Hubungan Iran dan Irak memulai babak baru. Untuk pertama kali, sejak berakhirnya perang antara kedua negara pada tahun 80an, Presiden Iran berkunjung ke Irak. Memberikan kesan telah mengabaikan peringatan Amerika Serikat, Presiden Irak Barham Salih menerima langsung Presiden Iran Hassan Rouhani dan menunjukkan bahwa ia telah menerima kunjungan itu dengan hangat. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif kepada wartawan mengatakan bahwa kedua Presiden telah melakukan pembicaran dengan baik, serta menyepakati peningkatan kerjasama di bidang ekonomi dan politik. Radio Televisi Turki melalui laman internetnya bahkan mengabarkan bahwa kedua Presiden telah menyepakati diberlakukannya bebas visa untuk kunjungan warga negara mereka.
Kedua negara nampaknya hendak melupakan perang yang berlangsung selama delapan tahun hingga 1988 yang menimbulkan banyak korban. Lebih dari itu, kunjungan bersejarah Presiden Iran ke Irak juga menunjukkan sikap berani kedua negara terhadap Amerika Serikat. Kepada Bagdad, Washington telah memperingatkan agar menahan diri untuk melakukan hubungan dengan negara tetangganya itu. Sedangkan Iran telah menunjukkan sikap kurang pedulinya terhadap sanksi ekonomi yang diberikan Amerika Serikat. Selain menentang tekanan Amerika Serikat itu, Iran juga ingin menunjukkan masih memiliki pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Dari pertemuan kedua Presiden negara bertetangga itu, dapatlah dikatakan bahwa kedua negara ingin menunjukkan sikap mandirinya tanpa harus dipengaruhi dan ditekan pihak luar dalam menjalin dan meningkatkan hubungan hubungan bilateral. Tentu dengan mengatas namakan demi kepentingan rakyat kedua negara. Dari pertemuan kedua Presiden yang dilanjutkan dengan pembicaraan teknis, diperoleh informasi bahwa kedua negara telah menyepakati adanya peningkatan hubungan perdagangan. Keduanya berencana meningkatkan nilai perdagangan hampir 100 persen dari sebelumnya yang bernilai 12 milyar dolar Amerika Serikat khususnya melalui ekspor gas dan energi dari Iran.
Pada sisi lain, kunjungan perdana Presiden Iran ke Irak setelah perang antara keduanya pada dekade 80an, bisa jadi akan mendorong perubahan geopolitik di Timur Tengah, serta hubungan keduanya dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Indonesia kembali hadir dalam London Book Fair. Kali ini, Indonesia membawa 450 judul buku dalam pameran yang digelar pada 12 hingga 14 Maret 2019 itu. Kehadiran Indonesia dalam pameran yang digelar di Olympia, Kensington, London ini menjadi istimewa. Indonesia terpilih sebagai negara pertama dari Asia Tenggara yang mendapat prioritas menjadi Market Focus Country atau pusat pasar.
Badan Ekonomi Kreatif, sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia, menyiapkan kurang lebih 100 acara untuk mempromosikan kehadiran Indonesia dalam pameran yang telah diikuti sejak tiga tahun lalu itu. Ketua Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf mengatakan keikutsertaan dalam pameran merupakan upaya mendorong produk ekonomi kreatif Indonesia mendunia, terutama dalam literatur. Ia ingin literatur Indonesia bisa mendunia sekaligus menarik minat masyarakat luar negeri untuk datang.
Ada target khusus yang ingin dicapai Indonesia dalam London Book Fair 2019 yang merupakan pameran terbesar untuk penjualan hak cipta. Indonesia menargetkan 50 judul terjual hak ciptanya. Ketua Komite Buku Nasional, Laura Bangun Prinsloo mengungkapkan target 50 judul buku untuk London Book Fair 2019 mungkit terdengar sedikit. Namun sebenarnya, target itu sudah cukup tinggi, mengingat Indonesia baru mengikuti pameran ini mulai tahun 2016. Angka itu akan menambah jumlah 1200 judul buku yang terjual ke penerbit mancanegara dalam lima tahun terakhir.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memang selalu hadir dalam ajang pameran buku Internasional. Diantaranya secara rutin ambil bagian dalam Frankfurt Book Fair. Tahun 2018, di pameran buku tertua itu36 judul buku dibeli hak cipta penerbitannya oleh beberapa negara yang berpartisipasi. Indonesia juga hadir dalam Beijing International Book Fair. Dalam Pameran Buku Brunei 2019, ribuan judul buku Indonesia pun laku terjual.
Kehadiran karya penulis Indonesia dalam pameran buku internasional memang harus ditingkatkan. Karena melalui karya mereka, dunia bisa lebih mengenal Indonesia dengan keragaman budaya, suku dan agamanya. Buku menjadi sarana promosi dan diplomasi kekayaan 17 ribu lebih pulau di Indonesia. Kehadiran karya-karya penulis Indonesia di ajang internasional, diharapkan akan meningkatkan jumlah pengarang dan sastrawan yang berkelas dunia. Seperti Pramodya Ananta Toer, penulis yang sukses menerbitkan sedikitnya 50 karya, dan bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari 41 bahasa asing. Atau akan muncul penulis seperti Andrea Herata yang sukses memperkenalkan satu wilayah di Indonesia, Belitung lewat bukunya Laskar Pelangi, yang telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing dan diterbitkan di 130 negara. Atau seperti Taufik Ismail, yang puisinya “Dengan Puisi Aku,..” diterjemahkan ke dalam 52 bahasa dunia.
Dan yang lebih penting, melalui buku karya penulisnya, Indonesia akan lebih terbuka lagi, dan semakin banyak pembaca dan pencinta buku dunia yang akan menoleh dan menghampirinya.
Kekayaan sumber daya laut Indonesia, terutama sumber daya perikanan yang luar biasa dan belum dieksplorasi secara maksimal, sangat menggiurkan bagi nelayan penangkap ikan negara lain. Karena itu tidak jarang mereka masuk ke wilayah perairan laut Indonesia untuk menangkap ikan secara ilegal. Pada Jumat (8/3) minggu lalu, kapal Pengawas Perikanan milik Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali menangkap 1 kapal asing yang sedang mencuri hasil laut di wilayah Indonesia. Kapal berbendera Vietnam tersebut ditangkap di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara karena melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa dilengkapi dokumen perizinan yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu, kapal tersebut memakai alat tangkap yang dilarang di Indonesia, yaitu jenis trawl. Sebelumnya, kapal patroli TNI AL, KRI TOM-357 menggiring 4 kapal ikan berbendera Vietnam yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna, namun dihalangi oleh dua kapal Vietnamese Fisheries Resources Surveillance yang merupakan kapal Kementerian Pertanian dan Pengembangan Daerah Tertinggal, Vietnam. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Untuk itu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui Kementerian Luar Negeri melayangkan protes ke pemerintah Vietnam. Vietnam dikenal sebagai negara yang paling banyak melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Mereka tidak jera walaupun pemerintah Indonesia sudah melakukan tindakan tegas. Hal ini terbukti dari 488 kapal asing yang ditenggelamkan sejak 2014, 276 diantaranya adalah kapal berbendera Vietnam. Tentu bukan hanya Vietnam, ada banyak kapal berbendera negara lain seperti Thailand, Philipina, Malaysia dan juga China yang ditangkap.
Untuk melindungi kekayaan alam laut Indonesia, serta mencegah hal sama terulang, tentu perlu menggiatkan patroli, termasuk patroli terpadu antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan TNI Angkatan Laut atau Polisi Perairan.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi dan Komisioner Jenderal Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UnitedNations Reliefe Works Agency: UNRWA) Pierre Krähenbühl menandatangani perjanjian kontribusi kemanusiaan Indonesia bagi pengungsi Palestina eks-Gazans di Jerash Camp, Yordania, Selasa (5/3). Laman kemenlu.go.id menyatakan kontribusi kemanusiaan Indonesia sebesar 1 juta dolar Amerika Serikat akan diberikan untuk membantu kebutuhan makanan dan kesehatan bagi para pengungsi.
Dalam pertemuan dengan Komisioner Jenderal UNWRA, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan bahwa kontribusi Indonesia tersebut menunjukkan kebersamaan dan komitmen Indonesia untuk terus membantu rakyat Palestina. Menteri Luar Negeri menegaskan kembali bahwa isu Palestina ada di jantung politik luar negeri Indonesia, dan menjadi perhatian dan keprihatinan rakyat Indonesia. Retno Marsudi juga menyampaikan apresiasi atas partisipasi UNRWA dalam kegiatan "Solidarity Week for Palestine", yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia di Bandung dan Jakarta Oktober 2018 lalu. Kegiatan itu juga dihadiri oleh Menlu Palestina Riyad Malki.
Dalam acara tersebut, pihak UNRWA telah melakukan pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia terkait penggalangan dana kemanusiaan bagi pengungsi Palestina. Pada awal 2018, UNRWA menyampaikan mengenai krisis pendanaan sebesar lebih dari 446 juta dolar Amerika . Tahun ini, kekurangan pendanaan UNWRA untuk kegiatan programnya mencapai sekitar 211 juta dolar Amerika. Indonesia akan terus memberikan dukungan kepada masyarakat Palestina baik dalam bentuk bantuan keuangan maupun program peningkatan kapasitas.
Sebelumnya,Menteri Retno dalam pertemuan dengan DutaBesar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour di New York, AS ( 21/ 1) menegaskan komitmen Indonesia untuk terus berkontribusi pada UNRWA. Dikatakannya, kontribusi Indonesia terhadap UNRWA perlu ditingkatkan, mengingat Amerika Serikat yang memasok 30 persen dari total anggaran pengeluaran lembaga tersebut, telah memutuskan menghentikan bantuan dana bagi UNRWA sejak September 2018.
Menteri Retno Marsudi juga menjelaskan bahwa masalah yang ssama akan dihadapi tahun 2019 yaitu kekurangan dana yang dibutuhkan UNRWA untuk mengelola pengungsi yang jumlahya lebih dari 5 juta orang. Menurutnya Indonesia siap memberikan kontribusi yang paling tidak jumlahya sama seperti yang dberikan tahun lalu. Dikatakannya, kontribusi Indonesia untuk UNRWA akan terus ditingkatkan menjadi 2 juta dolar AS atau sekitar 29 Miliyar Rupiah untuk UNRWA.