Tradisi Ngarot adalah upacara adat yang terdapat di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Jawa Barat. Tradisi ini memiliki arti ucapan syukur terhadap datangnya musim tanam. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada minggu ketiga bulan November atau Desember dan selalu pada hari Rabu. Hal ini dilakukan karena hari Rabu dianggap keramat dan hari yang baik untuk menanam padi.
Ngarot berasal dari bahasa Sunda yang berarti minum. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta “Ngaruat” yang berarti bebas dari kutukan dewa, atau bebas dari segala dosa. Budaya Ngarot pertama kali dirintis Ki Buyut Kapol, yaitu seorang tokoh yang loyal dan berpengaruh di Desa Lelea. Ia rela memberikan sawah seluas 26.100 m2 sebagai wujud realisasi acara Ngarot dan dengan sangat senang masyarakat Lelea menyambutnya. Upacara ini biasanya dilakukan oleh pemuda-pemudi warga desa Lelea.
upacara Ngarot terdiri dari tiga bagian yaitu arak-arakan, seserahan dan pesta pertunjukan. Peserta yang mengikuti upacara Ngarot harus menggunakan pakaian khas, yaitu remaja putri menggunakan kebaya berselendang dilengkapi aksesoris seperti kalung, gelang, cincin, bros, peniti emas, dan hiasan rambut. Sedangkan remaja putra menggunakan baju komboran dan celana gombrang beserta ikat kepala.
Upacara dimulai jam 08.30 dan semua peserta Ngarot berkumpul di rumah Kepala Desa untuk didandani. Kemudian pemuda-pemudi diarak mengelilingi kampung. Setelah itu peserta Ngarot masuk balai desa dan disambut dengan tari-tarian daerah.
Lalu masuk ke inti acara, dimulai dari pembukaan, pembacaan sejarah Ngarot, ucapan sambutan dari Kepala Desa, dan proses penyerahan kepada para kasinoman atau pemuda-pemudi.
Fakultas Pertanian UGM membentuk konsorsium dengan Universitas Syah Kuala, Universitas Andalas, Universitas Udayana dan Universitas Gent, Belgia, untuk melaksanakan penelitian bersama pemanfaatan bambu sebagai bahan baku biochar. Biochar adalah bahan arang aktif yang digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan pertanian dan potensial menjaga kesuburan tanah. Kerja sama penelitian selama 3 tahun dimulai tahun ini dengan The Flemish Interuniversity Council Belgium dengan Promotor Prof. Stefaan De Neve dari Universitas Gent, Belgia, dan Dr.Benito Heru Purwanto dari Fakultas Pertanian UGM.
Heru Purwanto mengatakan kegiatan penelitian ini sudah dimulai sejak November tahun lalu dengan mengundang perwakilan penelitian dari lima perguruan tinggi. Selanjutnya, pada pertengahan Maret dilakukan diskusi dan workshop serta kunjungan lapangan ke lokasi desa binaan Fakultas Pertanian UGM di Desa Sidorejo, Ngablak, Magelang. Meski baru penelitian awal, kata Heru, penelitian ini menggandeng para peneliti biochar dari balai penelitian yang ada di Indonesia seperti menghadirkan pakar biochar dari Balai Penelitian Tanah Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Rawa Kalimantan Selatan.
Pada pertengahan maret lalu, UGM juga melaksanakan diskusi dengan dihadiri internal tim project dan beberapa mahasiswa S3 yang sedang melaksanakan kegiatan penelitian biochar. Selain itu, pihaknya. juga mengundang para kelompok tani untuk melakukan praktik pembuatan biochar yang ditargetkan sebagai penerima manfaat hasil penelitian ini.
Selain menjadi kota bagi pelajar dan para seniman, kota Yogyakarta juga memiliki destinasi wisata yang seakan-akan tidak ada habisnya. Salah satu tempat wisata baru yang sedang ramai menjadi pembicaraan di antara wisatawan adalah Bendungan Kamijoro Bantul .
Bendungan Kamijoro yang terletak di perbatasan Bantul dan Kulon Progo ini, tepatnya di Plambongan, Triwidadi, Pajangan, Bantul , dibangun untuk mengairi sawah seluas 2370 hektar lebih di Kabupaten Bantul. Meskipun fungsi utama bendungan ini adalah sebagai saluran irigasi, tetapi justru bendungan ini kemudian lebih dikenal sebagai tempat wisata. Selain sebagai tempat wisata, tempat ini juga cocok untuk dijadikan sebagai tempat untuk bersantai, berolahraga, taman bermain anak, dan sebagai tempat untuk berfoto yang tentu instagramable.
bendungan Kamijoro ini ternyata mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena dibangun pada era Hindia-Belanda. Menurut sejarahnya , bendungan Kamijoro ini dibangun oleh seorang keturunan Belanda-Jerman pada awal abad 19. Dan setelah mengalami berbagai bentuk renovasi, banyak sekali pengunjung dari luar dan dalam kota Yogjakarta sendiri yang tertarik untuk melihat keelokan tempat ini. Selain itu fasilitas di Bendungan Kamijoro juga sudah menyediakan berbagai fasilitas seperti musholla, tempat parkir, warung makanan dan minuman, taman untuk bermain anak-anak dan masih ada lagi lainnya yang membuat anda betah dan nyaman menghabiskan waktu di sini。
Bendungan Kamijoro yang terletak sekitar 21 Km dari pusat kota Jogja bisa dicapai dengan melalui Jalan Yogyakarta-Wates atau sekitar 40 menit bila ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Bendungan ini terletak sekitar 18 Km dari Terminal Giwangan Yogjakarta dengan waktu tempuh kurang lebih 33 menit. Untuk berkunjung dan menikmati keindahan Bendungan Kamijoro ini anda hanya harus membayar parkir saja, Rp. 2000 untuk motor dan Rp. 5000 untuk mobil . Bendungan Kamijoro setiap hari buka mula dari pagi hari hingga malam hari. Tetapi waktu yang paling tepat untuk berkunjung ke Bendungan Kamijoro ini adalah sekitar pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB. Mengapa sore hari? Karena yang menjadi primadona di sini adalah keindahan pemandangan pada waktu matahari terbenam.
bila anda sedang berlibur ke provinsi Daerah Khusus Istimewa Yogjakarta, Jawa Tengah khususnya Bantul sempatkanlah untuk berfoto-foto dan menikmati keindahan matahari terbit di Bendungan Kamijoro ini
pada 27 hingga 31 Maret 2019 mendatang, ajang mode tahunan Indonesia Fashion Week 2019 (IFW 2019) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) akan kembali digelar. Tahun ini adalah kali ke-delapan IFW diadakan dengan mengusung tema "cultural values"yakni mengangkat warisan budaya nasional. Beda dengan penyelenggaraan tahun sebelumnya yang mengangkat budaya tanah Toba (Sumatera Utara), kali ini giliran tanah Borneo (Kalimantan) yang menjadi sorotan utama. Harapannya, setelah IFW 2019 ini, budaya Kalimantan akan semakin dikenal luas lewat karya para desainer yang turut tampil dalam pergelaran tahunan ini. Dengan begitu, industri mode Tanah Air dapat semakin membantu dan mensejahterakan para pengrajin lokal dari Kalimantan.
Kalimantan dipilih sebab memiliki kekayaan budaya yang kaya dan beragam. Sayangnya, khasanah budaya tersebut belum terjamah dan dieksplor secara maksimal.
Padahal, menurut Presiden APPMI, Poppy Darsono, Kalimantan terdiri dari banyak etnis seperti Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Dayak Paser yang memiliki corak dan warna yang unik. Pagelaran yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC) ini akan diikuti oleh sekitar 200 desainer seperti Ivan Gunawan, Naniek Rahmat, Jenny Tjahyawati, sampai Poppy Dharsono. Mereka akan menghadirkan berbagai koleksi yang bekerjasama dengan para pengrajin di Kalimantan.
Tak cuma soal fesyennya, 'wujud' Borneo (Kalimantan) akan diwujudkan lewat desain tempat penyelenggaraan IFW 2019, hingga busana para model. IFW 2019 juga akan menggelar lebih dari 20 pergelaran busana yang menampilkan busana-busana terbaik dari desainer ternama Tanah Air. Dalam kesempatan yang sama, akan dihadirkan pula berbagai booth yang menyuguhkan ratusan merek fashion lokal bagi para pecinta mode Indonesia.