Rencana pelarangan penggunaan minyak sawit tahun 2030 oleh Uni Eropa membawa babak baru dalam hubungan dagang ekonomi. Bukan hanya Indonesia, Malaysia dan Kolumbia juga menjadi terusik terkait rencana pelarangan tersebut. Upaya Indonesia untuk memusyawarahkan rencana pelarangan menjadi peninjauan atau pembatalan semakin intensif dilakukan. Perjuangan Indonesia semakin berat menyusul kampanye hitam tentang efek minyak sawit dan isu deforestasi serta penyerapan karbon.
Untuk membahas persoalan itu dengan Uni Eropa,Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melakukan lawatan resmi ke Brussels, Belgia pada 8-9 April 2019. Kedatangan Menteri Darmin juga bersama negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries untuk melobi Uni Eropa untuk mencabut rencana pelarangan penggunaan minyak sawit. Menteri Darmin Nasution mengatakan Indonesia dan Uni Eropa memliki hubungan saling melengkapi jadi seharusnya semua dapat diselesaikan dengan baik. Namun Darmin menyatakan ada ketidakadilan Uni Eropa dalam menilai produk kelapa sawit Indonesia karena dianggap sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan. Apalagi isu tersebut menjadi Delegated Act kemudian diadopsi Komisi Eropa pada 13 Maret 2019. Ia menilai terjadi diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guérend. ( baca : vengsang guerang) mengatakan Uni Eropa adalah pasar no 2 untuk ekspor minyak sawit Indonesia setelah India. Selain itu, 2/3 ekspor minyak sawit Indonesia dibebaskan bea pajak. Dubes Vincent Guerand menyatakan Uni Eropa tetap ingin membeli minyak kelapa sawit dari Indonesia namun akan memilih minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Dan Itulah yang sedang dirundingkan.
Adanya Delegated Act yang diadopsi oleh Komisi Eropa memang menjadi pertanyaan buat kita, kenapa hal itu bisa terjadi untuk produk perkebunan Indonesia. Bukan soal tidak mengacu industri yang berkelanjutan, namun diskriminasi yang akan diterapkan oleh Uni Eropa berstandar ganda. Disatu sisi membutuhkan sebagai energi yang ramah lingkungan namun mereka tidak suka perkebunan kelapa sawit dianggap tidak ramah lingkungan karena kelapa sawit tidak menyerap karbon. Juga pembukaan perkebunan kelapa sawit membuat deforestasi.
Sejatinya Uni Eropa banyak belajar apa yang pernah terjadi di tahun 70an ketika negara negara Penghasil minyak terutama dari bangsa Arab, memboikot minyak ke Eropa terkait dukungannya terhadap perang arab Israel. Jika produk sawit dan turunannya menjadi pilihan utama Eropa maka Indonesia dan beberapa negara lainnya akan menjadi penguasa energi dimasa depan .