(voinews.id)- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan Moskow ingin segera memulihkan situasi di Ukraina dan mengakhiri perang secepat mungkin. Melindungi kehidupan tentara dan warga sipil adalah prioritas Moskow, kata Lavrov dalam sebuah wawancara di sebuah program berita Rusia.
“Kami ingin menyelesaikan situasi ini secepat mungkin, untuk mengakhiri perang yang sedang dipersiapkan Barat dan akhirnya dilancarkan melawan kami melalui Ukraina. Prioritas kami adalah nyawa tentara dan nyawa warga sipil yang masih berada di zona pertempuran," kata dia.
Namun, Lavrov mengatakan Moskow tidak memiliki keinginan untuk mengadakan pembicaraan dengan Barat, terutama karena politikus Barat telah menyatakan bahwa keamanan di Eropa harus dibangun melawan Rusia. Terkait pengiriman sistem rudal Patriot AS ke Ukraina, Lavrov mengatakan Moskow diberitahu melalui saluran diplomatik bahwa Washington tidak berniat untuk berperang langsung dengan Rusia. “Kami diberi penjelasan secara detail bahwa tidak ada rencana seperti itu, justru karena Amerika tidak ingin berperang langsung melawan Rusia. Mereka mengatakan akan memakan waktu beberapa bulan untuk mengoperasikan sistem Patriot, di mana prajurit Ukraina dapat menguasai teknologinya,” ujar dia.
Dia mengatakan alasan utama mengapa Washington bersikeras melanjutkan inspeksi di bawah Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis adalah untuk "memahami apa yang menanti mereka jika terjadi konflik langsung dengan Rusia." Lavrov menyebut perubahan serius dalam posisi AS, mengklaim Pentagon mengatakan tidak dapat melarang Kiev untuk melakukan serangan di wilayah yang diakui secara internasional sebagai wilayah Ukraina, termasuk Krimea.
Menurut Lavrov, menteri luar negeri AS saat itu John Kerry mengatakan kepadanya pada tahun 2014 bahwa Washington tidak meragukan pilihan penduduk Krimea untuk bergabung dengan Rusia. Dia juga mempertanyakan logika Presiden AS Joe Biden, yang berbicara mengenai perlunya menghindari perang langsung dengan Rusia dan kekalahan Rusia di Ukraina. Menurut Lavrov, militer AS sangat terlibat dalam konflik di Ukraina dan tidak ada saluran komunikasi antara militer Rusia dan Amerika untuk pencegahan insiden.
Lavrov menyesali tidak adanya inisiatif perdamaian yang serius karena Barat tidak mengizinkan Ukraina melakukannya karena Rusia belum cukup "kehabisan tenaga" dalam konflik tersebut. Dia menyinggung pernyataan yang disebutnya "munafik" mengenai kesiapan Kiev untuk memulai pembicaraan damai, tetapi Moskow enggan terlibat. Menurut dia, justru Kiev yang mengatakan tidak akan pernah duduk di meja perundingan sampai penduduk asli Ukraina-Krimea dibebaskan.
Lavrov pun menegaskan bahwa tahun depan Rusia akan tetap mempertahankan tujuannya demi kepentingan rakyat dan negara. "Saya yakin bahwa melalui ketekunan, kesabaran, dan tekad kami, kami akan mempertahankan tujuan mulia yang sangat penting bagi rakyat dan negara kami, secara konsisten selalu siap untuk dialog dan kesepakatan yang setara yang akan memastikan keamanan yang benar-benar setara dan tak terpisahkan di Eropa," tutur dia.
Sumber: Anadolu
(voinews.id)- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan Moskow ingin segera memulihkan situasi di Ukraina dan mengakhiri perang secepat mungkin. Melindungi kehidupan tentara dan warga sipil adalah prioritas Moskow, kata Lavrov dalam sebuah wawancara di sebuah program berita Rusia.
“Kami ingin menyelesaikan situasi ini secepat mungkin, untuk mengakhiri perang yang sedang dipersiapkan Barat dan akhirnya dilancarkan melawan kami melalui Ukraina. Prioritas kami adalah nyawa tentara dan nyawa warga sipil yang masih berada di zona pertempuran," kata dia.
Namun, Lavrov mengatakan Moskow tidak memiliki keinginan untuk mengadakan pembicaraan dengan Barat, terutama karena politikus Barat telah menyatakan bahwa keamanan di Eropa harus dibangun melawan Rusia. Terkait pengiriman sistem rudal Patriot AS ke Ukraina, Lavrov mengatakan Moskow diberitahu melalui saluran diplomatik bahwa Washington tidak berniat untuk berperang langsung dengan Rusia. “Kami diberi penjelasan secara detail bahwa tidak ada rencana seperti itu, justru karena Amerika tidak ingin berperang langsung melawan Rusia. Mereka mengatakan akan memakan waktu beberapa bulan untuk mengoperasikan sistem Patriot, di mana prajurit Ukraina dapat menguasai teknologinya,” ujar dia.
Dia mengatakan alasan utama mengapa Washington bersikeras melanjutkan inspeksi di bawah Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis adalah untuk "memahami apa yang menanti mereka jika terjadi konflik langsung dengan Rusia." Lavrov menyebut perubahan serius dalam posisi AS, mengklaim Pentagon mengatakan tidak dapat melarang Kiev untuk melakukan serangan di wilayah yang diakui secara internasional sebagai wilayah Ukraina, termasuk Krimea.
Menurut Lavrov, menteri luar negeri AS saat itu John Kerry mengatakan kepadanya pada tahun 2014 bahwa Washington tidak meragukan pilihan penduduk Krimea untuk bergabung dengan Rusia. Dia juga mempertanyakan logika Presiden AS Joe Biden, yang berbicara mengenai perlunya menghindari perang langsung dengan Rusia dan kekalahan Rusia di Ukraina. Menurut Lavrov, militer AS sangat terlibat dalam konflik di Ukraina dan tidak ada saluran komunikasi antara militer Rusia dan Amerika untuk pencegahan insiden.
Lavrov menyesali tidak adanya inisiatif perdamaian yang serius karena Barat tidak mengizinkan Ukraina melakukannya karena Rusia belum cukup "kehabisan tenaga" dalam konflik tersebut. Dia menyinggung pernyataan yang disebutnya "munafik" mengenai kesiapan Kiev untuk memulai pembicaraan damai, tetapi Moskow enggan terlibat. Menurut dia, justru Kiev yang mengatakan tidak akan pernah duduk di meja perundingan sampai penduduk asli Ukraina-Krimea dibebaskan.
Lavrov pun menegaskan bahwa tahun depan Rusia akan tetap mempertahankan tujuannya demi kepentingan rakyat dan negara. "Saya yakin bahwa melalui ketekunan, kesabaran, dan tekad kami, kami akan mempertahankan tujuan mulia yang sangat penting bagi rakyat dan negara kami, secara konsisten selalu siap untuk dialog dan kesepakatan yang setara yang akan memastikan keamanan yang benar-benar setara dan tak terpisahkan di Eropa," tutur dia.
Sumber: Anadolu
(voinews.id)- Perusahaan sirup obat batuk di India, obat yang terkait kematian 19 anak di Uzbekistan, mengatakan pada Jumat bahwa mereka telah menghentikan produksi semua jenis obat setelah inspeksi dilakukan regulator obat India. Media India melaporkan bahwa inspeksi tersebut telah menemukan adanya penyimpangan aturan manufaktur di salah satu unit perusahaan farmasi Marion Biotech. Baik pihak Marion Biotech maupun kementerian kesehatan India belum memberikan jawaban atas pertanyaan Reuters atas laporan media setempat atau pun hasil penemuan tim inspeksi tersebut.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Uzbekistan mengatakan sedikitnya 18 anak meninggal di Kota Samarkand setelah mengonsumsi sirup Dok-1 Max buatan Marion Biotech. Media Uzbekistan pada Kamis (29/12) melaporkan korban ke-19, setelah seorang anak berusia satu tahun meninggal.
Kementerian Uzbekistan mengatakan sirup itu mengandung zat beracun, etilena glikol, dan diberikan dalam dosis yang lebih tinggi dari dosis standar untuk anak-anak, baik oleh orang tua mereka --yang mengira itu sebagai obat anti selesma-- atau atas saran apoteker. Regulator obat-obatan India dan otoritas wilayah telah memeriksa fasilitas Marion Biotech di Noida, dekat Delhi, kata kementerian kesehatan India pada Kamis, saat Uzbekistan mengambil tindakan hukum terhadap perwakilan lokal perusahaan tersebut.
Media siaran NDTV melaporkan pada Jumat bahwa pihak berwenang India telah memerintahkan penghentian total produksi semua obat di fasilitas perusahaan di Noida setelah menemukan penyimpangan dari aturan manufaktur. Hasan Harris, kepala bagian hukum Marion Biotech, mengatakan kepada mitra Reuters, ANI, "Kami menunggu laporan, pabrik diperiksa.
Kami telah menghentikan produksi semua obat." Uzbekistan menarik peredaran tablet dan sirup Dok-1 Max dari semua apotek sementara media lokal melaporkan bahwa negara tersebut juga telah menangguhkan penjualan sirup anti selesma Marion Biotech lainnya bernama Ambronol.
India dikenal sebagai 'apotek dunia', dan telah menggandakan ekspor farmasi selama dekade terakhir, menyentuh 24,5 miliar dolar AS (sekitar Rp384,55 triliun) pada tahun fiskal terakhir. Kasus Uzbekistan menyusul kematian sedikitnya 70 anak di Gambia yang dikaitkan dengan sirup batuk dan pilek yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Ltd, yang berbasis di New Delhi. Namun, baik pemerintah India maupun perusahaan tersebut membantah melakukan kesalahan.
Sumber: Reuters
(voinews.id)- Korea Selatan pada Jumat mengatakan akan mewajibkan tes COVID-19 bagi pelaku perjalanan dari China, mengikuti jejak negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang. Langkah itu diambil sebagai aturan baru perbatasan, menyusul keputusan Beijing yang mencabut kebijakan ketat anti-COVID di China.
Korsel juga akan membatasi penerbitan visa singkat bagi warga negara China hingga akhir Januari. Penerbangan dari China, yang frekuensinya tengah meningkat, juga akan dibatasi, kata Perdana Menteri Han Duck-soo.
Bandara Internasional Incheon akan dijadikan sebagai satu-satunya pintu masuk penerbangan dari negara itu. Mulai 5 Januari, para pelaku perjalanan dari China akan diharuskan menunjukkan hasil negatif tes PCR yang dilakukan tidak lebih dari 48 jam atau tes antigen dalam 24 jam sebelum keberangkatan.
Mereka juga harus menjalani tes PCR lagi setibanya di Korsel mulai 2 Januari, kata sejumlah pejabat.
Menurut Han, Korsel harus segera bersiap menghadapi dampak apa pun di dalam negeri menyusul pelonggaran aturan karantina China. "Kami akan bersiap untuk mengambil tindakan lebih ketat jika situasinya memburuk, jika kami melihat adanya peningkatan infeksi secara cepat dari kedatangan atau kemunculan varian-varian baru," kata dia.
China bulan ini mulai mencabut kebijakan anti-COVID terketat di dunia, yang diberlakukan lewat penguncian wilayah (lockdown) dan tes COVID massal di seluruh negeri. Perubahan kebijakan mendadak oleh China itu telah mendorong negara-negara lain untuk menerapkan atau mempertimbangkan pembatasan bagi pelaku perjalanan dari China di tengah lonjakan kasus COVID-19 di sana.
Sumber: Reuters