VOI NEWS Air Tiga Rasa Rejenu merupakan satu diantara obyek wisata di Kabupaten Kudus yang mempunyai keunikan. Obyek wisata Air Tiga Rasa Rejenu yang terletak di Desa Japan Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus dipercaya memiliki berbagai manfaat dan khasiat kesehatan. Lokasi obyek wisata Air Tiga Rasa atau yang dikenal dengan Air Tiga Rasa Rejenu itu terletak di kompleks Makam Syaikh Syadzali. Untuk mencapai lokasi ini, pengunjung cukup menempuh jarak sekitar 20 km dari pusat kota Kudus atau sekitar 3 km dari makam Sunan Muria. Setelah sampai di Desa Japan, wisatawan yang mengendarai roda empat bisa parkir di lokasi yang disediakan dan meneruskan perjalanan sekitar 2 km dengan ojek.
Menurut kepercayaan yang berkembang di masyarakat setempat, air dari Air Tiga Rasa Rejenu ini mempunyai rasa dan khasiat yang berbeda. Yang pertama ini memiliki rasa yang sedikit asam, sumber air ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sumber air yang kedua memiliki rasa seperti minuman bersoda pada umumnya. Khasiat dari sumber air yang kedua ini adalah bisa menambah rasa percaya diri dalam diri pengunjung yang meminumnya. Sedangkan sumber mata air ketiga memiliki rasa yang menyengat seolah seperti minuman keras. Air dari sumber mata air ketiga ini berkhasiat dapat memperlancar rejeki. Tetapi ketika tiga air tersebut dicampurkan akan menghasilkan air yang tawar rasanya.
Meskipun objek wisata ini berada di tengah hutan dan di puncak bukit Gunung Muria, yang belum mempunyai aliran listrik, tetapi pengunjung masih dapat menikmati berbagai fasilitas yang tersedia, misalnya, ojek bagi yang tidak mau berjalan kaki, warung makan yang buka 24 jam, kamar penginapan sederhana, musholla, dan kamar mandi.
Pendap atau babatuk merupakan salah satu makanan khas dari Provinsi Bengkulu. Pendap atau biasa disebut ikan pais ini ini selain sudah sampai ke daerah lain di Indonesia seperti Jakarta, Lampung, Palembang dan daerah lainnya di Indonesia, juga sudah mulai dikenal oleh wisatawan dari negara mancanegara. Makanan khas dari Bengkulu ini juga menjadi makanan favorit Presiden pertama Indonesia, Soekarno ketika menjalani pengasingan di Kota Bengkulu dari tahun 1938 sampai tahun 1942. Masakan Pendap juga pernah diusulkan menjadi warisan budaya tak benda oleh provinsi Bengkulu.
Pendap yang berbahan dasar ikan kembung ini diolah dengan bumbu khusus bersama dengan kelapa parut dan dimasak dalam bungkusan daun talas dan daun pisang. Bumbu khusus di sini terdiri dari bawang putih, bawang merah, ketumbar, cabai, lengkuas, jahe. merica, kencur, garam dan penyedap. Bumbu tersebut kemudian dihaluskan dan dicampur dengan parutan kelapa muda lalu dilumurkan merata pada ikan. Kamudian ikan dibungkus dengan daun talas dan bagian luarnya dibungkus lagi dengan daun pisang. Setelah itu diikat dengan daun pandan. Ikan yang sudah dibungkus kemudian direbus selama 8 jam hingga matang.
Biasanya proses memasak ini dilakukan di atas tungku besar dan masih menggunakan kayu bakar agar rasanya tetap sama seperti peninggalan leluhur. Inilah yang membuat bumbu meresap ke dalam ikan dan daun keladi yang membungkus ikan tersebut. Pendap yang bercita rasa gurih dan pedas ini sangat cocok dimakan bersama nasi panas. Selain untuk makan bersama keluarga , pendap juga sering disajikan pada upacara adat.
Di kedai Pendap di Bengkulu, Pendap dijual dengan harga Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000. Selain menjadi hidangan wajib di Bengkulu, wisatawan yang berkunjung ke Bengkulu juga bisa membawa Pendap yang dipercaya kaya akan gizi sebagai oleh-oleh, karena kuliner ini bisa tahan beberapa hari.
saat berkunjung ke Bengkulu jangan lewatkan untuk mencicipi makanan khas daerah ini.
Saat ini, masyarakat di beberapa daerah di Indonesia sedang disibukkan oleh bencana banjir dan tanah longsor. Curah hujan yang ekstrim tinggi menjadi penyebab utama bencana tersebut.
Namun di tengah keprihatinan akan bencana hidrometeorologi ini, Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap kebakaran hutan dan lahan akibat musim kemarau. Saat memimpin rapat terbatas untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (22/2), dia meminta kepala-kepala daerah untuk memiliki persiapaan menyeluruh guna mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan.
Himbauan Presiden Joko Widodo tersebut dirasakan tepat waktu. Walaupun saat ini sedang musim hujan, masa transisi ke musim kemarau diperkirakan dimulai bulan Mei. Apalagi saat inipun sudah terjadi kebakaran hutan di beberapa daerah. Presiden Joko Widodo menyebut, di Riau, misalnya, tercatat 29 kejadian, sementara di Kalimantan Barat sudah ada 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sebagian besar wilayah di Indonesia akan mengalami musim kemarau pada bulan Agustus mendatang. Dapat dibayangkan mungkin akan lebih banyak terjadi kebakaran hutan dan lahan saat kemarau jika langkah-langkah antisipasi tidak dipersiapkan dengan matang.
Selanjutnya, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan sudah 5 tahun terakhir kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak masuk dalam pembahasan di Konferensi Tingkat Tinggi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara -ASEAN. Dia menegaskan, jangan sampai Indonesia malu, di pertemuan negara-negara ASEAN ada beberapa negara membicarakan lagi soal kebakaran hutan dan lahan ini.
Memang harga diri bangsa akan terusik jika negara tetangga mengeluhkan soal kebakaran hutan, seolah-olah Indonesia tidak dapat mengatasinya sendiri. Namun persoalan yang jauh lebih penting adalah menjaga ekosistem yang menunjang kelangsungan hidup flora dan fauna, khususnya manusia. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan bisa mencapai triliunan rupiah. Namun, kerugian lebih besar lagi adalah punahnya keragaman hayati yang bahkan mungkin belum sempat ditemukan manusia. Maka, menjadi kewajiban setiap manusia Indonesia untuk menjaga lingkungannya agar tak ada lagi kebakaran hutan dan lahan.
Kinerja perekonomian Indonesia terus menunjukkan arah pemulihan dan sudah berjalan pada jalur yang tepat (on-track). Di tahun 2021 ini, Pemerintah akan tetap fokus melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) baik untuk dukungan terhadap rumah tangga maupun sektor usaha, khususnya Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM). Untuk mendorong konsumsi dan meningkatkan pembiayaan dunia usaha, Bank Indonesia menyelaraskan kebijakan moneter termasuk dengan menurunkan suku bunga acuan.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) atau Bank Sentral pada tanggal 17-18 Februari 2021 memutuskan menurunkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 3,5 persen. Bank Sentral juga menurunkan suku bunga penempatan dana rupiah sebesar 2,75 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah sebesar 4,25 persen. Penurunan suku bunga kali ini melanjutkan tren yang sudah berlangsung sejak awal 2020, saat BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 150 bps.
Keputusan tersebuti konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga. Hal ini juga sebagai upaya mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional.
Pemangkasan kembali suku bunga acuan BI sebesar 25 bps juga didorong lambatnya transmisi suku bunga acuan BI terhadap bunga perbankan. Sepanjang 2020, suku bunga kredit perbankan baru turun 83 bps menjadi 9,7 persen, meskipun pada periode yang sama suku bunga acuan BI sudah turun 125 basis poin ke level 3,75 persen.
Selain pelonggaran suku bunga, BI juga menempuh langkah-langkah lain sebagai tindak lanjut sinergi kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2021, Bank Indonesia akan melonggarkan ketentuan uang muka (DP) kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor menjadi paling sedikit 0 persen untuk semua jenis kendaraaan bermotor baru. Pada periode waktu yang sama, BI juga turut melonggarkan rasio pinjaman atau pembiayaan terhadap nilai untuk kredit atau pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100 persen. Kebijakan ini berlaku untuk semua jenis properti, mulai dari rumah tapak, rumah susun, hingga ruko atau rukan.
Semua stimulus ini diharapkan akan dapat mendorong pemulihan ekonomi yang melambat akibat pandemi Covid-19.