09
October

 

VOInews.id- Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengatakan bahwa Prancis bertanggung jawab jika konflik baru meletup di Kaukasus Selatan, setelah dia mengkritik keputusan Prancis untuk mengirim bantuan ke Armenia. Aliyev pekan lalu menarik diri dari pertemuan yang ditengahi Uni Eropa (EU) dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, di mana EU mengatakan bahwa mereka mendukung Armenia. Namun, dia mengkritik pendekatan Uni Eropa, terutama Prancis, ketika Presiden Dewan Eropa Charles Michel menelepon dirinya, menurut pemerintah Azerbaijan dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Sabtu. Aliyev mengatakan akibat sikap Prancis, Azerbaijan tidak berpartisipasi dalam pertemuan di Granada tersebut, kata pernyataan itu.

 

"Kepala negara menekankan bahwa penyediaan senjata oleh Prancis kepada Armenia merupakan pendekatan yang tidak mendukung perdamaian, tetapi dimaksudkan untuk mengobarkan konflik baru, dan jika ada konflik baru terjadi di kawasan tersebut, Prancis bertanggung jawab atas hal itu".

 

Prancis telah menyetujui kontrak berjangka dengan Armenia untuk menyuplai peralatan militer untuk membantu memperkuat pertahanan negara itu, kata Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna pada 3 Oktober saat berkunjung ke Yerevan. Colonna menolak menjelaskan bantuan militer apa saja yang akan diberikan kepada Armenia dalam kontrak berjangka itu. Presiden Prancis Emmanuel Macron memarahi Azerbaijan dengan mengatakan bahwa Baku tampaknya bermasalah dengan hukum internasional.

 

Aliyev bulan lalu memulihkan kendali atas kawasan Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri, lewat operasi militer selama 24 jam. Operasi itu memicu eksodus sebagian besar dari 120.000 penduduk etnis Armenia di kawasan itu untuk kembali ke Armenia. Aliyev mengatakan dia bertindak sesuai hukum internasional. Dia menambahkan bahwa delapan desa di Azerbaijan "masih diduduki Armenia dan menekankan pentingnya membebaskan desa-desa ini dari pendudukan".

 

Sumber: Reuters

06
October

 

VOinews.id- Selama Sidang ke-78 Majelis Umum PBB bulan lalu, para pemimpin dunia mengkritik lembaga-lembaga multilateral yang ada saat ini dan menyerukan reformasi, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Rabu. “Tanpa terkecuali, para pemimpin berbicara tentang pentingnya solusi-solusi multilateral. Namun, satu per satu pemimpin mengatakan kepada saya bahwa lembaga multilateral kita saat ini tidak membuahkan hasil – dan menyerukan reformasi,” kata Guterres dalam pertemuan Agenda Bersama (Common Agenda) di markas besar PBB.

 

Guterres mengatakan dia telah mengadakan 141 pertemuan bilateral selama Sidang Majelis Umum. Pertemuan itu memberi dia kesempatan untuk mendengarkan pendapat dari para pemimpin negara-negara anggota mengenai masalah ini. “Ada kritik keras terhadap ketidaksesuaian antara institusi pemerintahan global dan realitas ekonomi dan politik dunia,” kata Guterres.

 

Sidang ke-78 Majelis Umum berlangsung di New York, Amerika Serikat pada 19-26 September. Ada 189 anggota PBB yang berpidato, mendorong langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan utama mereka yang mencakup tujuan pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, zona konflik, dan seruan reformasi.

 

Beberapa pemimpin negara telah berulang kali menuntut reformasi di PBB, termasuk Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Dalam pidatonya di Majelis Umum bulan lalu, Erdogan mengatakan Dewan Keamanan PBB tidak lagi berfungsi untuk menjamin keamanan global, melainkan menjadi arena bagi lima negara anggota tetapnya untuk terlibat dalam konfrontasi strategis. Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan China. Sumber: Anadolu

06
October

 

VOinews.id- Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Hak Asasi Manusia Volter Turk pada Kamis mendesakkan tindakan segera untuk menghentikan pelecehan yang meningkat di seluruh dunia terhadap tempat dan simbol-simbol keagamaan. “Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia 53/1 mencatat dengan keprihatinan mendalam atas meningkatnya insiden penodaan tempat ibadah dan simbol agama di seluruh dunia, dan menyerukan tindakan segera untuk mengatasinya,” ucap Turk kepada dewan itu di Jenewa. Dia menyebut pembakaran Al Quran, yang dilakukan di depan umum, telah terjadi di beberapa negara sejak Dewan HAM menggelar pertemuan darurat pada Juli lalu.

 

“Saya ingin menekankan sekali lagi bahwa saya sangat menentang tindakan yang tidak menghargai dan ofensif ini, terutama tindakan yang jelas-jelas bertujuan untuk memprovokasi kekerasan dan memicu perpecahan," katanya. Ia menekankan bahwa tindakan yang sangat berdampak pada jutaan orang ini menyerang identitas dan nilai-nilai agama mereka. Untuk mengatasi masalah ini, Turk mengatakan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) akan memfasilitasi proses perundingan secara luas dengan berbagai negara dan pemangku kepentingan.

 

“Saya berharap proses ini pada akhirnya akan memberikan cetak biru bagi negara-negara untuk mengadopsi kerangka hukum dan penegakan hukum serta kebijakan yang kuat untuk melawan momok kebencian agama –sejalan dengan hukum hak asasi manusia internasional– dan untuk bertindak cepat guna memastikan akuntabilitas.” Turk juga mengatakan bahwa ia berharap dapat mempelajari lebih dalam terkait isu-isu ini dalam dua sesi dewan berikutnya.

 

Kesenjangan dalam kebijakan nasional dan kerangka hukum memungkinkan kebencian dan diskriminasi dibiarkan begitu saja, kata Turk. “Negara-negara anggota dapat dan harus berbuat lebih banyak,” kata dia, seiring dengan pembakaran Al Quran dan insiden kebencian agama lainnya di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa memerangi akar penyebab dan pemicu kebencian memerlukan upaya lebih kuat.

 

Turk menyebut beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah itu, seperti penghapusan stereotipe yang merugikan, kampanye informasi publik yang merayakan keberagaman, serta sistem pendidikan yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Turk menekankan bahwa mengatasi kebencian agama memerlukan kesepakatan antara anggota masyarakat untuk bekerja sama menciptakan lingkungan yang adil berdasarkan kepercayaan dan rasa hormat.

 

Sumber: Anadolu

05
October

 

VOInews.id- Presiden transisi Gabon Brice Oligui Nguema pada Minggu (1/10) di Oyo, menyerukan pencabutan sanksi terhadap negaranya menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada Agustus lalu. "Saya datang ke sini untuk berkonsultasi, berdiskusi, bertukar pikiran dengan Denis Sassou Nguesso... untuk meringankan sanksi-sanksi tersebut," kata Oligui Nguema, usai pertemuan dengan Nguesso selama lebih dari dua jam di Oyo.

 

Untuk diketahui Oyo merupakan kota kelahiran Presiden Republik Kongo Denis Sassou Nguesso, Nguema mengatakan Presiden Denis Sassou Nguesso adalah aset penting bagi negara tersebut di subkawasan, yang dapat menyampaikan kepada otoritas tertinggi di dunia tentang apa yang telah dilakukan dan menjelaskan dengan lebih baik kepada seluruh dunia. "Gabon harus merebut kembali tempatnya di komunitas internasional," kata Nguema.

 

Pemerintahan transisi telah dibentuk pada awal September setelah kekuatan militer mengumumkan perebutan kekuasaan di negara itu pada 30 Agustus, yang menyebabkan penangguhan keanggotaan Gabon dari Uni Afrika dan Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Tengah (Economic Community of Central African States/ECCAS). Oligui Nguema menjanjikan akan menyusun Konstitusi baru, aturan pemilihan umum baru, dan hukum pidana yang dapat diandalkan melalui referendum. Dia juga berkomitmen untuk mengembalikan kekuasaan kepada warga sipil serta menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas" dan transparan setelah transisi.

 

Antara