Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dijadwalkan akan melakukan kunjungan kenegaraan sekaligus kunjungan kerja ke Hanoi, Vietnam pada 11 dan 12 September mendatang. Dalam kunjungan tersebut Presiden Jokowi akan membahas beberapa isu terkait hubungan Indonesia-Vietnam, termasuk mengenai negosiasi batas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan Presiden Vietnam Trai Dan Quang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (6/9) mengatakan perundingan wilayah ZEE yang berada di Laut Natuna antara kedua negara belum sepenuhnya selesai dan sudah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu diharapkan pertemuan kali ini bisa mendorong penyelesaian perundingan wilayah ZEE tersebut.
“Beberapa isu yang akan menjadi perhatian di dalam pertemuan bilateral antara lain mengenai percepatan penyelesaian negosiasi batas ZEE kedua negara. Seperti kita ketahui ini sudah berlangsung cukup lama, namun demikian perudingan batas maritim itu tidak mudah. Dan kita harapkan adanya political push dari kedua pemimpin agar ini bisa semakin dipercepat.”
Arrmanatha menambahkan, selain penyelesaian batas wilayah ZEE Indonesia dan Vietnam juga akan bekerja sama di bidang maritim dan perikanan, khususnya untuk mengurangi Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang telah dibicarakan melalui join komunike. Munculnya isu IUU Fishing di wilayah perairan Indonesia dan Vietnam disinyalir sebagai ekses dari salah paham soal lokasi ZEE yang belum diputuskan hingga saat ini. Sebelumnya Presiden Jokowi telah melakukan pembahasan terkait ZEE dengan Vietnam dengan Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-32 ASEAN di Singapura, April lalu. Pada kesempatan tersebut Presiden Jokowi mendorong Vietnam untuk segera menyelesaikan perundingan batas wilayah ZEE antara kedua negara. (VOI/Rezha)
Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan sekaligus kunjungan kerja ke Hanoi, Vietnam pada 11 dan 12 September mendatang. Rencananya Presiden Jokowi akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Vietnam Trai Dan Quang untuk membahas pengembangan potensi ekonomi dan akses pasar kedua negara. Setelah itu, Presiden Jokowi juga dijadwalkan untuk hadir dan menjadi pembicara pada pertemuan World Economic Forum on ASEAN dengan tema ASEAN Priorities in the Fourth Industrial Revolution. Hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (6/9).
“Jadi ada dua program di Hanoi, pertama adalah kunjungan kenegaraan dan yang kedua adalah Bapak Presiden akan menghadiri dan menjadi panelis pada pertemuan World Economic Forum on ASEAN dengan tema ASEAN Priorities in the Fourth Industrial Revolution. Dalam kunjungan kenegaraan ke Hanoi, ke Vietnam intinya adalah untuk meningkatkan kerjasama, mengembangkan potensi ekonomi melalui kerjasama dan peningkatan akses pasar.”
Lebih lanjut Arrmanatha menjelaskan kerja sama perdagangan dan investasi merupakan pembahasan utama dari pertemuan bilateral Presiden Jokowi dan Presiden Quang. Hal tersebut berkaitan dengan upaya yang tengah dilakukan kedua negara untuk mengurangi hambatan-hambatan bagi sektor perdagangan kedua negara. Selain membahas kerjasama di sektor perdagangan dan investasi, kedua pemimpin negara juga akan membahas kerja sama di sektor maritim dan perikanan. Beberapa kesepakatan juga akan ditandatangani oleh kedua pemimpin negara pada pertemuan kali ini, diantaranya adalah nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) rencana aksi untuk tindak lanjut hubungan kerja sama tahun 2019-2023, serta pembaruan MoU kesehatan dan pariwisata yang telah disepakati lebih dari dua dekade lalu. Indonesia dan Vietnam hingga kini masih terus berupaya menggali peluang kerja sama sebagai mitra. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi kedua negara yang cukup bagus hingga mencapai rata-rata 5 persen. (VOI/Rezha)
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengadakan pertemuan bilateral dengan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Republik Diplomatik Kongo She Okintudu Lundula di Jakarta, Kamis (6/9). Kunjungan ini merupakan kunjungan pertama pejabat tinggi dari Republik Demokratik Kongo ke Indonesia sejak kedua negara resmi membuka hubungan diplomatik pada tahun 1963. Dalam keterangan persnya usai pertemuan Retno Marsudi mengatakan ia dan Lundula membahas kerjasama di bidang infrastruktur, pertambangan, akuakultur, agrikultur, dan penanaman kelapa sawit. Selain itu Lundula juga menyampaikan keinginan untuk melihat kerjasama di bidang tekstil antara Indonesia dan Republik Demokratik Kongo.
“Dalam pembicaraan tadi, beberapa kerjasama kita bahas misalnya di bidang infrastruktur, di bidang mining, di bidang aquaculture dan agriculture, di bidang palm plantation dan tadi Menteri Luar Negeri juga menyampaikan keinginan untuk melihat kerjasama di bidang tekstil. Saya senang dalam kunjungan ini Menteri Luar Negeri Lundula juga akan melakukan pertemuan dengan Kadin dan beberapa BUMN Indonesia.”
Pada pertemuan bilateral kali ini, Retno Marsudi dan Lundula juga menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Join Bilateral Commission untuk memperkuat hubungan bilateral dan memperluas prospek kerjasama potensial di bidang lainnya. Selain itu kedua Menteri Luar Negeri juga berkomitmen untuk menindaklanjuti kerjasama lanjutan yang lebih konkret, menyusul rencana partisipasi kedua negara dalam Indonesia Africa Infrastructure Dialogue 2019. Republik Demokratik Kongo merupakan salah satu negara yang menjadi prioritas politik luar negeri Indonesia di benua Afrika pasca penyelenggaraan Indonesia Africa Forum (IAF) 2018 beberapa waktu lalu di Bali. (VOI/Rezha)
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan telah mengajukan tambahan anggaran sebesar 60 miliar rupiah. Anggaran tersebut akan digunakan untuk peningkatan diplomasi dan koordinasi kerjasama Indonesia dengan negara-negara Kawasan Pasifik Selatan. Direktur Kerja Sama Asia dan Pasifik Kementerian Luar Negeri RI Edi Yusup mengatakan pihaknya dan Menko Polhukam RI Wiranto telah melakukan pendataan jenis bantuan apa saja yang diharapkan oleh negara–negara di kawasan tersebut dari Indonesia selain pembangunan kapasitas atau capacity building. Kepada media di Jakarta, Kamis (6/9) Edy menjelaskan, bantuan yang telah diberikan oleh Indonesia selama kurang lebih lima tahun terakhir lebih didominasi oleh capacity building berupa pelatihan di kawasan tersebut.
“Jadi memang waktu itu Bapak Menkopolhukam sudah mendata bantuan–bantuan apa yang mereka harapkan dari Indonesia. Salah satunya Nauru misalnya kapal tongkang. Kemudian ada Kiribati yang misalnya ingin membangun stadion. Bisa nggak Indonesia membantu sebagian dari pembangunan itu. Nah itu mungkin yang di data oleh Pak Menko yang diajukan. Existing bantuan yang kita berikan kepada mereka kan masih ke capacity building. Jadi kita dalam lima tahun ini sudah mengundang 1650 teman–teman dari negara Pasifik Selatan untuk ikut ke training disini.”
Lebih lanjut Edi menjelaskan, bantuan capacity building yang diberikan oleh negara–negara di kawasan Pasifik Selatan meliputi berbagai bidang kerjasama, antara lain pertanian, perikanan, manajemen pemilihan umum (Pemilu), pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta pelatihan dan kunjungan media. Selama ini seluruh bantuan capacity building yang diberikan oleh Indonesia merupakan permintaan langsung dari masing–masing negara yang membutuhkan. (VOI/Rezha)