Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menerima Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (22/1) untuk memperkuat habit of dialogue.Dalam pertemuan, Menteri Luar Negeri RI kembali menyampaikan pentingnya Amerika Serikat untuk mendukung tercapainya perdamaian antara Palestina dan Israel. Menteri Retno menegaskan, tidak ada solusi lain dari konflik Palestina-Israel kecuali tercapainya solusi dua negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Menurutnya, posisi Indonesia sudah sangat jelas dan tegas dalam mendukung perjuangan Palestina sampai terealisasinya kemerdekaan Palestina.Dalam kaitan ini, Retno Marsudi juga menyampaikan harapan Indonesia agar Amerika Serikat mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memotong kontribusinya kepada United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East. Peran Badan ini sangat penting dalam mendukung pengungsi Palestina di bidang pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, pemotongan bantuan ini akan mencederai dan berdampak negatif terhadap proses perdamaian yang telah dibangun di Palestina.Selain isu Palestina, Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Pertahanan Amerika juga membahas upaya untuk menciptakan suatu ekosistem perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik. Menteri Luar Negeri RI menekankan, Amerika sebagai salah satu mitra Indonesia memiliki peran penting untuk menjadikan Indo-Pasifik tidak saja sebagai kawasan yang damai, namun juga sebagai kawasan pertumbuhan bagi dunia. Dalam kaitan ini, penting bagi Amerika Serikat untuk berkontribusi dalam memperkuat habit of dialogue dan saling percaya di kawasan Indo-Pasifik.
Kedua menteri juga bertukar pandangan mengenai upaya membangun perdamaian di Afghanistan. Dalam konteks bilateral, kedua menteri membahas upaya untuk memperkuat kerja sama sesuai dengan komitmen bersama untuk membentuk kemitraan strategis yang tertuang dalam Pernyataan Bersama antara Republik Indonesia dan Amerika Serikat tentang Kemitraan Strategis. Pernyataan tersebut ditandatangani dalam kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Amerika pada Oktober 2015 untuk mempererat kerja sama kedua negara di berbagai bidang.
Indonesia menolak keputusan diskriminatif parlemen Eropa terhadap biofuel berbahan dasar kelapa sawit.
Pemerintah Indonesia menolak hasil pemungutan suara Parlemen Uni Eropa yang menyetujui penghapusan penggunaan minyak sawit mulai 2021. Hasil pemungutan suara yang digelar 17 Januari itu bukan hanya merusak citra sawit Indonesia, namun juga berpotensi menurunkan nilai ekspor RI ke Uni Eropa secara keseluruhan. Seperti dilaporkan Kedutaan Besar RI Brussels, Senin (22/1), keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas dan adil, terlebih karena usulan penghapusan terhadap minyak sawit hampir satu dekade lebih awal dari biofuel berbasis tanaman lainnya pada 2030. Keputusantersebut belum merupakan keputusan akhir Uni Eropa. Keputusan akhir Uni Eropa akan ditentukan oleh hasil rangkaian negosiasi segitiga antara Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Eropa yang akan berlangsung Februari mendatang.Upaya Pemerintah RI usai pemungutan suara di Parlemen Eropa adalah akan terus melakukan dialog secara berkesinambungan, konstruktif, dan paralel dengan ketiga institusi Uni Eropa tersebut, terutama menjelang dan pada saat terjadinya perundingan segitiga.Untuk memaksimalkan tekanan politik terhadap Parlemen Eropa, Kedutaan Besar RI Brussel telah menggalang aliansi dengan Kedutaan Besar negara-negara produsen sawit di Brussel, seperti Brazil, Ekuador, Guatemala, Honduras, Kolombia, Ghana, Nigeria, Kenya, Thailand, dan Malaysia.Sebagai langkah bersama, akan disusun sebuah surat bersama kepala perwakilan negara-negara produsen sawit kepada Parlemen Eropa sebagai bentuk protes. Selain itu, akan dilakukan langkah kolektif secara langsung kepada Presiden Parlemen Eropa, Antonio Tajani.
VOI KOMENTAR Pangan, terutama beras, tetap menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia hingga kini. Karena itu, kedaulatan pangan menjadi salah satu agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk tahun 2015-2019.
Pada saat Pembukaan Musyawarah Nasional HIPMI XV, 12 Januari 2015 di Bandung, Presiden Joko Widodo menargetkan kepada Menteri Pertanian untuk dapat swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan, yang berarti tahun 2018 ini. Swasembada dimulai dengan beras, diikuti pangan yang lain. Dalam kesempatan itu pun, Kepala Negara yakin tidak akan ada impor beras setelah tiga tahun.
Kenyataannya, diawali dengan harga beras yang naik secara signifikan sejak Desember 2017, Kementerian Perdagangan memutuskan untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton yang ditargetkan akan sampai di Indonesia pada akhir Januari 2018. Belakangan, rencana pemerintah untuk mengimpor beras pada akhir Januari itu dinilai terlalu dekat dengan panen raya yang akan jatuh pada Maret 2017. Ada kemungkinan distribusi beras impor justru malah akan merugikan petani.
Mengutip liputan6.com tanggal 16 Januari 2018, impor beras dilakukan guna menjamin tersedianya pasokan beras di dalam negeri dan menurunkan harga beras di pasaran. Harga beras mengalami kenaikan diduga karena data produksi beras yang tak akurat. Menurut Dwi Andreas Santosa, pengamat pertanian dan guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, kenaikan harga beras dapat diatasi jika data yang tersedia akurat. Selama ini, harga beras sering naik karena data produksi dan konsumsi tak jelas.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menyatakan bahwa selama ini Kementerian Pertanian menyatakan jika produksi beras surplus dan stok cukup. Namun pernyataan tersebut hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah, tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara kongkrit.
Sebenarnya, data yang diyakini keakuratannya, terutama terkait ketersediaan beras, dapat dilihat dari pergerakan harga. Prinsip dasar yang diambil adalah keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang umum berlaku. Semakin banyak stok beras, semakin rendah harga beras, begitupun sebaliknya. Data yang tidak akurat terkait stok perberasan nasional memang perlu segera diperbaiki, karena berpotensi membuat pemerintah mengambil kebijakan yang keliru. Terkait hal ini, Ombudsman RI menyarankan kepada pemerintah, untuk memberi dukungan maksimum kepada Badan Pusat Statistik, untuk menyediakan data produksi dan stok beras yang lebih akurat.
Sudah saatnya Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, mengevaluasi sumber data yang digunakan sebagai dasar kebijakan pangan nasional. Kebijakan sebaiknya berdasarkan hasil riset, sesuai dengan kenyataan di lapangan, bukan hanya berpegang pada estimasi. Sehingga, tak akan ada lagi kebijakan yang justru akan merugikan petani.