Pesatnya perkembangan finansial berbasis teknologi (financial technology/fintech) terjadi tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia. Hal tersebut yang kemudian menyita perhatian para pemimpin lembaga dan otoritas keuangan dunia. Oleh karena itu pada Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional - Bank Dunia atau International Monetary Fund (IMF)-World Bank Annual Meeting 2018 yang digelar di Nusa Dua, Bali bulan Oktober mendatang secara khusus akan digelar Bali Fintech Agenda di antara sekitar 2.000 pertemuan dan seminar yang akan diadakan selama sepekan. Melalui keterangan persnya di Jakarta, Rabu, 5 September 2018, Jakarta Kepala Unit Khusus Pertemuan Tahunan IMF-World Bank dari Bank Indonesia (BI) Peter Jacobs mengatakan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo pun direncanakan akan menghadiri agenda yang akan diadakan tanggal 11 Oktober itu dan memberikan sambutannya. Selain itu, pimpinan IMF, Bank Dunia, Bank for International Settlements (BIS), dan Ketua Development Committee (DC) World Bank Sri Mulyani Indrawati menjadi beberapa di antara pejabat tinggi yang akan menghadiri pertemuan itu.
“Bali Fintech Agenda adalah event yang secara khusus di desain sebagai permintaan Indonesia. Jadi Presiden Jokowi yang akan membuka. Lalu kemudian ada pembicara – pembicara dari Managing Director Lagarde, President Kim, chairman – chairman dari beberapa lembaga keuangan termasuk juga nanti Ibu Sri Mulyani sebagai chairman dari Development Committee. Jadi Develompment Committee chairnya adalah Ibu Sri Mulyani dan nanti akan hadir di acara flagship seminar yang disebut dengan Bali Fintech Agenda. Harapannya dari Bali Fintech Agenda ini nanti akan muncul inisiatif – inisiatif yang akan direfer oleh dunia sebagai prinsip – prinsip bidang financial technology.”
Lebih lanjut Peter mengatakan, Pemerintah Indonesia berharap agar hasil dari Bali Fintech Agenda ini dapat menjadi bagian dari komunike Bali Initiative. Pada kesempatan yang sama,Kepala Departemen Internasional BI Dodi Zulverdi menegaskan dukungan bank sentral terhadap perkembangan ekonomi digital yang memberikan banyak dampak positif. Namun, apabila perubahan itu tidak didukung kesiapan yang baik dari sisi infrastruktur, hukum, dan lain-lain, bank sentral khawatir akan dapat berdampak negatif terhadap perkonomian nasional. Saat ini Indonesia merasa sebagai pasar yang besar tetapi kapasitas Indonesia dianggap masih belum maksimal memanfaatkan ekonomi dan keuangan digital. Hal tersebut berakibat pada dominannya pemain ekonomi digital yang berasal dari luar negeri. (VOI/Rezha)
Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia atau International Monetary Fund (IMF)-World Bank Annual Meeting 2018 yang akan digelar dalam waktu dekat dibayangi oleh serangkaian kejadian bencana gempa bumi yang sempat mengguncang Pulau Bali dan Lombok. Namun, panitia pelaksana telah memastikan seluruh bangunan, baik gedung pertemuan dan hotel yang berada di Nusa Dua, Bali berada dalam kondisi yang aman untuk digunakan. Melalui keterangan persnya pada Rabu, 5 Juli 2018 di Jakarta, Sekretaris kelompok kerja IMF-World Bank Annual Meeting 2018 dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) Adi Budiarso mengatakan, bencana alam seperti gempa di Bali dan Lombok sudah beberapa kali terjadi. Panitia juga telah beberapa kali mengecek struktur bangunan gedung yang digunakan untuk pertemuan tersebut. Selain itu pihaknya bersama konsultan Indonesia Tourism & Development Corporation (ITDC) telah melakukan pemeriksaan terhadap struktur bangunan hotel yang akan digunakan oleh seluruh delegasi yang hadir. Pemeriksaan tersebut dilakukan atas permintaan dari IMF dan World Bank.
“Gempa di Bali dan Lombok itu sudah beberapa kali, jadi sebelum yang dua terakhir ini kita sudah melakukan bersama ITDC dan konsultan ITDC. Jadi itu semua dari ITDC. Mereka sudah melaporkan kepada kami tidak ada atau minor structure problem di hotel – hotel di Bali. Dan hari ini kita lakukan lagi assesment itu. Dan kali ini atas permintaan dari World Bank dan IMF. Oleh karena itu, itu akan menjadi beban IMF dan World Bank. Lalu yang kedua kita hanya mendukung saja proses check-nya itu.”
Lebih lanjut Adi Budiarso menjelaskan, untuk potensi terjadinya bencana saat pelaksanaan IMF-World Bank Annual Meeting 2018 pihaknya telah menyiapkan beberapa titik penyelamatan. Terkait erupsi Gunung Agung, proses monitoring terhadap kemungkinan gangguan asap dari Gunung Agung masih terus dilakukan. Resiko terburuk dari erupsi Gunung Agung adalah terganggunya aktivitas penerbangan akibat penutupan bandara. Sedangkan evakuasi tercepat untuk seluruh peserta adalah tetap di dalam gedung. Sementara untuk bencana gempa bumi, potensi tidak begitu besar mengingat episentrum berada sangat jauh di bawah Bali dan tidak akan menimbulkan guncangan yang berarti. (VOI/Rezha)
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Multilateral (P2K), Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI) bekerjasama dengan Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) menyelenggarakan Regional Conference on Contemporary Warfare: Global; Trends and Humanitarian Challenges pada Rabu, 5 September 2018 di Jakarta. Konferensi tersebut menghadirkan para perwakilan dari berbagai organisasi internasional, di antaranya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), serta berbagai pusat kajian dan institusi akademik regional. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi mengatakan tujuan diselenggarakannya konferensi tersebut untuk mencari solusi mengenai tantangan baru dalam mewujudkan perdamaian dunia. Tantangan baru tersebut muncul dari perkembangan teknologi, yakni perang siber. Jenis perang tersebut dianggap membutuhkan sikap dan upaya penanganan khusus yang berbeda dengan perang konvensional.
“Sekarang kita tahu bahwa ada tantangan baru, ada jenis – jenis perang yang berbeda, yang sudah menggunakan lebih banyak teknologi. Nah ini kan perlu satu pensikapan. Karena saya sampaikan, apapun jenis konflik, apapun jenis perang, tetapi yang akan jadi korban adalah tetap manusia. Dan manusia ini akan selalu menjadi core attention dari ICRC tentunya juga bagi politik luar negeri Indonesia. Oleh karena itu kita bekerjasama dengan ICRC untuk menyelenggarakan this Regional Conference yang akan membahas mengenai tantangan – tantangan baru tersebut.”
Pada kesempatan yang sama, Kepala BPPK Kementerian Luar Negeri RI Siswo Pramono menuturkan diskusi ini sifatnya adalah diskusi dengan ruang lingkup yang luas. Oleh karena itu seluruh peserta diharapkan dapat memberi masukan ke badan-badan terkait untuk nantinya dijadikan sebagai pertimbangan dalam perumusan kebijakan terkait penggunaan teknologi untuk keperluan militer atau peperangan. Selain itu, menurut Siswo terdapat lompatan teknologi di setiap peperangan sehingga diskusi ditujukan untuk meminimalisir kerusakan dari teknologi yang semakin canggih. (VOI/Rezha)
Setelah berhasil melaksanakan Rencana Aksi untuk tahun 2014 hingga 2018 di berbagai bidang, Indonesia dan Vietnam kini tengah menyiapkan Rencana Aksi berikutnya untuk tahun 2019 hingga 2023. Rencana aksi tersebut meliputi dialog politik dan diplomatik, kerjasama ekonomi, kerja sama keamanan dan pertahanan, serta promosi pariwisata, pertukaran budaya dan hubungan antar-masyarakat atau people to people contact. Rencananya Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dekat akan melakukan kunjungan bilateral ke Vietnam untuk membahas lebih lanjut mengenai Rencana Aksi untuk tahun 2019 hingga 2023 bersama Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc. Hal tersebut disampaikan Duta Besar Vietnam untuk Indonesia, Pham Vinh Quan dalam peringatan Hari Nasional Vietnam yang digelar di Jakarta, Selasa malam, 4 September 2018.
“Kami mengembangkan kerja sama yang erat di berbagai bidang dan koordinasi dalam isu-isu internasional dan regional utama dan sekarang kami sedang menunggu Rencana Aksi berikutnya untuk tahun 2019 hingga 2023 yang akan ditandatangani selama kunjungan Presiden Joko Widodo ke Vietnam pada awal September. Kedua pihak bertekad untuk menetapkan target untuk meningkatkan perdagangan bilateral menjadi 10 miliar dolar AS pada tahun 2020. Kunjungan kenegaraan pertama ke Vietnam oleh Presiden Joko Widodo, bersama dengan kunjungan mendatang ke Indonesia oleh Perdana Menteri Vietnam pada bulan Oktober tahun ini akan menjadi kekuatan pendorong kerja sama bilateral kami dan akan menghasilkan suatu yang penting bagi kedua negara dalam waktu dekat.”
Lebih lanjut Duta Besar Pham Vinh Quan mengatakan Vietnam dan Indonesia memiliki sejarah hubungan yang sangat dekat dan panjang. Kedua negara memiliki kesamaan latar belakang budaya, sejarah perjuangan kemerdekaan, dan koordinasi pandangan umum di berbagai forum regional dan internasional. Hal tersebut merupakan fondasi penting dari berdirinya Kemitraan Strategis Vietnam Indonesia, yang ditandatangani pada tahun 2013. Sebuah kemitraan yang menandai era baru peningkatan kerjasama kedua negara di berbagai bidang. (VOI/Rezha)