VOinews.id- Gedung Putih meminta Kongres menyetujui tambahan bantuan bantuan senilai miliaran dolar AS lagi untuk Ukraina. Permintaan itu disampaikan setelah ofensif balasan Ukraina terhadap pasukan Rusia yang terus berlanjut bakal menghadapi cuaca dingin dan kondisi-kondisi yang semakin berat. Presiden Amerika Serikat Joe Biden berharap mendapatkan "perspektif medan perang" dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy ketika keduanya bertemu di Gedung Putih pada Kamis, kata juru bicara Gedung Putih John Kirby kepada wartawan. "Ini sungguh momen yang kritis karena kita sudah memasuki musim gugur," kata Kirby.
Dia menambahkan bahwa Gedung Putih sudah mendesak Zelenskyy agar bertemu dengan parlemen AS untuk menyampaikan pendapatnya mengenai bantuan militer berkelanjutan, mengingat sejumlah anggota parlemen mengungkapkan keberatannya. "Penting sekali bagi kita bisa mendapatkan restu bantuan tambahan itu," kata dia, seraya menekankan bahwa dampaknya akan "jauh lebih besar" jika Presiden Rusia Vladimir Putin dibiarkan menguasai Ukraina dan menerobos perbatasan NATO.
Antara
VOInews,id- Iran pada Rabu menghentikan sementara penerbangan ke negara tetangga Azerbaijan dan Armenia, menurut laporan media setempat. Berdasarkan keputusan Otoritas Penerbangan Sipil (CAA) Iran maka penerbangan ditangguhkan "untuk waktu singkat", kata kepala CAA Mohammad Mohammadi Bakhsh kepada Kantor Berita Buruh Iran (ILNA). Penerbangan akan dilanjutkan jika situasinya kembali normal, katanya. Pada Selasa usai provokasi pasukan Armenia di Karabakh, Azerbaijan mengatakan pihaknya telah meluncurkan aksi "kontraterorisme" di wilayah tersebut untuk mempertahankan kesepakatan damai trilateral 2020 dengan Rusia dan Armenia.
Pada Kamis diumumkan gencatan senjata, namun setelah Iran mengatakan telah menangguhkan penerbangan. Hubungan antara Azerbaijan dan Armenia memanas sejak 1991 ketika militer Armenia menduduki Nagorno-Karabakh, wilayah yang diakui dunia sebagai bagian dari Azerbaijan beserta tujuh wilayah yang berdekatan lainnya. Pada musim gugur 2020 Azerbaijan membebaskan sejumlah kota, desa dan permukiman dari pendudukan Armenia dalam 44 hari bentrokan.
Perang berakhir pada November berkat gencatan senjata yang ditengahi Rusia. Akan tetapi, ketegangan antar kedua negara masih berlanjut meski sedang berlangsung pembicaraan yang bertujuan untuk kesepakatan damai.
Sumber: Anadolu
VOInews.id- Kanselir Jerman Olaf Scholz menyatakan bahwa Jerman mendukung reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang sesuai dengan kondisi dan tantangan global saat ini. Saat menyampaikan pidatonya dalam sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (19/9), Scholz mengatakan bahwa komposisi Dewan Keamanan saat ini adalah contoh paling jelas bahwa organisasi tersebut tidak mewakili realitas dunia yang multipolar. Dewan Keamanan PBB terdiri atas 15 negara.
Lima negara di antaranya merupakan anggota tetap, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, China, dan Rusia. Para anggota tetap ini memiliki wewenang lebih besar, yakni hak veto yang memungkinkan mereka mencegah atau membatalkan adopsi resolusi Dewan Keamanan. Dengan kata lain, jika ada satu saja anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menolak maka keputusan tidak bisa dibuat. Sementara 10 negara lainnya adalah anggota bergilir atau tidak tetap.
Anggota tidak tetap memiliki periode keanggotaan dua tahun. “Tentunya Afrika pantas mendapatkan keterwakilan yang lebih besar, demikian juga dengan Asia dan Amerika Latin,” ujar Scholz dalam transkrip resmi yang dirilis PBB melalui situs webnya.
Reformasi Dewan Keamanan PBB merupakan wacana yang sudah bergulir cukup lama. Salah satu negara yang kerap menyerukan reformasi itu adalah Rusia. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada Juli lalu mengatakan bahwa DK PBB harus direformasi sesuai dengan realitas yang ada. Menurut dia, dominasi negara-negara Barat pada badan tersebut harus diseimbangkan. Lavrov menyatakan bahwa Moskow akan berupaya untuk memperluas keanggotaan DK PBB guna memberikan lebih banyak perwakilan kepada negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam pembukaan Sidang Majelis Umum PBB, Selasa (19/9), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyampaikan kebutuhan untuk mereformasi DK PBB yang mencerminkan realitas dunia saat ini.
“Reformasi adalah pertanyaan soal kekuasaan. Saya tahu, ada banyak kepentingan dan agenda yang saling bersaing. Namun, alternatifnya adalah reformasi bukan status quo. Alternatif di luar reformasi adalah fragmentasi yang kian jauh. Reformasi atau perpecahan,” katanya. Dia menambahkan mereformasi Dewan Keamanan juga berarti mendesain ulang arsitektur keuangan internasional yang universal dan berfungsi sebagai jaring pengaman global bagi negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan.
Antara
VOInews.id- Sekjen PBB pada Rabu (20/9/2023) mendesak para pembuat kebijakan global untuk membuka pembiayaan yang lebih baik dan mengatasi kesenjangan keuangan yang besar, seiring kemajuan pada beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengalami kemunduran untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. “Ada kesenjangan yang mencolok dan semakin besar antara negara-negara yang dapat mengakses pendanaan dengan persyaratan yang wajar - dan negara-negara yang tidak dapat mengaksesnya, dan semakin tertinggal,” Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyampaikan pernyataannya pada Dialog Tingkat Tinggi PBB tentang Pembiayaan. untuk Pembangunan, pada sesi ke-78 Majelis Umum PBB.
“Negara-negara berkembang menghadapi biaya pinjaman hingga delapan kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara Eropa pada khususnya, dan ini adalah jebakan utang,” kata Guterres, seraya mencatat bahwa kesenjangan pembiayaan SDG telah menjadi sebuah jurang yang diperkirakan mencapai 3,9 triliun dolar AS per tahun. Diadakan setiap empat tahun sekali sejak tahun 2015, setelah diadopsinya Agenda Aksi Addis Ababa - peta jalan untuk pendanaan SDGs - Dialog Tingkat Tinggi mengenai Pembiayaan Pembangunan tahun 2023 berlangsung pada saat yang kritis, ketika hanya sekitar 15 persen dari target SDG yang tercapai.
Prospek perekonomian yang menantang di tengah dampak pandemi COVID-19, konflik, dan perubahan iklim yang semakin parah telah menjadikan pendanaan untuk SDGs semakin mendapat tekanan. Negara-negara anggota menyambut baik usulan Sekretaris Jenderal PBB mengenai Stimulus SDGs sebesar setidaknya 500 miliar dolar AS per tahun untuk secara signifikan meningkatkan pembiayaan jangka panjang yang terjangkau dalam pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim.
Mereka juga mendukung seruannya untuk melakukan reformasi yang lebih mendalam dan berjangka panjang terhadap arsitektur keuangan internasional, yang saat ini gagal menjadi jaring pengaman bagi semua negara dan memperburuk kesenjangan. “Jelas bahwa permasalahan sistemik dalam pendanaan pembangunan berkelanjutan memerlukan solusi sistemik: reformasi arsitektur keuangan global,” kata Sekjen PBB, yang mencatat bahwa arsitektur tersebut diciptakan pada saat banyak negara berkembang saat ini masih berada di bawah tekanan. pemerintahan kolonial dan sangat condong ke arah negara maju. “Saya mengulangi seruan saya untuk momen baru Bretton Woods ketika negara-negara bersatu untuk menyepakati arsitektur keuangan global yang mencerminkan realitas ekonomi dan hubungan kekuasaan saat ini,” kata Guterres.
Sekjen PBB mengatakan “dunia yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu si kaya dan si miskin” sudah mendorong krisis kepercayaan global. “Bersama-sama, kita harus mengubah momen krisis ini menjadi momen peluang, menemukan solusi pendanaan bersama untuk membangun kembali solidaritas global, dan menciptakan momentum baru untuk pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim,” tambahnya. Dengan mengusung tema “Membiayai SDGs untuk dunia di mana tidak ada seorang pun yang tertinggal,” acara satu hari ini akan menampilkan solusi-solusi kreatif, ambisius, dan layak secara politik oleh para pemimpin dunia, kepala lembaga keuangan internasional, dan bank pembangunan multilateral (MDB), perwakilan sektor swasta dan masyarakat sipil untuk memobilisasi sumber daya, menghasilkan tindakan dan memulihkan momentum untuk mencapai SDGs.
Antara