14
June

 

VOInews.id-Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (12/6) menyatakan dukungannya untuk membentuk badan pengawas kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mirip dengan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA).

"Saya berniat membentuk badan penasihat tingkat tinggi untuk kecerdasan buatan guna mempersiapkan dengan serius berbagai jenis inisiatif yang dapat kami ambil ... Saya mendukung gagasan bahwa kita dapat memiliki badan kecerdasan buatan, yang menurut saya terinspirasi dari Badan Energi Atom Internasional saat ini," kata pejabat tertinggi PBB itu dalam sebuah konferensi pers di kantor pusat PBB di New York City.

Guterres menekankan perlunya mengatasi kerusakan signifikan yang disebabkan oleh berbagai platform digital yang dipenuhi dengan informasi yang keliru di samping kekhawatiran atas kemajuan kecerdasan buatan, mengusulkan kode etik internasional sebagai solusinya. Meski mengakui bahwa berbagai peringatan mengenai AI telah "memekakkan telinga", Guterres menegaskan bahwa peringatan tersebut tidak boleh mengalihkan perhatian dari kerusakan saat ini yang ditimbulkan oleh teknologi digital. "Peringatan tersebut tidak boleh mengalihkan perhatian kita dari kerusakan yang telah ditimbulkan teknologi digital terhadap dunia kita," ungkapnya.

Guterres menyoroti kerusakan global yang parah yang disebabkan oleh proliferasi kebencian dan kebohongan di ruang digital, dengan menuturkan bahwa "proliferasi kebencian dan kebohongan di ruang digital saat ini menyebabkan kerusakan global yang parah." Lebih lanjut Guterres menggarisbawahi bahwa "hal ini memicu konflik, kematian, dan kehancuran saat ini. Ini mengancam demokrasi dan hak asasi manusia saat ini.

" Ke depannya, Guterres mengungkap bahwa Kode Etik PBB untuk integritas informasi di platform digital sedang dikembangkan sebagai persiapan untuk "KTT Masa Depan" (Summit of the Future) PBB yang dijadwalkan berlangsung tahun depan. Guterres mengajukan beberapa proposal, termasuk menyerukan komitmen dari pemerintah, perusahaan teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk tidak menggunakan, mendukung, atau memperkuat disinformasi serta ujaran kebencian untuk tujuan apa pun; penerapan kebijakan dan sumber daya secara konsisten oleh platform digital di seluruh dunia, menyingkirkan standar ganda yang mengizinkan berkembangnya ujaran kebencian dan disinformasi di beberapa bahasa dan negara; komitmen dari platform-platform digital untuk memastikan bahwa semua produk mempertimbangkan keamanan, privasi, dan transparansi.

"Para pengiklan, yang sangat terlibat dalam monetisasi dan penyebaran konten yang merusak, harus bertanggung jawab atas dampak pengeluaran mereka," ujar Guterres. Lebih lanjut Sekjen PBB menekankan bahwa "disinformasi dan kebencian tidak boleh menghasilkan paparan maksimal dan keuntungan besar."

 

antara

14
June

 

VOInews.id- Bentrok kekerasan antara militer Sudan dan milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) kembali terjadi di ibu kota Sudan, Khartoum, pada Selasa, kata sejumlah saksi mata. Mereka mengaku mendengar suara tembakan artileri dan senjata berat serta ringan di Kota Bahri di selatan ibu kota.

Pesawat militer juga terlihat mengudara di atas kota tersebut. "Pesawat militer membidik pasukan RSF yang berada di jalan-jalan dan di lingkungan perumahan," kata seorang saksi mata kepada kantor berita Anadolu. Belum ada pernyataan dari kedua pihak yang bertikai mengenai bentrokan tersebut. Pertempuran antara dua kelompok berseteru itu kembali terjadi Senin setelah gencatan senjata 24 jam yang dimediasi Amerika Serikat dan Arab Saudi berakhir.

Menurut tim medis, sekitar 1.000 orang tewas dan ribuan orang lainnya terluka dalam bentrok antara militer dan RSF yang terjadi sejak April. Kesepakatan gencatan senjata sebelumnya kerap dilanggar. Kedua pihak saling menuding melakukan pelanggaran.

Perbedaan pendapat antara pihak-pihak bertikai mengenai integrasi RSF ke dalam militer kian meruncing dalam beberapa bulan belakangan. Integrasi menjadi syarat utama dalam kesepakatan transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang fungsional sejak 2021 setelah militer membubarkan pemerintahan peralihan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat. Langkah militer itu dikecam kekuatan-kekuatan politik di negara itu yang menyebut langkah itu sebagai "kudeta".

Masa peralihan Sudan yang dimulai Agustus 2019 setelah Presiden Omar Al Bashir dilengserkan, semula akan diakhiri dengan pemilu awal 2024. Baca juga: Parlemen desak Arab lebih aktif mengatasi krisis Sudan

 

Sumber: Anadolu

14
June

 

VOInews.id- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  mendesak junta Myanmar untuk membuka kembali akses untuk bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang dilanda Topan Mocha. PBB menuding pihak berwenang di negara itu menghambat bantuan kemanusiaan yang penting bagi masyarakat setempat. “Kami mendesak Dewan Administrasi Negara (Myanmar) untuk mempertimbangkan lagi keputusan ini dan kembali ke persetujuan awal terhadap rencana distribusi bantuan dan transportasi,” kata juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Jens Laerke, dalam pengarahan pers di Jenewa.

Sebulan setelah Mocha melanda Negara Bagian Rakhine di Myanmar, Dewan Administrasi Negara telah menangguhkan akses kemanusiaan. Keputusan itu melumpuhkan distribusi bantuan penting seperti makanan, air minum, peralatan berlindung, dan bantuan lain kepada masyarakat terdampak, kata Laerke.

Penutupan akses juga dinilai sebagai "kemunduran yang menghancurkan" terhadap lebih dari satu juta orang yang menjadi sasaran penerima bantuan di Rakhine. Laerke mengatakan bahwa sejak topan itu melanda pada 14 Mei, badan-badan bantuan telah menjangkau lebih banyak orang meski harus menggunakan otorisasi perjalanan terbatas, yang diberikan oleh junta.

Pada saat itu, hampir 110.000 orang mendapat tempat berlindung (shelter) dan bantuan lain, katanya, sedangkan bantuan makanan telah menjangkau hampir 300.000 orang di Rakhine saja. Namun, Dewan Administrasi Negara Myanmar malah mencabut keputusannya untuk membuka akses kemanusiaan, kata Laerke.

Distribusi bantuan dan transportasi bahkan telah dihentikan di Negara Bagian Chin. Penolakan akses itu "sulit untuk dipahami" dan kemungkinan dapat meningkatkan risiko kerawanan pangan dan penyakit bawaan air, kata Laerke, mengutip Kepala Perwakilan PBB dan Koordinator Kemanusiaan di Myanmar, Ramanathan Balakrishnan. Topan Mocha telah menghancurkan sebagian besar tempat penampungan sementara bagi para pengungsi di wilayah utara Myanmar. Curah hujan yang lebih tinggi diperkirakan akan terjadi dan dapat meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.

 

Sumber: Anadolu

13
June

 

VOInews.id- Bangladesh pada Senin memastikan akan membawa kembali pengungsi Rohingya jika mereka tidak merasa nyaman setelah dipulangkan ke negara bagian Rakhine atau jika proyek percobaan untuk memulangkan mereka ke Myanmar gagal. Para pengungsi Rohingya ini akan kembali secara sukarela, kata Menteri Muda Luar Negeri Bangladesh Shahriar Alam kepada wartawan di ibukota Dhaka. "Ini adalah proses percobaan, tidak ada pemulangan besar-besaran.

Pengungsi Rohingya akan dikirim ke Rakhine untuk mengamati situasi. Jika mereka tidak merasa nyaman, ada kesempatan membawa mereka kembali. Dengan demikian, kami pikir tidak ada perdebatan yang menentang proyek itu," ujar dia.

Pernyataan Alam merupakan yang terbaru dari otoritas Bangladesh yang bertujuan mengatasi kekhawatiran global dan seruan untuk menangguhkan proyek percobaan itu, yang dilaksanakan bersama antara pemerintah Bangladesh dan Myanmar dengan perantara China.

Pengungsi Rohingya di kamp Bangladesh telah menunjukkan kekhawatiran atas pemulangan itu dan mengeluhkan tidak ada perubahan dalam kehidupan mereka setelah dipulangkan ke Rakhine tanpa hak kewarganegaraan. Bangladesh dan Myanmar mendorong untuk meluncurkan proyek repatriasi itu dengan memulangkan sekitar 1.100 pengungsi. Hampir 1,2 juta Rohingya tinggal di Bangladesh, dan sebagian besar dari mereka melarikan diri dari penumpasan militer brutal di Rakhine pada Agustus 2017.

Saat sebagian besar pengungsi masih bertahan di kamp penuh sesak di distrik selatan Cox's Bazar, sekitar tiga ribu lainnya telah pindah ke pulau Bhasan Char sejak akhir 2020. Baca juga: Tim Rohingya kunjungi Myanmar untuk kemungkinan repatriasi Alam mengatakan pernyataannya sebagai tanggapan atas penolakan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terhadap proyek itu. Ia menambahkan bahwa proses dari proyek itu sedang berjalan untuk melibatkan PBB.

Dia mencatat bahwa meskipun belum ada kesepakatan bahwa Rohingya akan dipulangkan dengan sertifikat dari Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), “mereka telah diberitahu tentang upaya kami” untuk pemulangan. Ia juga memprotes pernyataan oleh Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengenai situasi hak asasi manusia di Myanmar. Alam mengatakan Andrews mengunjungi Cox's Bazar beberapa waktu lalu dan memberikan pernyataan mengenai proyek percobaan itu, tetapi hal yang ia katakan dan bahasa yang ia gunakan “meremehkan dan tidak menghargai upaya kami (Bangladesh)".

"Kami akan melaporkan masalah ini ke PBB," ujar Alam. Andrews pada Kamis mengatakan bahwa Bangladesh harus segera menunda proyek percobaan pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar, di mana mereka menghadapi risiko serius yang mengancam nyawa dan kebebasan mereka.

Pada Mei, pejabat Bangladesh membawa 20 pengungsi Rohingya pada kunjungan kamp pemukiman kembali di negara bagian Rakhine, Myanmar untuk menilai kondisi tempat mereka kembali, yang berakhir dengan kekhawatiran delegasi Rohingya mengenai rencana itu. Sejumlah kelompok HAM internasional, termasuk Human Rights Watch, telah bergabung dengan suara yang menentang usulan repatriasi tersebut.

Kelompok HAM internasional mendesak para pemerintah negara donor dan Amerika Serikat untuk menyerukan penundaan pemulangan setiap pengungsi Rohingya hingga kondisinya siap untuk pemulangan yang aman dan berkelanjutan. Kendati banyaknya penolakan, otoritas Bangladesh sepertinya akan melakukan apapun agar rencana proyek repatriasi tersebut dapat berjalan.

 

Sumber: Anadolu