Kulonprogo merupakan salah satu kabupaten di sebelah barat Yogyakarta. Lokasinya 29 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Kabupaten ini kini kerap dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, karena Kulonprogo dinilai memiliki objek wisata yang lengkap. Kabupaten ini menawarkan wisata alam seperti kebun teh, air terjun, dan pantai. Edisi pesona Indonesia kali ini, akan memperkenalkan kepada anda salah satu daya tarik wisata Kulonprogo dalam bentuk air terjun, yakni Air Terjun Kedung Pedut. Keunggulan dan keunikan Air Terjun Kedung Pedut ini terletak pada sumber mata airnya yang berasal dari dalam bumi, seolah tak pernah habis atau mengering. Hal ini membuat Kedung Pedut dijuluki Surga Air Kulon Progo, lantaran airnya yang tak pernah habis meski di musim kemarau.
Air Terjun Kedung Pedut berada 16 kilometer dari pusat kota Wates, Kulon Progo. Untuk masuk ke dalam objek wisata ini, anda diharuskan membayar tiket sebesar Rp. 10.000 per orang. Masuk ke sini, anda langsung akan merasakan sejuk dan asrinya objek wisata Kedung Pedut, karena objek wisata ini memiliki banyak pohon rindang. Tiba di objek wisata ini, nikmatilah kesegaran airnya di kolam-kolam yang tersedia. Selain bermain air, anda bisa berfoto sepuasnya di Air Terjun Kedung Pedut. Pengelola Air Terjun Kedung Pedut sudah menyediakan beragam spot foto menarik di sini mulai dari helikopter terparkir di tepi kolam pemandian hingga berfoto di hammock (tempat tidur gantung).
Selain berfoto, anda juga bisa bersantai di atas hammock dengan menikmati pemandangan kawasan Air Terjun Kedung Pedut dari ketinggian. Bagi anda yang suka kegiatan memacu adrenalin, anda juga bisa mencoba Flying fox. Flying fox ini memiliki panjang lintasan sekitar 40 meter. Naik flying fox ini, anda akan merasakan pengalaman meluncur di atas kolam pemandian dan melihat air terjun dari ketinggian. Objek Wisata ini sudah dilengkapi dengan fasilitas lapangan parker, rumah makan dan kamar mandi.
Mahasiswa Indonesia kembalil menciptakan inovasi terkait penanganan COVID-19. Kali ini adalah Rama atau Robot Asisten Medis Autonomum karya tim robotik Politeknik Negeri Semarang, Jawa Tengah. Rama adalah robot berbentuk seperti rak makanan yang biasa digunakan perawat atau suster mengantar makanan dan obat-obatan di rumah sakit. Menurut salah satu tim pembuat Robot Rama, Abbas Kiarostami, ide pembuatannya berawal dari rasa keprihatinan karena banyaknya tenaga medis yang gugur saat menjalankan tugas melayani pasien COVID-19.
Dilihat sepintas benda ini tidak seperti robot pada umumnya yang punya kepala, kaki, dan tangan. Robot Rama ini bentuknya menyerupai rak makanan untuk pasien. Bedanya, yang ini bisa berjalan sendiri sehingga mengurangi interaksi petugas medis pasien COVID-19. Proses pembuatan Robot Rama memakan waktu sekitar satu bulan dengan biaya riset yang dikeluarkan sekitar Rp25 juta. Robot Rama kemudian diperkenalkan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Saat dicoba, Robot Rama sangat lancar mengantar makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pasien COVID-19. Selain itu robot ini juga dilengkapi dengan tablet yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Jadi, pasien bisa melakukan video call dengan perawat atau dokter melalui layar tablet yang menempel di robot itu. Secara keseluruhan, robot pengganti tenaga medis itu sudah bisa diaplikasikan. Namun, perlu terus dikembangkan agar lebih optimal.
Desa tradisional Wae Rebo di distrik Manggarai di pulau Flores, Nusatenggara Timur, telah menerima Penghargaan Keunggulan Terbaik dari UNESCO dalam acara “UNESCO Asia Pacific Heritage Awards 2012”, diumumkan di Bangkok pada 27 Agustus 2012. Desa kecil dan terisolasi ini dikenal untuk pembangunan kembali rumah tradisional Mbaru Niang berdasarkan semangat kerja sama masyarakat menuju tradisi yang berkelanjutan, sementara pada saat yang sama program pembangunan ini meningkatkan kesejahteraan desanya. Untuk mencapai desa yang terletak sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, kita harus terlebih dahulu ke kota Labuhan Bajo, dengan kapal udara atau kapal laut. Lalu disambung dengan transportasi umum menuju kota Ruteng. Dari kota Ruteng kita naik lagi transportasi umum ke Desa Denge. Kita bisa juga memesan travel di Ruteng yang akan melayani langsung ke Denge,desa terdekat dengan Wae Rebo.
Dibutuhkan sekitar 3 - 4 jam perjalanan dengan berjalan kaki dari Desa Denge ke Desa Wae Rebo yang terletak di atas gunung. Desa Wae Rebo sepenuhnya dikelilingi oleh pegunungan yang indah dan hutan Todo yang lebat. Hutan tropis ini kaya akan vegetasi, di mana Anda akan menemukan anggrek, berbagai jenis pakis dan mendengar kicauan banyak burung penyanyi. Tidak ada jangkauan seluler di desa ini, dan listrik hanya tersedia dari pukul 6 hingga 10 malam. Udara relatif dingin, terutama di musim kemarau, jadi jangan lupa untuk membawa jaket Anda jika Anda berencana untuk mengunjungi desa.
Pendiri desa dan karenanya leluhur utama mereka yang membangun desa sekitar 100 tahun yang lalu, adalah seorang lelaki bernama Empu Maro. Saat ini, penghuninya adalah keturunan generasi ke-18. Karakteristik utama Wae Rebo adalah rumah mereka yang unik, yang mereka sebut Mbaru Niang yang tinggi dan berbentuk kerucut dan sepenuhnya tertutup lontar dari atapnya hingga ke tanah. Tampaknya pada suatu waktu rumah semacam itu cukup umum di wilayah tersebut. Namun sampai saat ini, hanya desa Wae Rebo lah masih mempertahankan keaslian rumah tradisional Manggarai. Rumah itu memiliki lima tingkat, masing-masing tingkat dirancang untuk tujuan tertentu. Tingkat pertama, yang disebut lutur atau tenda, adalah tempat tinggal keluarga besar. Tingkat kedua, disebut lobo, atau loteng, disisihkan untuk menyimpan makanan dan barang, tingkat ketiga disebut lentar adalah untuk menyimpan benih untuk panen berikutnya, tingkat keempat yang disebut lempa rae dicadangkan untuk persediaan makanan dalam kasus darurat, dan tingkat kelima dan atas, yang disebut hekang kode, yang dianggap paling suci, adalah menempatkan persembahan bagi leluhur.
Di desa Wae Rebo, terdapat satu rumah yang berbeda dari yang lain, rumah upacara khusus. Bangunan komunitas ini adalah tempat anggota seluruh klan berkumpul untuk upacara dan ritual. Masyarakat Desa Wae Rebo sebagian besar beragama Katolik tetapi masih menganut kepercayaan lama. Di rumah ini disimpan pusaka suci drum dan gong. Dengan populasi kecil sekitar 1.200 penduduk saja, desa ini terdiri dari 7 rumah. Makanan pokok penduduk desa adalah singkong dan jagung, tetapi di sekitar desa mereka menanam kopi, vanilla, dan kayu manis yang mereka jual di pasar, yang terletak sekitar 15 km. jauh dari desa. Namun akhir-akhir ini, Wae Rebo semakin populer sebagai tujuan wisata bagi para penggemar ekowisata internasional, dan ini telah menambah kesejahteraan ekonomi desa. Warga Wae Rebo menyambut hangat para pengunjung yang ingin melihat desa mereka dan mengalami kehidupan tradisional mereka yang sederhana.
VOI PESONA INDONESIA Tradisi Akaddo Bulo adalah tradisi dari warga Kampung Tama’la’lang yang termasuk dalam wilayah Desa Tamanyeleng, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kampung ini berjarak sekitar 10 Km dari ibukota Sulawesi Selatan, Makassar.
Tradisi Akaddo bulo dalam bahasa Makassar berarti “makanan dari bambu”. Jadi, hidangan yang disantap pada perayaan tersebut dimasak dalam potongan bambu. Makanan ini menjadi sajian utama yang dihidangkan saat perayaan ulang tahun kampung tersebut.
Bagi masyarakat setempat, tradisi Akaddo Bulo mengandung makna tersendiri, yakni ajang silaturahim warga dengan sanak keluarga. Dan memang tak sedikit warga atau kerabat yang tinggal jauh di luar kota atau bahkan luar pulau datang ke Tama’la’lang demi menghadiri acara ini.
Akaddo Bulo berupa campuran beras ketan dan santan yang dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam potongan bambu. Tabung-tabung bambu berukuran panjang 40 cm itu dimasak dengan cara dipanasi secara tegak mengelilingi perapian selama sekitar tiga jam sampai matang. Setelah selesai, bambu dibelah untuk mengeluarkan akaddo bulo yang telah matang dan siap disantap dengan taburan serundeng, yaitu parutan kelapa yang digoreng dengan berbagai bumbu.
Tradisi akaddo bulo berawal dari zaman Raja Gowa ke-9, yakni I Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparisi Kalonna, yang berkuasa pada tahun 1510 hingga 1546. Tradisi ini sempat terhenti saat Perang Makassar berkecamuk pada 1666 yang berlanjut dengan pendudukan Belanda hingga kemerdekaan pada 1945.
Tradisi akaddo bulo kembali dihidupkan setelah kemerdekaan Indonesia oleh Raja Gowa ke-36, sekaligus bupati pertama Kabupaten Gowa, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Aidudin. Ia mengusulkan agar Akaddo Bulo dirangkaikan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI sebagai pesta rakyat. (VOI)