Larantuka merupakan ibukota Kabupaten Flores Timur, provinsi Nusa Tengggara Timur. Vatikannya Indonesia itulah julukan untuk kota di ujung timur pulau Flores ini. Kota ini memiliki tata kota yang menarik. Kota dibangun memanjang dari pesisir barat sampai ke pesisir timur. Sedang Larantuka sendiri diapit gunung dan laut di selatan dan utara, sehingga tak heran jika panorama alamnya indah. Berjuluk Vatikannya Indonesia, Larantuka menawarkan wisata rohani bagi umat nasrani dimana ada kegiatan paskah yang digelar meriah tiap tahun.Wisata rohani ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah dalam sejarah umat kristen-katolik di Larantuka. Selain daya tarik wisata rohani, Larantuka juga menawarkan berbagai keindahan alam. Salah Satunya Pantai Kawaliwu.
Pantai Kawaliwu terletak di Kelurahan Riangkotek, Kecamatan Lewo Lema, Flores Timur, 17 kilometer jauhnya dari kota Larantuka. Jaraknya hanya sekitar 1 jam dari pusat kota dengan menyusuri garis pantai timur ke arah pantai Kawaliwu. Tidak hanya menyuguhkan keindahan lautnya saat matahari terbenam. Namun juga fenomena air panas alami yang banyak keluar di bebatuan pantainya.Pantai Kawaliwu sangat indah. Di bagian depan anda dapat menyaksikan gunung yang hijau dan rimbun pepohonan. Di tempat yang sama pula, kita juga dapat melihat pantai yang tenang dengan air yang sangat jernih. Sementara di pinggir pantai, pohon kelapa menghias bibir pantai ini.
Bibir Pantai Kawaliwu ini memang bukan pasir, bukan juga karang, tetapi bebatuan hasil sendimentasi, seperti erosi atau terbawa aliran sungai. Berwarna coklat kehitaman, berukuran sangat besar diameter satu meter, hingga yang kecil seperti kelereng.Di sela-sela batuan yang tersusun rapi di pantai itu, terdapat aliran-aliran air yang jika Anda sentuh terasa hangat. Sedangkan jika digali semakin dalam, semakin panas.Semua lubang yang digali akan mengeluarkan air yang sama, hangat dan tawar, tidak asin dan belum bercampur dengan air laut. Jika ingin merendamkan kaki di pantai ini, anda bisa menggali batu-batuan yang ada di pinggir pantai. Air panas di pantai Kawaliwu bersumber dari Gunung Ile (Mandiri) Padung di Kecamatan Lewolema. Panas dari perut bumi terus menerus dikeluarkan melalui air yang mengalir ke arah pantai. Selain berendam air panas, sama seperti pantai pada umumnya, anda bisa berenang di pantai ini. Ketika sore menjelang, jangan beranjak pulang terlebih dahulu, nikmatilah keindahan matahari tenggelam di pantai kawaliwu.
Tim Indonesia menjadi tiga terbaik dalam Itaewon Global Village Festival 2018 di Kota Seoul Korea Selatan. Pada festival yang diikuti 38 Negara ini Indonesia mengusung tema Magnificent Diversity. Festival itu berlangsung selama dua pekan pada bulan Oktober dan digelar di kawasan internasional paling terkemuka di Kota Seoul. Festival bertema Let's Beat, Itaewon ini sukses menyedot 1,4juta pengunjung. Wakil Kepala Perwakilan RI Seoul Siti Sofia Sudarma kepada RRI Voice of Indonesia menjelaskan, festival ini merupakan yang terbesar dan melibatkan komunitas asing yang ada di Seoul dan sekitarnya. Berdasarkan penilaian juri, penampilan Indonesia menjadi magnet dalam kegiatan itu.
Insert :Tadi memang tema yang diusung adalah multiculturalism, merayakan keberagaman kultur yang dimiliki berbagai komunitas di Korea termasuk komunitas asing di Seoul dan lain sebagainya. Jadi yang dinilai tidak hanya kekayaan budayanya tetapi juga ada stand-stand produk tradisional kemudian juga ada tarian-tariannya, performance, ada pawai, jadi yang menjadi penilaian panitia adalah berbagai elemen itu.
Indonesia yang digawangi KBRI Seoul melibatkan 40 WNI dan diaspora Indonesia menampilkan keragaman budaya Indonesia dalam pawai budaya. Tim Indonesia terdiri dari Kelompok Tari Tradisional Indonesia, Persatuan Pelajar Indonesia, Darma Wanita Persatuan KBRI Seoul dan Paguyuban Kedaerahan Indonesia serta Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan. Mereka mengenakan aneka busana tradisional. Indonesia juga menampilkan Tari Sabalah asal Sumatera Barat dan Tari Topeng Kelana di panggung utama. Selain itu, berbagai kerajinan dari pelosok Nusantara dipamerkan di stand Indonesia. Sebagai tiga negara peserta terbaik Indonesia mendapatkan mendali perunggu.
Festival Budaya Itaewon digelar sejak tahun 2008 oleh Asosiasi Kawasan Pariwisata Itaewon, dan didukung Kantor Pemerintah Distrik Yongsan, Seoul. Itaewon Global Village Festival diadakan setiap musim gugur bertujuan untuk mengukuhkan Korea Selatan sebagai negara tempat bertemu dan berkembangnya berbagai tradisi budaya baik budaya asli Korea Selatan maupun budaya asing. Festival ini juga menjadi salah satu perayaan internasional paling terkenal di Seoul. Selama festival berlangsung, berbagai sajian budaya dipertontonkan di tiga panggung yang berbeda. Berbagai aliran musik, tari, drama dan permainan unik hingga pentas K-pop tanpa henti memanjakan pengunjung.
Pelangi Nada kali ini saya putarkan lagu berjudul “Olle Ollang”, dinyanyikan oleh Adrian Pawitra. Lagu ini merupakan salah satu lagu yang terkenal di Madura, Jawa Timur dan bercerita tentang kerinduan sepasang kekasih yang berpisah jauh.Tiap bait memiliki satu cerita. inilah Lagu “Olle Ollang”.
Anda baru saja mendengarkan lagu “Olle Olang” yang dinyanyikan oleh Adrian Pawitra. Lagu ini terdiri dari 4 bait pantun. Tiap bait terdiri dari empat baris. Baris pertama dan kedua berupa sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi. Bait pertama bercerita tentang perahu yang akan berlayar pulang ke Pulau Madura. Bait ini juga menggambarkan betapa senang hati sang pria yang akan berjumpa dengan kekasihnya. Bait kedua bercerita tentang perahu yang sudah tiba ditujuan. Bait ketiga bercerita tentang kerinduan sang wanita pujaan hati dan bait terakhir bercerita tentang bagaimana sang pria juga punya kerinduan yang sama. Selama berlayar, hanya bayangan sang kekasihlah yang ada di pikirannya..
lagu dari provinsi Jawa Timur lainnya segera hadir ke ruang dengar anda, yakni berjudul “Pajjer Legguh’. Lagu yang dinyanyikan oleh Dewi Kumalasari ini mengisahkan kehidupan petani Madura. Pendengar kita nikmati “Pajjer Legguh”.
Anda baru saja mendengarkan Lagu “Pajjer Legguh’. Lagu ini merupakan lagu asli daerah Sumenep, Jawa Timur. Dengan tempo cepat, lirik lagunya, menceritakan ketika fajar mulai merekah, sang petani akan memulai kembali kisah hidupnya dengan lahan-lahan sawah yang hijau. Dia menyadari, apa yang dia lakukan merupakan kewajibannya. Dengan bercocok tanam yang hanya berbekal pengalaman dari moyangnya, dia berharap dapat menjadi manusia yang berguna bagi negara dan bangsanya. Mengakhiri Pelangi Nada daerah kali ini, lagu berjudul “Kacong Tor Jebbing”, hadir ke ruang dengar anda. Diciptakan oleh Adrian Pawitra, seniman sekaligus penyusun Kamus Bahasa Madura – Indonesia, Lagu ini menceritakan tentang para Putra dan Putri Madura yang mengenakan baju adat madura serta kesopanan tingkah laku sehingga menampakkan karakter yang membanggakan. Lagu ini sendiri bertempo lambat. Kacong Tor Jebbing sering diperdengarkan saat acara pemilihan Duta Wisata di 4 kabupaten di pulau Madura.
Hari ini akan memperkenalkan kepada anda Kesenian Okokan. 10 Oktober kemarin, 200 delegasi Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia -Monetary Fund- World Bank (IMF-WB) mengunjungi objek wisata Tanah Lot, Kabupaten Tabanan, Bali. Kedatangan para delegasi tersebut disambut dengan kesenian Okokan yang dimainkan oleh masyarakat setempat. Setelah disambut dengan kesenian khas Tabanan tersebut, para delegasi ini kemudian disuguhkan jajanan khas Bali. Mereka mengaku terkesan dengan keindahan pemandangan di Tanah Lot.
Edisi pesona indonesia kali ini, akan memperkenalkan kesenian Okokan, yang ditampilkan untuk menyambut para delegasi IMF-WB yang berkunjung ke Tanah Lot. Okokan adalah alat musik semacam bel berukuran raksasa yang dibuat dari kayu dan dijadikan alat komunikasi oleh kelompok masyarakat di desa-desa terpencil. Instrumen yang sama, namun dengan ukuran yang lebih kecil disebut kroncongan yang biasa dipasang di atas pohon untuk mengusir binatang--binatang perusak tanaman kelapa, dan sebagai kalung ternak (sapi maupun kerbau). Kata okokan berasal dari bunyi yang dikeluarkan oleh alat musik itu sendiri, yakni “klok-klok-klok” sehingga disebut okokan.
Okokan termasuk kesenian sakral. Kesenian ini dipentaskan tatkala masyarakat ditimpa wabah penyakit yang disebut "gerubug". Biasanya, untuk mengobati penyakit tersebut, masyarakat keluar rumah dan memukul alat bunyi-bunyian berupa kentongan kaleng, okokan, dan tektekan. Masyarakat Tabanan mempunyai keyakinan bahwa dengan bunyi-bunyian itu dapat mengusir penyebab wabah penyakit yang menyerang warga setempat. Oleh sebab itu, masyarakat menjadikan kesenian okokan sebagai kesenian sakral. Okokan pun dipentaskan apabila ada tanda-tanda seperti panen gagal dan wabah penyakit yang menimpa desa.
Okokan dimainkan oleh beberapa orang sambil berkeliling kampung. Selain untuk upacara religi, Okokan juga dipentaskan saat event-event tertentu, seperti Pesta Kesenian Bali. Bahkan sering juga dipentaskan untuk menghibur para tamu yang ingin menikmati kesenian tradisional. Saat dipentaskan, kesenian ini juga dilengkapi olah alat-alat musik Bali Lainnya untuk menambah indah dan uniknya suara Okokan, antara lain gong, kendang, tawa-tawa dan lainnya.