah kepemimpinan Donald Trump telah berencana menarik mundur seluruh  pasukan Amerika di Afghanistan. Sempat menjadi pertanyaan, apakah Joe Biden akan mengikuti niat atau semangat Donald Trump dalam hal ini. Dalam masa kepemimpinan Trump, pemerintah AS mencapai kesepakatan dengan Taliban untuk mengurangi jumlah pasukan AS secara bertahap hingga nol, pada Mei 2021. Kini, Biden menganjurkan untuk mempertahankan pasukan kontraterorisme kecil di Afghanistan sebagai cara untuk memastikan bahwa kelompok ekstremis seperti Al-Qaeda tidak dapat melancarkan serangan di AS.

Rencana Biden,  pasukan AS di Afghanistan akan ditarik pada tanggal 11 September 2021.  Pemilihan tanggal ini  sangat simbolis, karena  menandai 20 tahun serangan Alqaidah di Amerika Serikat.

Yang perlu menjadi renungan adalah, setelah 20 tahun perang melawan terorism, berapa jumlah orang yang tewas dan  biaya/ anggaran yang terbuang sia-sia? Baik dari sisi manusia maupun aspek ekonomi, langsung maupun tidak langsung, Amerika maupun dunia harus menanggung biaya yang tidak sedikit  pasca perang. Bagaimana cara negara-negara  terkait  menebus kerugian  yang sudah terjadi?  Apalagi, mau tak mau selalu ada dampak pada negara2 lain. 

14
April

Dua kekuatan besar dunia unjuk kekuatan di Laut China Selatan. Rasanya demikian ungkapan yang dapat digunakan sehubungan peningkatan armada Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut China Selatan. Sebagaimana diberitakan media massa internasional, selama akhir pekan lalu, kegiatan militer yang dilakukan Tiongkok dan Amerika Serikat di Laut China Selatan meningkat.

Beijing akhir pekan lalu telah megirim kapal induk Liaoning menuju perairan Laut China Selatan. Sementara  Amerika Serikat dan Filipina pun  telah  mempersiapkan Latihan militer gabungan di Kawasan laut yang menjadi sengketa tersebut. Bersamaan dengan itu Washington dan Manila juga membicarakan kemungkinan ditingkatkannya Kerjasama pertahanan kedua negara.

Gerakan militer maupun wacana diplomatik yang dilontarkan menunjukkan adanya niatan, baik oleh Amerika Serikat maupun Tiongkok, untuk berebut pengaruh di Kawasan Indo Pasifik. Eskalasi Gerakan militer kedua negara ini tidak hanya ditunjukkan di kawasan laut China Selatan, melainkan juga di Laut China Timur. Isu Taiwan menjadi alasan bagi kedua negara untuk saling mengerahkan pasukan di laut. Amerika Serikat menghadirkan kapal Induk USS Theodore Rooseevelt dan Nimits di Laut China Timur, sementara Tiongkok pun mengimbanginya dengan kegiatan Latihan militer di selat Taiwan. Dapat dikatakan bahwa hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok pasca pemerintahan Donald Trump belum menampakkan adanya perubahan yang signifikan. Dalam situasi ini, kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat pada era Biden -Harris pun menjadi  menarik perhatian.

Menurut visi Biden, Kebijakan Luar Negeri Washngton adalah menjadikan Amerika Serikat kembali sebagai pemimpin global, baik secara geo poltik maupun geo ekonomi,  dengan salah satu fokusnya adalah Indo Pasifik. Haluan politik luar negeri Biden- Harris ini tentu menjadi perhatian Beijing. Tiongkok tentu harus melakukan upaya mengimbangi gerakan Amerika Serikat dalam mewujudkan visi politik luar negerinya.

Memang ada petunjuk kedua negara besar ini akan mengendorkan perang dagang yang memuncak pada tahun tahun terakhir pemerintahan Donald Trump. Namun hubungan keduanya pada awal pemerintahan Biden tentu belum sepenuhnya menjadi harmonis.

Dalam perspektif inilah dapat dipahami terjadinya gerakan militer baik di laut China Selatan maupun Laut China Timur.